Orang yang sukses membuat Allah jatuh cinta kepadanya—tentu setelah mengerjakan ibadah-ibadah wajib dan sunah. Sebab, Allah akan memberikan cinta-Nya kepada orang tersebut. Maka, tidak heran jika Allah akan menjadi pendengarannya ketika dia mendengar, menjadi lisannya ketika dia berbicara, menjadi matanya ketika dia melihat, menjadi tangannya ketika dia menyentuh, dan menjadi kakinya ketika dia melangkah, sebagaimana disebutkan secara nyata dalam Hadis Qudsi (lihat https://baca.nuralwala.id/seni-agar-allah-jatuh-cinta-ala-sufi-bagian-1/ dan https://baca.nuralwala.id/seni-agar-allah-jatuh-cinta-ala-sufi-bagian-2/).
Dalam praktiknya, banyak ulama yang mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunah setelah mengerjakan ibadah fardu, seperti Sayyidina Abdullah bin Zubair (ahli ibadah dari kalangan sahabat), Sayyidina Sa‘îd bin al-Musayyib, Imam Ali Zainal Abidin bin Husain, Imam Ja‘far aṣ-Ṣâdiq, Imam Abû Ḥanîfah, Imam Mâlik, Imam asy-Syâfi‘î, Imam Aḥmad bin Ḥanbal, Sayyidinâ al-Faqîh al-Muqaddam Muhammad bin Ali, Sayyid aṭ–Ṭâ’ifah aṣ–Ṣûfiyyah (penghulunya kalangan sufi) Syekh Junaid bin Muhammad, Sulṭân al-Awliyâ’ (rajanya para wali) Syekh Abdul Qâdir al-Jailânî, Syekh Abû al-Ḥasan asy-Syâżilî, Syekh Aḥmad ar-Rifâ‘î, Syekh Aḥmad al-Badawî, Syekh Aḥmad bin ‘Alwân (guru besar Tarekat ‘Alwâniyyah), Imam Abdullah bin al-Ḥaddâd, Habib Abdullah bin Husain bin Ṭâhir, Syekh Abû Bakar bin Salim, Syekh Muhammad Mawlâ ad-Dawîlah, dan masih banyak lainnya.
Selain itu, ada juga orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan menebarkan kemaslahatan kepada sesama manusia, seperti: mendidik manusia agar mereka bisa beribadah dengan benar dan memiliki akhlak terpuji; mencari kayu bakar dan sejenisnya untuk dijual, dan hasilnya disedekahkan kepada orang lain (perbuatan ini merupakan ibadah yang bermanfaat, yang dengannya seseorang memperoleh keberkahan doa orang-orang Islam); dan menjadi khadam yang melayani para sufi, ulama, dan ahli agama. Ia lebih utama daripada ibadah-ibadah sunah. Sebab, melayani para sufi, ulama, dan ahli agama merupakan ibadah sekaligus membantu orang-orang Islam (Syekh Muḥammad Nawawî al-Jâwî, Salâlim al-Fuḍalâ’, hlm. 13-14).
Adapun ibadah sunah yang mereka (para ulama) lakukan adalah bermacam-macam, seperti salat fardu berjamaah, salat sunah, membaca Al-Qur’an, senantiasa memiliki wudu (langgeng wudu), memperbanyak zikir dan salawat, puasa sunah, dan lainnya. Sayyidina Abdullah bin az-Zubair, misalnya, menghidupkan siang dan malamnya dengan ibadah fardu dan sunah secara penuh. Suatu malam dia berdiri dalam salat hingga Subuh. Malam berikutnya dia merukuk hingga Subuh, dan malam berikutnya dia bersujud hingga Subuh. Adapun wali quṭub Imam Habib Abdullah bin ‘Alawî al-Ḥaddâd melaksanakan seluruh sunah Nabi. Beliau tidak pernah meninggalkan satu pun sunah Nabi dalam sepanjang hidupnya (Habib Zein bin Smith, Al-Manhaj as-Sawiyy, 2005: 479 & 487).
Sementara Sayyidina Sa‘îd bin al-Musayyib salat fardu berjamaah di masjid selama 40 tahun, dan salat fardu pada saf paling depan selama 50 tahun. Beliau juga salat fardu berjamaah tanpa ketinggalan takbîratul iḥrâm-nya imam selama 50 tahun. Artinya, ketika imam baru saja mengucapkan takbîratul iḥrâm, maka Sayyidina Sa‘îd bin al-Musayyib pun langsung mengucapkan takbîratul iḥrâm juga. Selain itu, Imam Ali Zainal Abidin bin Husain, Sayyidinâ al-Faqîh al-Muqaddam Muhammad bin Ali, Syekh Junaid, Syekh Abdul Qâdir al-Jailânî, Syekh Abû al-Ḥasan asy-Syâżilî, Syekh Aḥmad ar-Rifâ‘î, Syekh Aḥmad al-Badawî, dan Syekh Aḥmad bin ‘Alwân melaksanakan salat sunah 1000 rakaat dalam setiap harinya (hlm. 479 & 484-485).
Adapun Imam Abû Ḥanîfah menghidupkan segenap malam-malamnya dengan ibadah sunah sekitar 45 tahun. Dalam hal ini, beliau menghidupkan segenap malamnya dengan salat satu rakaat atau dua rakaat yang diisi dengan membaca Al-Qur’an hingga khatam. Terkadang beliau juga menghidupkan segenap malamnya dengan membaca satu ayat secara berulang-ulang hingga fajar. Sedangkan Imam Aḥmad bin Ḥanbal melaksanakan salat sunah 300 rakaat dalam sehari semalam. Ketika beliau sakit dan lanjut usia, maka beliau melaksanakan salat sunah 150 rakaat dalam sehari semalam. Hal senada juga dilakukan oleh Syekh Junaid bin Muhammad. Dalam hal ini, beliau melaksanakan salat sunah 300 rakaat dalam setiap harinya (hlm. 479-480).
Ada pula ulama yang senantiasa melaksanakan puasa sunah, seperti Sayyidina Abdullah bin az-Zubair yang berpuasa secara berturut selama tujuh hari. Dalam hal ini, beliau berpuasa mulai hari Jumat, dan berbuka pada malam Jumat mendatang. Beliau berpuasa di Mekah, dan berbuka ketika sampai di Madinah. Begitu pula sebaliknya, di mana beliau berpuasa di Madinah, dan berbuka ketika sampai di Mekah (hlm. 479). Padahal perjalanan dari Mekah ke Madinah pada masa itu ditempuh dengan jalan kaki dan naik unta atau kuda yang membutuhkan sekitar waktu dua minggu.
Selain itu, Imam Abû Ḥanîfah berpuasa sunah selama 30 tahun. Imam Aḥmad bin Ḥanbal juga menghabiskan waktu siangnya dengan berpuasa sunah. Beliau tidak berpuasa hanya satu hari dalam seminggu, dan beliau berbekam pada hari (yang tidak berpuasa) itu. Begitu pula dengan Syekh Junaid bin Muhammad yang senantiasa berpuasa sunah, di mana beliau hanya makan seminggu sekali. Sedangkan Syekh Muhammad Mawlâ ad-Dawîlah berpuasa setiap hari secara terus-menerus selama 40 hari pada musim panas (hlm. 408, 480 & 482).
Ada pula ulama yang senantiasa memperbanyak baca Al-Qur’an, seperti Imam Ja‘far aṣ-Ṣâdiq, Imam Abû Ḥanîfah, Imam Mâlik, Imam asy-Syâfi‘î, Imam Aḥmad bin Ḥanbal, dan para ulama lainnya (lihat https://baca.nuralwala.id/al-quran-jalan-spiritual-para-sufi-dan-imam-mazhab/). Salah satu wirid Habib Ahmad bin Hasan al-‘Aṭṭâs adalah membaca separuh Al-Qur’an (15 juz) dalam salat Duha. Beliau mampu mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu tiga jam saja, di mana bacaan beliau tersebut tetap bisa dinikmati secara baik oleh orang yang mendengarnya. Sedangkan Habib Ahmad bin Muhammad al-Muḥẓâr mengkhatamkan Al-Qur’an 2 kali dalam sehari semalam (satu kali pada waktu malam, dan satu kali pada waktu siang) selama 40 tahun (Al-Manhaj as-Sawiyy, hlm. 487).
Ada pula ulama yang memperbanyak zikir dan salawat, seperti Imam Muhammad bin Sulaiman al-Jazûlî yang menyibukkan diri dengan membaca salawat dan salam setiap hari sebanyak-banyaknya. Salawat dan salam itu terbagi secara indah dan menawan menjadi beberapa ḥizib (bagian), mulai dari ḥizib hari Ahad hingga ḥizib hari Sabtu.
Imam al-Jazûlî mengumpulkan salawat dan salam itu dalam Dalâ’il al-Khairât, sebuah kitab salawat pertama yang ada di muka bumi dan banyak dibaca oleh masyarakat Muslim di seantero dunia. Ketika beliau wafat, maka orang-orang berduyun-duyun berziarah ke makamnya di Maroko. Mereka memperbanyak baca Dalâ’il al-Khairât di samping kuburannya. Disebutkan bahwa semerbak minyak kesturi (misik) meruak di kuburan Imam al-Jazûlî saking banyaknya salawat yang pernah dibaca oleh Imam al-Jazûlî sewaktu masih hidup (Syekh Yûsuf bin Ismâ‘îl an-Nabhânî, Jâmi‘ Karâmât al-Awliyâ’, I, 2001: 276).
Adapun Habib Abdullah bin Husain bin Ṭâhir membaca “lâ ilâha illallâh” 25 ribu kali, “yâ Allâh” 25 ribu kali, dan salawat 25 ribu kali dalam setiap harinya. Begitu pula dengan Habib Ahmad bin Hasan al-‘Aṭṭâs, di mana salah satu wiridnya adalah membaca “lâ ilâha illallâh” 25 ribu kali sebelum makan siang. Sedangkan Syekh Junaid bin Muhammad membaca tasbih (subḥânallâh) 30 ribu kali dalam setiap harinya (Al-Manhaj as-Sawiyy, hlm. 484, 487 & 480).
Ada pula ulama yang senantiasa memiliki wudu (langgeng wudu), seperti Sayyidina Sa‘îd bin al-Musayyib yang melaksanakan salat Subuh dengan wudu salat Isya selama 50 tahun. Artinya, beliau melaksanakan salat Subuh tersebut tanpa mengambil wudu lagi, karena sudah berwudu ketika hendak melaksanakan salat Isya. Tentu, beliau melaksanakan salat Isya di awal waktu, bukan di akhir waktu menjelang Subuh. Bahkan Imam Abû Ḥanîfah melaksanakan semua salat fardu (Zuhur, Asar, Magrib, Isya, dan Subuh) dengan satu kali wudu selama 45 tahun (hlm. 479 & 408).
Di sisi lain, Syekh Abdul Qâdir al-Jailânî melaksanakan salat Subuh dengan wudu salat Isya selama 40 tahun. Syekh Abû Bakar bin Salim melaksanakan salat Subuh dengan wudu salat Isya selama 40 tahun di Masjid Bâ‘îsâ. Sedangkan Habib Ahmad bin Hasan al-‘Aṭṭâs melaksanakan salat Subuh dengan wudu salat Isya, dan melaksanakan salat Zuhur dengan wudu salat Isya. Beliau juga pernah melaksanakan salat Magrib dengan wudu salat Isya. Begitu pula dengan Syekh Muhammad Mawlâ ad-Dawîlah yang melaksanakan salat Subuh dengan wudu salat Isya selama 20 tahun (hlm. 481-483 & 487).
Menurut Syekh Muhammad bin Ali ad-Daw‘anî, langgeng wudu (senantiasa memiliki wudu) disunahkan bagi setiap Muslim berdasarkan beberapa hadis. Salah satunya adalah perintah Rasulullah saw. kepada Sayyidina Anas ra. agar senantiasa memiliki wudu jika mampu. Sebab, seorang Muslim yang meninggal dalam keadaan memiliki wudu, maka dia tercatat sebagai mati syahid (Gâyah al-Munâ Syarḥ Safînah an-Najâ, 2008: 132).
Sebagian ahli makrifat (al-‘ârifîn) menyebutkan bahwa Allah akan menganugerahkan tujuh kemuliaan bagi orang yang langgeng wudu, di antaranya: pertama, para malaikat senantiasa menjadi sahabatnya; kedua, pena akan senantiasa basah untuk mencatat pahala-pahalanya; ketiga, seluruh anggota badannya akan bertasbih; keempat, tidak akan ketinggalan takbîratul iḥrâm pertama imam ketika salat berjamaah; kelima, ketika dia tidur, maka Allah mengutus para malaikat untuk melindunginya dari kejahatan jin dan manusia; keenam, Allah akan memudahkan baginya ketika sakratulmaut; dan ketujuh, dia berada dalam perlindungan Allah selama dalam keadaan memiliki wudu (hlm. 132-133).
Maksud langgeng wudu di sini bukan berarti tidak boleh batal wudu, baik karena hadas (seperti kentut, kencing, dan buang air besar) maupun karena hal lain (seperti berjimak, tidur, dan lainnya). Oleh karena itu, ketika seseorang senantiasa menjaga wudunya (dan ketika wudunya batal, maka dia segera berwudu lagi), maka dia juga disebut langgeng wudu.
Wudu sendiri merupakan syariat yang sudah ada sejak zaman dahulu, dan sudah dilaksanakan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Namun, ia diwajibkan kepada Rasulullah saw. dan seluruh umat Islam pada malam Isrâ’-Mi‘râj bersama dengan salat. Meskipun wudu dan salat diwajibkan secara bersamaan, tetapi wudu disyariatkan lebih awal daripada salat. Sebab, pada awal pengutusan, malaikat Jibril as. mengajari Rasulullah saw. berwudu terlebih dahulu, dan kemudian melaksanakan salat dua rakaat bersamanya (hlm. 132). Wallâhu A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…