Maqashid Al-Syariah dan Kebebasan Berkeyakinan (1)

Islam sangat menghormati ide kebebasan berkeyakinan. Rasulullah Saw. telah mendeklarasikan kebebasan berkeyakinan dalam Piagam Madinah. Terlihat secara eksplisit, prinsip kebebasan berkeyakinan merupakan aktualisasi dari surah Al-Kafirun ayat 6, Al-Baqarah ayat 256, Yunus ayat 99 dan lain-lain. Ayat-ayat tersebut merupakan bukti kuat bahwa Islam tidak membenarkan siapapun memaksa orang lain untuk menganut agama Islam.

Berbeda jika dilihat secara metodologis, spirit kebebasan berkeyakinan juga dijaga dalam berijtihad. Buktinya adalah, para ulama mengembangkan metode ijtihad yang sangat memperhatikan dan memuliakan kedudukan akal, seperti metode ijma’, qiyas, istihsan, maslahah, urf dan maqashid al-syariah. Khusus metode ijtihad yang terakhir misalnya, maqashid al-syariah bukan sekedar konsep (yang terkenal dengan konsep kulliyat al-khams atau daruriyyat al-khams), tapi juga metode ijihad yang mandiri.

Ide dasar maqashid al-syariah adalah, memahami tujuan dari syariat Allah Swt. sebagai basis berijtihad. Setiap hasil ijtihad harus mengandung maslahat bagi kemanusiaan dan peradaban. Namun, jika sebaliknya yang terjadi, maka hasil ijtihadnya patut dipertanyakan. Spirit itulah yang disampaikan oleh al-Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa min Ilm Al-Ushul:

Maslahah merupakan istilah yang intinya adalah keadaan yang dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Yang kami maksudkan dengan maqashid al-syari’ah sebenarnya bukan ini, karena mendatangkan manfaat dan menolak bahaya atau kerugian adalah tujuan dari makhluk. Kebaikan makhluk adalah ketika menggapai tujuan-tujuannya. Yang kami maksudkan dengan maslahah di sini adalah menjaga tujuan syara’. Tujuan syara’ untuk makhluk ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.”

Statemen atau pernyataan al-Ghazali itu sangat penting diberi garis bawah, bahwa maqashid al-syariah bukan sekedar maslahat. Di dalam maqashid pasti ditemukan kemaslahatan, namun maslahat sendiri tidak selalu obyektif dari syariat Islam. Karena itu, al-Ghazali menyampaikan lima tujuan disyariatkannya Islam bagi manusia, yaitu: menjaga agama (hifdz aldin), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal (hifdz al-aql), menjaga keturunan (hifdz al-nasl) dan menjaga harta (hifdz al-mal).

Al-Syatibi misalnya membangun konsep maqashid al-syariah dalam bentuk yang lebih jelas, meski ia menyebutnya dengan beragam nama, seperti al-maqashid al-syar’iyyah fi al-syari’ah atau maqashid min syar’i al-hukm, selain maqashid al-syari’ah itu sendiri.

Baca Juga:  Filsafat Ilmu: Asal Mula Pengetahuan Manusia

Tak hanya itu, al-Syatibi tegas berpendapat bahwa syariat ini (Islam) bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akherat (hadzihi al-syari’at…..wudhi’at li tahqiqi maqashid al- syari’i fi qiyam mashalihihim fi al-din wa al-dunya ma’an).

Artinya, dengan kata lain, hukum-hukum (Islam) disyariatkan untuk kemaslahatan hamba-hambanya (al-ahkam masyru’atun li mashalih al-ibad). Al-Syatibi yakin bahwa setiap kewajiban (taklif) yang dibebankan Tuhan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Semua hukum Allah Swt. pasti memiliki tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama artinya dengan “membebankan sesuatu yang tak dapat dilaksanakan” (taklif ma la yutaq) atau membebankan sesuatu yang tak ada gunanya.

Substansi maqashid al-syari’ah adalah kemaslahatan. Kemaslahatan dalam taklif Tuhan dapat berwujud dalam dua bentuk. Pertama, dalam bentuk hakiki yakni manfaat langsung dalam arti kausalitas. Kedua, dalam bentuk majazi yakni bentuk yang merupakan sebab yang membawa kepada kemaslahatan. Kemaslahatan itu, oleh al-Syatibi dapat dilihat pula dari dua sudut pandang. Pertama, maqashid al-syari’ (tujuan Tuhan) dan, kedua, maqashid al-mukallaf (tujuan mukallaf).

Rupanya, Al-Syatibi membangun teori maqashid dengan tiga cara substansial. Pertama, maqashid yang awalnya bagian dari kemaslahatan mursalah (al-masalih al-mursalah) dijadikan sebagai bagian dari dasar-dasar hukum Islam (mabadi’ al-ahkam al-syar’iyyah).

Jika sebelumnya, maqasid termasuk dalam kategori kemaslahatan-kemaslahatan lepas, yang tidak disebutkan secara langsung dalam nash, dan tidak pernah dinilai sebagai dasar hukum Islam yang mandiri, maka al-Syatibi menempatkan maqashid sebagai metode ijtihad yang mandiri. Jadi, al-Syatibi menilai maqashid merupakan pokok-pokok agama (ushul al-din), kaidah-kaidah syariah (qawaid al-syariah) dan keseluruhan keyakinan (kulliyyat al-millah).

Kedua, maqashid dalam arti hikmah di balik hukum kini menjadi maqashid sebagai dasar bagi hukum. Berdasarkan fondasi dan keumumam maqashid, al-Syatibi berpendapat bahwa sifat keumumam (al-kulliyyah) dari keniscayaan (daruriyyat), kebutuhan (hajiyyat) dan kelengkapan (tahsiniyyat) tidak bisa dikalahkan oleh hukum parsial (al-juz’iyyat). Al-Syatibi juga menjadikan pengetahuan tentang maqashid sebagai persyaratan untuk kebenaran penalaran hukum (ijtihad) dalam seluruh levelnya.

Baca Juga:  Historisitas Khittah NU

Ketiga, dari ketidakpastian (zanniyyah) menuju kepastian (qath’iyyah). Al-Syatibi mengusulkan kepastian (qath’iy) sebagai dasar epistemologi sumber hukum Islam, yang bersifat dhanniy (ketidakpastian) tidak layak dijadikan pegangan. Karena itu, al-Syatibi membuktikan kepastian proses induktif (istiqra’i) yang dia gunakan untuk menyimpulkan maqashid itu.

Jadi, maqashid syariah dibangun di atas premis bahwa Tuhan melembagakan syariah (hukum-hukum) demi mashalih (kebaikan) manusia, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut al-Syatibi, doktrin maqashid al-syariah merupakan suatu usaha untuk menegakkan maslahah sebagai unsur esensial bagi tujuan-tujuan hukum.

Maqashid al-syariah dapat diklasifikasi dengan berbagai cara, termasuk dengan melihat dimensi-dimensinya. Pertama, maqashid ditinjau dari tingkatan-tingkatan keniscayaan (levels of necessity). Klasifikasi ini dapat disebut sebagai klasifikasi tradisional, sebagaimana dikenalkan oleh al-Juwaini, al-Ghazali dan al-Syatibi. (Lanjut di part 2)

Previous Article

<strong>Warisan Pemikiran Soedjatmoko untuk Mengatasi Problem Intoleransi dan Diskriminasi dalam Kewargaan di Indonesia</strong>

Next Article

<strong>Maqashid Al-Syariah dan Kebebasan Berkeyakinan (2)</strong>

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨