Inilah Empat Tahap Pengalaman Seorang Sufi

Oleh: Muhammad Rafi

Mahasiswa Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin

Ketika seseorang berbicara mengenai agama Islam, setidaknya ada dua dimensi yang perlu disinggung, yakni syariat dan hakikat. Syariat seringkali dilambangkan dengan hukum-hukum dan berbagai ketentuan fikih, sedangkan hakikat acapkali disebut dengan tasawuf atau mistik. Keduanya merupakan dua dimensi yang tidak bisa dipisahkan dari agama Islam layaknya roh dan jasad.

Syariat adalah jasad dan hakikat (tasawuf) adalah ruh. Tanpa kehadiran ruh, jasad hanya sebatang tubuh tak bernyawa yang terdiri dari berbagai organ dan sel-sel mati. Adapun ruh yang tak memiliki jasad akan kehilangan eksistensi di alam material. Tanpa itu, ruh hanya akan menjadi “sesuatu” yang transenden, tak tersentuh, tak bisa dirasa dan hampir mustahil untuk dipahami makhluk lain.

Tasawuf identik dengan ajaran kerohanian dan spiritualitas dalam Islam. Meskipun demikian, para sufi beranggapan bahwa ajaran tasawuf hadir dalam ajaran setiap agama samawi, baik yang disebutkan Al-Qur’an maupun yang tersembunyi. Bagi mereka, terdapat kebenaran mendasar dari berbagai agama yang memiliki inti ajaran serupa tentang Realitas Tunggal, yakni Tuhan, Sang Maha Cinta (Psikologi Sufi Untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh: 12).

Para Nabi yang membawa agama ibarat sebuah bola lampu yang menyinari ruangan. Bola lampu tersebut berbeda-beda, namun memiliki sumber utama yang sama, yakni Tuhan. Setiap lampu bertujuan untuk menghapus kegelapan dan memenuhi ruangan dengan cahaya. Hanya saja, sebagian lampu memiliki cahaya yang lebih terang dibandingkan lampu lainnya. Seperti itulah posisi para Nabi dan Rasul di dunia.

Berkenaan dengan tasawuf dan sufisme, Ibn ‘Arabi—seorang guru sufi termasyhur—mengatakan bahwa ada empat tahap pengalaman yang harus ditempuh oleh seorang sufi, yakni: syariat (hukum keagamaan eksoterik), thariqat (jalan mistik), hakikat (kebenaran), dan ma’rifah (pengetahuan). Tiap tingkat dibangun di atas fondasi tingkatan sebelumnya.

Baca Juga:  Iktikaf ke Iqra': Dari Ritual ke Zikir Sosial

Syariat sebagai Fondasi Utama Seorang Sufi

Tahap pengalaman seorang sufi yang pertama adalah syariat, yakni dasar dari ketiga tahapan setelahnya. Dalam bahasa Arab, syariat bermakna “jalan”. Ia adalah jalan yang harus ditempuh oleh semua orang. Syariat berisikan ajaran moral dan etika yang dapat dijumpai dalam setiap agama. Mayoritas sufi adalah pelaku syariat dan syariat secara tradisional menjadi dasar utama ajaran tasawuf.

Ketika seseorang mencoba mendalami tasawuf tanpa mengikuti syariat, maka ia bagaikan membangun sebuah rumah megah dengan fondasi pasir yang mudah tergoncang. Tidak akan ada rumah yang berhasil dibangun kecuali reruntuhan dan puing-puing.  Tanpa kehidupan teratur yang dibangun dari prinsip etika dan moral yang mantap, maka tidak ada mistisme yang dapat berkembang.

Thariqat: Rute Tak Terbatas Menuju Hakikat

Tahap pengalaman seorang sufi yang kedua adalah thariqat, yakni amalan tasawuf. Thariqat secara bahasa berarti jalan tanpa rambu di padang pasir, yang biasa digunakan oleh kaum Badui (suku pedalaman Arab) sebagai rute dari satu oasis ke oasis yang lain. Jalan ini sama sekali tidak memiliki rambu dan tanpa penanda yang jelas. Ia bahkan sebenarnya bukan jalan, ia hanya “bekas” langkah kaki hasil perjalan seseorang.

Agar seseorang mampu menapaki jalan ini, ia harus mengenal seluk beluk daerah tersebut dengan baik atau mencari pemandu agar tidak tersesat dalam jalan yang tak berkesudahan dan tak memiliki tujuan. Pemandu ini adalah orang-orang terpilih, yakni Nabi Muhammad saw, ulama, tokoh sufi dan mursyid. Tanpa panduan mereka, seseorang tidak akan mampu melalui jalan tak terbatas ini.

Jika syariat merujuk kepada amalan jasmani, maka thariqat merujuk pada amalan rohani. Jika syariat membuat penampilan luar menjadi menarik, maka thariqat diciptakan untuk membersihkan dan menyucikan rohani manusia melalui amalan-amalan tasawuf. Dengan demikian, syariat dan thariqat bisa mendukung satu sama lain, tanpa ketimpangan sedikitpun.

Baca Juga:  Iktikaf ke Iqra': Dari Ritual ke Zikir Sosial

Hakikat: Langkah Awal Menginjak Kebenaran

Tahap pengalaman seorang sufi yang ketiga adalah hakikat atau kebenaran. Hakikat adalah makna terdalam dari praktik dan petunjuk yang ada pada syariat dan thariqat. Ia adalah pengalaman empiris jiwa akan kebenaran gaib di luar rasionalitas. Sebelum mencapai tingkatan ini, seorang sufi hanya bisa dikatakan sebagai pengikut, karena praktik yang selama ini dilakukan merupakan peniruan terhadap praktik sufi lainnya.

Hakikat bisa dikatakan sebagai pijakan awal seorang sufi untuk menyelam lebih jauh ke dalam lautan ma’rifatullah. Sebuah pijakan yang menandakan bahwa ia telah memasuki jalannya sendiri menuju Sang Maha Cinta, tidak lagi sebagai pengikut atau taklid terhadap jalan orang lain. Pada tahapan ini, seorang sufi juga biasanya mulai merasakan pancaran ilahi secara intens.

Ma’rifat: Puncak Pengalaman Seorang Sufi

Tahap pengalaman seorang sufi yang terakhir adalah ma’rifat atau pengetahuan. Ia adalah kearifan atau pengetahuan akan kebenaran spiritual yang mendalam. Tahapan pengetahuan terhadap realitas ini hanya bisa dicapai oleh segelintir orang, karena ma’rifat adalah tingkatan para Nabi, Rasul, Sultan al-Awliya, para sufi dan orang-orang suci terkemuka.

Pada tingkatan ma’rifat, tidak ada lagi “aku” dan “kamu” berkenaan tentang hakikat alam semesta. Seorang sufi yang mencapai tingkatan ini menyadari bahwa segalanya adalah bagian dari Tuhan, bahwa tidak ada satu pun dan tak ada seorang pun yang terpisah dari Tuhan. Meskipun demikian, bukan berarti seorang sufi melepaskan eksistensi material, karena selama ia hidup, selama itu pula ia tunduk terhadap sunatullah. Inilah tujuan dan puncak dari tasawuf. Wallahu a’lam.

 

0 Shares: