Hijrah (2): Titik Balik Peradaban

Oleh: Bil Hamdi

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Islam Jakarta

Sebagai Muslim, sulit bagi kita membayangkan bagaimana jadinya Islam tanpa peristiwa hijrah atau bagaimana jika Nabi dan pengikutnya tak pernah hijrah ke Madinah? Akankah Islam tetap mencapai puncak kejayaannya sebagaimana yang kita kenang hari-hari ini? Atau justru sebaliknya, agama yang diajarkan Muhammad malah lenyap diberangus kaum kafir Quraisy, memudar karena tak mampu bangkit dari keterpurukannya, terus menerus dipojokkan hingga akhirnya ajarannya ditinggalkan sebelum sempat dikenal luas, lalu Islam takkan dikenang kecuali hanya sebagai cerita sampingan dalam sejarah dunia di masa depan.

Tapi tidak, yang terjadi adalah sebaliknya. Kenyataannya, Allah telah membimbing Nabi agar melaksanakan hijrah dan dengan demikian, semuanya pun berubah. Sekarang kita tahu bahwa Islam adalah salah satu agama paling besar di dunia dan Nabi Muhammad menjadi tokoh paling penting dan berpengaruh sepanjang sejarah. Hijrahnya Nabi bersama pengikutnya dari Makkah ke Madinah—1400 tahun yang lalu—pastilah memiliki peran penting bagi seluruh kemajuan Islam pada masa selanjutnya. Dengan hijrah, Nabi telah memungkinkan terjadinya penyebaran Islam yang lebih luas.

Demikian pentingnya peristiwa hijrah tersebut, bahkan kata hijrah kemudian dijadikan sebagai nama sistem kalender Islam yang mana tahun pertama dimulainya pun dihitung semenjak keberangkatan Nabi dan pengikutnya dari Makkah ke Madinah. Hal itu tidak lain karena hijrah merupakan peristiwa yang begitu sentral dalam Islam sebagai momentum titik balik peradaban.

***

Kabar kedatangan Nabi itu dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Yatsrib. Seketika, jalanan pun dipenuhi warga yang hendak melihat sang juru damai. Orang-orang berjejalan ingin menyalami Nabi.  Puji-pujian pun dilantunkan dengan merdu diiringi tabuhan gendang rebana memeriahkan kedatangan utusan Allah. Yatsrib dipenuhi suka cita. Semua orang dari setiap suku bahkan agama menyambut kedatangannya dengan hati gembira. Mereka disatukan oleh rasa cinta akan keadilan dan perdamaian.

Nabi, dengan menunggangi untanya terus berjalan membelah kerumunan warga. Ia bersabda, “Biarkan unta ini berjalan karena ia mendapat perintah Allah”. Dan ketika unta tersebut berhenti di sebuah tanah lapang dekat pemukiman Bani Najjar, Nabi turun dari untanya. Diriwayatkan bahwa tanah tersebut akhirnya dibeli Nabi dari dua orang anak yatim yang biasanya menggunakan tempat itu sebagai tempat menjemur kurma. Di tanah itu, Nabi membangun sebuah bangunan sederhana, tak ada kesan mewah dan megah, hanya sebuah komplek terbuka yang dikelilingi  dinding batu-bata dari tanah liat, beratapkan daun kurma dengan beberapa kamar tidur di bagian selatan dan timur bangunan. Nabi membangun sebuah Masjid. Kelak, orang-orang di berbagai belahan dunia akan mengenalnya dengan nama Masjid Nabawi, salah satu masjid paling megah dan mewah yang pernah ada.

Baca Juga:  Tentang Manfaat Ziarah Kubur Menurut Filsuf

Nama Yatsrib kemudian diganti dengan nama Madinah/Madinah an-Nabi. Kotanya Nabi. Dengan pergantian nama tersebut, Nabi bukan hanya ingin membangun sebuah kota (yang sifatnya materi), melainkan sesuatu yang lebih besar dari itu. Ia sedang membangun sebuah peradaban. Dalam sejarah, kita akan mengenal berbagai peradaban besar sebelumnya seperti peradaban Yunani, peradaban Romawi, peradaban Persia, tapi tak pernah ada sebuah peradaban yang mewakili agama. Untuk pertama kalinya seorang Nabi akan memimpin sebuah peradaban agama terbesar yang pernah ada di dunia. Itulah peradaban Islam.

***

Islam adalah agama yang beradab, sehingga (sudah semestinya) melahirkan peradaban. Peradaban sendiri merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan adab, moral, sopan-santun, dan budi luhur manusia atau sekelompok manusia yang dalam Islam dikenal dengan istilah akhlak. Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa adab dan peradaban itu sebenarnya lebih bersifat non materi ketimbang materi, sehingga ketika membahas peradaban Islam kita mesti jeli dan kritis agar mampu membedakan antara peradaban dengan sesuatu selainnya.

Dalam Al-Qur’an Allah berfirman bahwa tugas utama Nabi Muhammad hadir di tengah umat manusia ada 3; pertama,يتلوعليهم اياتي menyampaikan atau membacakan ayat-ayat Tuhan untuk umat manusia (berkaitan dengan ilmu pengetahuan); kedua, ويزكيهم menyucikan jiwa umat manusia (berkaitan dengan akhlak); dan yang terakhir,  ويعلمهم الكتاب والحكمة saling mengajarkan ilmu dari kitab dan hikmah (berkaitan dengan pendidikan). Bila kita perhatikan, ketiga hal yang menjadi tugas Nabi dalam ayat tersebut semuanya berkaitan dengan membina jiwa dan intelektual serta tidak satupun yang berkaitan dengan membangun materi atau benda fisik.

Misi utama Nabi bukanlah membangun gedung-gedung tinggi ataupun teknologi, melainkan ia bertugas membangun peradaban, artinya  tugas seorang Nabi adalah membina suatu masyarakat agar beradab dan berakhlak mulia. Dalam hadis, Nabi bersabda bahwa tugasnya diutus untuk umat adalah demi memperbaiki akhlak. Oleh karena itu, semua bangunan megah, kekuasaan, bahkan teknologi yang ada sejatinya tak bisa disebut sebagai peradaban, karena itu semua hanyalah‘hasil’ dari peradaban. Bangunan-bangunan yang megah akan lapuk dimakan usia, segala kekuasaan yang diraih akan berganti dengan kekuasaan lain. Namun peradaban akan abadi selamanya. Karena dia tertanam di kedalaman jiwa manusia. Itulah akhlaqul karimah. Melalui momentum hijrah, Nabi hendak membangun masyarakat yang beradab.

Baca Juga:  Hijrah (7) : Jihad Kemanusiaan

***

Untuk membangun sebuah peradaban, Nabi membutuhkan tempat yang menjadi pusat kegiatan. Karena alasan itulah, begitu sampai di Madinah Nabi langsung mendirikan sebuah Masjid.  Oleh Nabi, Masjid dijadikan sebagai pusat dari segala aktivitas dalam rangka membangun peradaban Islam.

Masjid tak hanya difungsikan sebagai tempat melaksanakan ibadah salat, lebih dari itu masjid merupakan madrasah tempat kaum Muslim untuk menggali ilmu dan belajar. Masjid juga menjadi tempat pertemuan berbagai suku bangsa yang sebelumnya berpecah belah. Di dalamnya semua orang menanggalkan identitas bawaan masing-masing seperti suku dan ras untuk kemudian menyatu dalam ketundukan serta kepasrahan kepada Allah.

Bisa dibilang, Masjid telah menjadi sarana tempat menempa kedisplinan dan integritas umat Muslim. Setiap Muslim diminta untuk meninggalkan semua kegiatan dan pekerjaan bila muazin mengumandangkan azan. Pertanda bahwa waktu salat telah tiba. Mereka akan berbondong mendatangi Masjid untuk memasrahkan segala urusan kepada Allah setelah usaha dan kerja keras yang mereka lakukan. Inilah definisi dari seorang Muslim, yakni seorang yang tunduk, patuh dan berserah diri di hadapan Allah. Tak ada yang boleh merasa lebih baik dari yang lain. Sebab, di hadapan Allah semua manusia sama. Tak ada seorang Muhajirin atau Ansor, tak ada seorang Negro atau seorang Arab atau selainnya. Di hadapan-Nya, semua manusia adalah setara dan urusan-Nya lah menentukan yang mana yang lebih baik daripada yang lain. Seorang Muslim sesuai definisinya, adalah mereka yang pasrah dan tunduk, bukan mereka yang sombong dan mengklaim diri lebih mulia dari yang lainnya.

***

Kata Madinah sendiri sering dikaitkan dengan kata tamaddun yang artinya peradaban atau kebudayaan yang tinggi. Dari sini, kita bisa melihat bahwa Nabi membidik sebuah target yang jauh lebih tinggi melampaui hanya sekedar membangun sebuah kota. Nabi sedang membina suatu komunitas yang akan memiliki peradaban dan kebudayaan yang tinggi, yang sudah seharusnya menjadi ciri khas warga perkotaan. Di antaranya adalah sikap terbuka (inklusif), memiliki toleransi yang tinggi dan berbudi bahasa halus.

Baca Juga:  MENYEGARKAN KEMBALI KHAZANAH INTELEKTUAL ISLAM

Sebagian kita sering menganggap kejayaan ‘agama’ adalah ketika Islam berhasil menguasai dunia, ketika Islam berhasil menaklukkan suatu kawasan.  Ketika khilafah berdiri sebagai pemimpin dunia. Sehingga kadang kita bersuka ria mengenang kejayaan Islam di masa lalu, di mana Islam menaklukkan Eropa, Persia, hingga merambah tanah Afrika. Akan tetapi jika kita kembali pada penjelasan di atas, kejayaan-kejayaan seperti ini tidaklah pantas dibanggakan karena sifatnya hanya materi dan semua yang materi cepat atau lambat pastilah hancur dan berganti dengan yang baru. Lalu, apa yang semestinya kita banggakan? Bukanlah keberhasilan memperluas wilayahnya yang kita banggakan, bukanlah kemegahan bangunannya yang kita banggakan, karena sekarang terbukti kekuasaan-kekuasaan itu direbut, bangunan-bangunan dihancurkan dan tak ada yang tersisa selain buku sejarah tebal sebagai penghibur hati.

Kembali pada penjelasan di atas, apa yang patut kita anggap sebagai peradaban? peradaban bersifat abadi, dan non materi. Dari ayat di atas dapat kita simpulkan bahwa yang disebut peradaban adalah intelektual, akhlak dan pendidikan. Karena dari semua bekas-bekas kejayaan Islam di zaman dahulu, yang masih kita rasakan nikmatnya adalah khazanah ilmu pengetahuan, ajaran akhlak, dan sistem pendidikannya. Inilah yang abadi dan tak lekang dimakan waktu. Sebagai Nabi terakhir, apa yang ingin diwariskannya bukanlah benda materi yang fana dan rapuh, melainkan keteladanan akhlak dan keluasan ilmu. Sebab dengan bekal itulah agama akan sukses dalam misinya menjadi tonggak keadilan dan perdamaian hingga akhir zaman.

Masyarakat berperadaban tinggi seperti itulah yang menjadi tujuan dan hikmah dibalik peristiwa hijrahnya Nabi. Sayangnya, ribuan tahun kemudian, orang-orang mulai menggunakan kata ‘hijrah’ untuk melakukan hal yang sebaliknya.

0 Shares:
You May Also Like