Islam itu das sollen; universal dan abadi. Sedangan falsafah, kalam, tasawuf, fikih, dan warisan Intelektual Islam lainnya itu das sein; berubah-ubah, yang menunjukkan bahwa Khazanah Intelektual Islam tak sempurna—akan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman dan tempat. Namun, ada realitas yang menujukkan sebaliknya. Antitesa yang beredar dalam realitas itu menganggap bahwa ijtihad sudah selesai.
Menguatnya anggapan Khazanah Intelektual Islam bersifat statis, berimplikasi pada pandangan setiap pemikiran terlepas dari konteks. Problem yang lebih akut menjadikan Islam memiliki tambahan pegangan dogma selain Al-Qur’an dan Hadis. Padahal Nabi Muhammad menjelang wafatnya pada 11 H/632 M, telah mewanti-wanti pada kaum muslimin, jika mereka tak hendak tersesat, maka berpegang pada al-Qur’an dan Hadis.
Tertutupnya pintu Ijtihad, secara mayoritas dialamatkan pada Umat Islam yang berpegang teguh pada tradisi atau warisan Islam, dengan melupakan adanya krisis nalar kritis Umat Islam. Krisis nalar kritis tak hanya membuat buta terhadap pesan Nabi Muhammad menjelang wafatnya, tapi juga buta terhadap lahirnya pemikiran yang selalu bertautan dengan konteks. Sehingga yang terjadi mengambil copot sana-sini setiap pemikiran tanpa analisis terhadap konteks saat pemikiran muncul dan konteks di mana hendak diterapkan.
Seruan Berpikir Kritis
Secara umum, berpikir kritis dapat dikatakan adalah berpikir jernih, teliti, penuh pengetahuan, dan adil saat melakukan pemeriksaan alasan untuk meyakini atau berbuat sesuatu. Ada satu definisi lain mengungkapkan bahwa berpikir kritis adalah aktivitas mental yang dilakukan untuk mengevaluasi sebuah pernyataan. Umumnya berakhir pada menerima, penyangkalan, atau meragukannya. Semua arti mengindikasikan bahwa berpikir kritis bukanlah identik berpikir kontrarian.
Umar adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad saw. yang mengajarkan untuk berpikir kritis, tidak dogmatis, sekaligus berpegang teguh pada Al-Qur’an. Daya kritis Umur menjadikannya sebagai seorang beriman teguh yang intelektual. Yang dengan intelektualistasnya berani mengunkapkan ide-ide dan tindakan-tindakan inovatif yang belum dicontohkan oleh Nabi, yang sepintas lalu nampak tidak sejalan, atau bahkan bertentangan dengan makna harfiah Al-Qur’an.
Pada abad ke-13 ada Ibn Khaldun yang mengecam keras para sejarawan yang secara sadar hanya mendeskripsikan persoalan sejarah yang berkaitan dengan sosial, ekonomi, budaya, dan politik, tanpa adanya analisis kritis. Ibn Khaldun lebih tegas mengatakan bahwa sejarawan yang mengambil sikap demikian tak ubahnya barisan muqallid (pengikut buta tradisi), serta intelegensinya telah mengalami ketumpulan. Sikap tersebut bermuara pada penjiplakan pendahulunya. Serta mengantarkan pada acuh-tak acuh terhadap kondisi atau konteks, sehingga apa yang dilakukan sejarawan itu hanya menyajikan bentuk sejarah seadanya, tanpa materi subtantif, dan hilangnya konteks setiap persoalan dalam sejarah.
Pada abad lalu, ada Fazlur Rahman memeriksa Khazanah Intelektual Islam dari—falsafah, kalam, tasawuf, dan fikih. Dalam diagnosanya, Rahman menemukan bahwa kemunduran umat Islam salah satunya disebabkan oleh mengakar kuatnya tradisi Helenistik dan Skolastik di tubuh Islam, terutama dalam kalam—yang ia sebut teologi sistematis.
Baik Umar, Ibn Khaldun, dan Fazlur Rahman, mengajarkan kita agar menjadi Intelektual Islam yang berpegang teguh pada Al-Qur’an, Hadis maupun Khazanah Intelektual Islam, tanpa kehilangan daya kritis dan konteks. Sebab, dogmatis terhadap apapun sangat berbahaya, apalagi erat hubungannya pada kekuasaan.
Ada sebuah realitas menujukkan bahwa seorang yang mengaku ahli falsafah, teologi, tasawuf, fikih, tak ubahnya seperti sejarawan di mata Ibn Khadun. Mereka menganggap penjelasan deskriptif mengenai falsafah, teologi, tasawuf, dan fikih, sudah menyegarkan Khazanah Intelektual Islam. Padahal sama sekali belum, jika tak mau dibilang belum memulai.
Sikap deskriptif, juga menghilangkan daya kritis sebagaimana diberi teladan oleh Umar, serta hilangnya daya kritis dalam mendiagnosa seperti Rahman. Umat Islam harus kembali ke fitrahnya; menggunakan kembali daya kritis, daya mendiagnosa, serta menghilangkan dogmatisme.