Judul Buku :Dinamika Pelaksanaan Syariah: Perkawinan dalam Kontestasi Agama dan Negara
Penulis :Usman, M. Hisyam, Widajanti Santoso, Endang Tarmudi, Dwi Purwoko
Penerbit :LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Press.
Tahun Terbit :November, 2020.
Jml Hlm :xx hlm + 201 hlm.
ISBN :978-602-496-087-2
Buku Dinamika Pelaksanaan Syariah: Perkawinan dalam Kontestasi Agama dan Negara yang ditulis oleh Usman, M. Hisyam, Widjajanti Santoso, Endang Tarmudi dan Dwi Purwoko yang baru saja diterbitkan oleh LIPI Press (November, 2020) merupakan buku yang menarik dibaca, terutama peminat kajian mengenai kontestasi antara Islam dan negara dalam menyoal perkawinan. Buku tersebut menyajikan gambaran secara komprehensif mengenai dinamika pelaksanaan syariah dan turut memberikan rekomendasi-rekomendasi, sehingga bukan hanya memperkaya khazanah diskursus akademik, tapi juga dapat bermanfaat secara praksis. Adapun yang menjadi keunikan dalam buku tersebut, yakni aktualitas kajian di dalamnya yang menempatkan studinya pada perspektif gender.
Dalam buku tersebut, memaparkan salah satu persoalan dalam perkawinan, yaitu perkawinan tanpa pencatatan dari Kantor Urusan Agama (KUA). Bagi mereka yang mempraktikkannya, beranggapan bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa catatan dari penghulu merupakan perkawinan yang sah, selagi memenuhi syarat rukun perkawinan. Pemahaman tersebut sejalan dengan aturan agama yang bersifat normatif, akan tetapi tidak sejalan dengan ketentuan perundang-undangan dalam perkawinan (hlm.2).
Di situlah letak kontestasi antara negara dan agama dalam soal perkawinan. Bagi pemerintah sendiri, meskipun pada hakikatnya perkawinan adalah urusan pribadi, tetapi mengapa pemerintah perlu ikut campur karena menganggap bahwa nikah punya implikasi dan bertautan dengan hak-hak sipil, administrasi kependudukan, dan pergaulan sosial (hlm. 3).
Adapun kajian dalam buku tersebut, menyebut fenomena tersebut dengan istilah “perkawinan kontroversial”. Secara singkat, perkawinan kontroversial adalah perkawinan yang ketika dilangsungkan menimbulkan kontroversi dalam masyarakat, karena dianggap menyimpang dari aturan yang ada (hlm. 2). Penting untuk ditegaskan, bahwa apa yang disebut sebagai perkawinan sendiri tentu akan menyangkut banyak hal, seperti hukum, ekonomi maupun hak-hak sipil.
Dalam buku tersebut, para penulisnya menyoroti fenomena perkawinan yang tidak tercatat (perkawinan kontroversial) tersebut sebagai masalah utama dalam soal perkawinan di Indonesia. Bagi saya, tentu itu sangat beralasan, sebagaimana yang diungkapkan dalam buku tersebut, bahwa perkawinan kontroversial akan mempunyai implikasi yang cukup komplek, karena terkait soal kepastian hukum, kedudukan suami dan istri, hak-hak suami-istri, kedudukan anak di mata hukum, marginalisasi perempuan, dan memungkinkan perempuan menjadi objek seksual belaka (hlm. 2).
Di dalam masyarakat kita, mengenal juga apa yang disebut sebagai nikah sirri. Pernikahan tersebut hanya dilakukan dalam ketentuan agama saja, tanpa mengikuti ketentuan hukum negara. Nikah sirri biasanya dilakukan oleh para lelaki yang sudah mempunyai istri dan kemudian melakukan poligami. Mereka melakukan nikah sirri karena sulit mendapat izin dari istri pertama (hlm.4).
Dalam buku tersebut, apa yang termasuk dalam perkawinan kontroversial, meliputi perkawinan sirri, poligami, mut’ah dan seterusnya. Ironisnya, perkawinan yang disebut kontroversial itu, menurut para pelakunya, merupakan bagian dari upaya melaksanakan syariah atau sekurang-kurangnya tidak berlawanan dengan syariah. Hal itu menunjukkan bahwa “pemahaman” syariah (dalam hal perkawinan) umat Islam tidak selamanya menimbulkan kebaikan dan kemaslahatan dalam masyarakat. Para pelaku nikah kontroversial mungkin salah dalam memahami tujuan syariah (maqashid al-sharia’ah), yakni kebaikan (hlm.6).
Bisa jadi juga para pelaku mengambil pilihan yang paling menguntungkan dirinya atau memenuhi nafsunya dari ikhtilafiyah furu’iyah (perselisihan masalah-masalah cabang/bukan pokok) dalam syariah. Syariah secara sederhana, merupakan formulasi aturan yang didasarkan atas prinsip-prinsip dalam ajaran Islam. (hlm. 7). Sebab itulah, dibutuhkan suatu pemahaman syariah yang dinamis, dan bukan statis.
Dalam buku tersebut memaparkan bahwa pelaksanaan syariah yang pada prinsipnya bertujuan membawa pada kemasalahan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta tentu tidak menghendaki adanya diskriminasi (hlm.182). Sebab itulah, nilai syariah sebenarnya bisa berjalan dengan konstruk hukum di republik ini.
Sementara itu, seperti yang dipaparkan sebelumnya, nikah tanpa pencatatan, meskipun di satu sisi sah secara agama, tetapi akan menimbulkan kemudaratan dan bukannya kemaslahatan, sehingga dalam konteks tersebut, dibutuhkan suatu pemahaman syariah yang dinamis dan kontekstual dengan bingkai hukum negara itu sendiri, yakni untuk mewujudkan keadilan, akses yang setara, kepastian hukum dan sebagainya.
Buku tersebut pun memaparkan, bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya nikah tanpa pencatatan, yakni kesadaran hukum masyarakat yang rendah. Sehingga buku tersebut mengusulkan untuk mengadakan isbat nikah massal untuk menanggulangi nikah tanpa pencatatan yang banyak terjadi di pedesaan. Dalam proses isbat nikah massal tersebut, sekaligus bisa dilakukan dengan membuka diskusi mengenai perlindungan anak dan perempuan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya pencatatan nikah. Dalam lingkup yang lebih besar, pendekatan gender pun perlu digunakan untuk melihat berbagai kompleksitas persoalan (hlm. 170-175, 184).
Selain itu, buku tersebut merekomendasikan agar upaya-upaya preventif perlu dilakukan, baik itu pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, LSM, perangkat desa dan sebagainya untuk menyosialisasikan pentingnya perkawinan yang sah secara agama dan diakui oleh negara agar mendapat kepastian hukum (hlm. 183-184).
Sedikit kritik, sayangnya dalam buku tersebut, kurang mengelaborasi dilema dan ataupun kompleksitas kontestasi antara syariah dan negara di satu sisi, dan dalam kaitannya dengan semangat konstitusionalisme dan hak asasi. Misalnya saja dalam soal isu pernikahan kontroversial beda agama. Di satu sisi, secara syariah, tentu ada pendapat-pendapat yang menyebut hal itu dilarang, belum lagi hambatan menyangkut pertimbangan sosial, tapi di sisi lain, negara pun diharuskan menjamin hak-hak asasi warganya. Kompleksitas dan dilema yang seperti itulah yang dimaksud, yang saya rasa akan lebih menarik bila dielaborasi lebih jauh.