HIJRAH (9): YUK HIJRAH! TAPI IKUT NABI, JANGAN IKUT HAWA NAFSU

Generasi milenial adalah mereka yang lahir di penghujung milenium kedua memasuki milenium ketiga. Era di mana teknologi berkembang demikian pesat sehingga membuat hidup jadi serba lebih mudah dan instan. Pengaruh internet juga merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan anak muda milenial. Dengan internet pula, segala hal menjadi serba lebih cepat dan praktis.

Bagaimana tidak, sekarang semua hal sudah serba online. Mau makanan, tinggal delivery; mau beli barang, tinggal buka e-commerce; mau berpergian, pesan tiket dan rute perjalanan, tinggal atur lewat aplikasi; mau belajar hal baru, tinggal buka YouYube atau browsing di Google; bahkan selama pandemi ini, aktivitas pendidikan formal pun juga di-online-kan. Tak heran, bila para ahli sering menggambarkan gaya hidup generasi milenial sebagai gaya hidup serba cepat dan instan.

Media sosial juga menjadi hal yang tak terpisahkan dari generasi ini. Remaja dan pemuda milenial rata-rata memiliki akun media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter dan sebagainya. Melalui media sosial, mereka dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa batasan.  Dari sinilah terbentuk masyarakat dunia maya, yakni orang-orang yang saling berinteraksi, berbagi informasi dan berkomunikasi melalui internet. Tak perlu tatap muka, hanya perlu tatap layar seseorang bisa berkomunikasi bukan hanya dengan satu, melainkan dengan banyak orang sekaligus.Dengan kemudahan seperti ini, wajar masyarakat dunia maya betah berlama-lama bermedsos ria.

Media sosial segera menjadi ruang bagi generasi milenial untuk menunjukkan eksistensi diri. Beragam tren muncul mulai dari tren berbusana, tren kuliner hingga tren pariwisata. Anak-anak muda pengguna media sosial biasanya berlomba-lomba untuk mengikuti setiap tren dengan penuh gairah. Tujuannya tentu agar dianggap up to date dan tidak ketinggalan zaman. Dari sini, keinginan untuk selalu menampilkan diri di medsos menjadi semacam candu bagi generasi milenial. Begitu lekatnya milenial dengan medsos, tak pelak, media sosial menjadi lapangan baru yang menjanjikan beragam peluang mulai dari bisnis online, edukasi online hingga dakwah online.

Baca Juga:  Makna Iqra'

Belakangan, kita menyaksikan muncul tren hijrah di kalangan milenial pengguna medsos. Seakan hendak menjawab tantangan zaman, dakwah mulai dikemas secara lebih modern dan gaul dengan memanfaatkan media sosial sebagai platform untuk menyebarkan semangat Islam kepada generasi muda. Muncul pula para ustadz dan dai yang meramaikan media sosial dengan konten keagamaan yang menggaungkan ajakan untuk berhijrah, yakni sebentuk ikhtiar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dalam praktik beragama.

Tak ketinggalan,  kita juga menyaksikan fenomena ‘artis hijrah’.  Para artis ini kemudian membentuk komunitas yang berisikan artis-artis yang telah berhijrah serta menampilkan laku baru di dunia maya berupa gaya hidup yang ‘lebih Islami’ mulai dari pakaian hingga tutur kata. Dari mereka, muncullah tren berbusana syar’i yang modis dan kekinian. Kemunculan dai muda dan para artis yang mengkampanyekan hijrah ini, semakin menguatkan fenomena hijrah di tengah masyarakat, terutama di kalangan milenial yang tengah dalam masa pencarian jati diri.

Proses berhijrah biasanya dimulai dengan menumbuhkan kesadaran bahwa kita adalah makhluk yang penuh dosa, sering lalai, meninggalkan kewajiban, banyak bermaksiat dan jauh dari Allah. Lalu, akan dijelaskan betapa meruginya menjadi orang yang jauh dari tuntunan agama. Sebab, murka Tuhan akan menimpa orang-orang yang hidupnya penuh maksiat, kalau tidak di dunia, maka pasti di akhirat. Deretan ayat, hadis dan pendapat ulama yang menjelaskan siksa neraka dan azab bagi pendosa divisualisasikan melalui video-video yang membuat bulu kuduk merinding ketakutan.

Selain itu, kita juga menyaksikan banyak video ataupun artikel di medsos yang menyebarkan ketakutan akan ancaman ideologi sesat dari luar Islam seperti ideologi liberal, sekuler, komunis dsb. Ideologi-ideologi tersebut dianggap sebagai ideologi yang harus dihindari karena mengancam keimanan anak muda dan masa depan agama Islam. Ada pula yang menyerukan bahwa kiamat telah sangat dekat, bahkan Dajjal hampir keluar dari sarangnya. Kita juga tentu masih ingat tentang teori-teori konspirasi kartun-kartun yang di dalamnya diselipkan unsur musyrik untuk menyesatkan anak-anak atau ramalan-ramalan ustadz tentang tanda-tanda akhir zaman.

Baca Juga:  Ibn Bajjah: Sosok Al-Farabi dari Negeri Maghrib

Ketakutan demi ketakutan terus diumbar di media sosial secara masif. Orang-orang yang melihatnya pun tak ragu untuk langsung menekan tombol share agar informasi tersebut dapat menjangkau lebih banyak orang. Selanjutnya tumbuh kesadaran bahwa segala bahaya yang mengancam itu tentu membutuhkan solusi segera. Maka, hijrah ditampilkan sebagai jalan untuk menyelesaikan problem-problem tersebut. 

Dengan demikian, tren hijrah menjadi viral di media sosial. Orang-orang berlomba-lomba untuk menampilkan identitas keislamannya dengan rajin mengikuti kajian-kajian agama, menggunakan pakaian syar’i, serta rajin mem-posting/share video-video ceramah singkat atau artikel yang berisi ajakan berhijrah. Konten-konten agama di YouTube dan Instagram menjadi tontonan baru yang menarik banyak perhatian pengguna medsos.  Saking viralnya, kita mungkin memiliki teman yang telah memutuskan untuk mengikuti tren hijrah atau bahkan boleh jadi kita sendiri pun telah mengikutinya, apapun itu yang jelas fenomena hijrah ini telah merambah ke berbagai lapisan masyarakat.

Fenomena hijrah di kalangan milenial ini tentu perlu kita syukuri, sebab, kita melihat betapa di era yang sangat maju ini, orang-orang masih begitu antusias untuk belajar agama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, kita juga mesti kritis dalam menyikapinya, sebab boleh jadi bukannya semakin mendekati hijrah yang dicontohkan Nabi, kita malah mereduksi makna hijrah itu sendiri.

Sebagaimana disampaikan oleh Habib Husein Ja’far Al-Hadar dalam bukunya Tuhan Ada di Hatimu, setidaknya ada 4 aspek yang mesti kita laksanakan dalam berhijrah, yakni aspek spiritual/sufistik, aspek kultural, aspek filosofis dan aspek sosial. Hijrah juga mesti dilaksanakan lahir dan batin, artinya tidak hanya fokus memperbaiki tampilan lahir saja menjadi lebih syar’i, namun juga memperbaiki hati dan akal agar lebih Islami, sehingga kita tak hanya baik dalam tampilan lahir tetapi juga memiliki akal yang jernih dan hati yang suci. Dari sini, kita memahami bahwa hijrah memiliki makna yang luas, bahkan ia merupakan perjalanan tiada akhir. Oleh karena itu, sikap rendah hati sangat diperlukan dalam proses hijrah, sebab sejatinya kita sama-sama berada dalam perjalanan memperbaiki diri.

Baca Juga:  MODEL KAJIAN AL-QUR'AN DARI MASA KE MASA

Terakhir, dengan berhijrah tentu kita berharap generasi milenial Muslim akan tumbuh menjadi generasi yang mampu meneladani Nabi, yakni menjadi lebih toleran, terbuka (open minded), mempunyai semangat belajar yang tinggi dan akhlak yang mulia. Jangan sampai kita berhijrah hanya karena ikut-ikutan tren alias sekedar pencitraan, sehingga ketika trennya berganti, kita kembali lagi pada perilaku lama. Yang lebih parah lagi, jangan sampai kita berhijrah, tapi kita jadi makin jauh dari akhlak Nabi. Kita jadi lebih mudah memandang rendah orang lain, merasa diri suci, sukanya mengharam-haramkan, bahkan berani mengkafir-kafirkan orang lain yang tak sepaham. Itupun hanya dipelajari melalui proses instan bermodal nonton YouYube, plus baca-baca pesan broadcast di Facebook dan WhatsApp. Padahal, hijrah Nabi itu penuh perjuangan (tidak instan) sehingga berhasil mengubah umatnya dari jahil jadi pintar, dari intoleran jadi toleran, dari ekslusif jadi inklusif, dari keras jadi lemah lembut. Maka, yuk hijrah! tapi ikut Nabi, jangan ikut hawa nafsu.

0 Shares:
You May Also Like