Ihwal Sains dan Islam

Oleh: Raha Bistara

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Judul Buku       : Sains “Religius” Agama “Saintifik”

Penulis             : Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla

Penerbit           : Mizan

Tebal Buku      : 169 halaman

Cetakan            : Agustus 2020

ISBN               : 978-602-2441-178-7

Munculnya pandemi COVID-19 menyebabkan perdebatan yang begitu intens antara kaum agamawan dengan saintis yang tidak kunjung usai. Di satu sisi kaum agamawan (sebagian) mengedepankan sifat taklidnya terhadap nash Al-Qur’an dalam menghadapi pandemi yang sedang menjalar. Sedangkan di sisi yang lain kaum saintis dengan metode eksperimentalnya beranggapan sains satu-satunya alat alternatif yang bisa mengatasi problem yang sedang berlangsung.

Relasi antara sains dan agama bersifat konfliktual, independen, dialogis, maupun integrasi. Corak yang harus dikembangkan harus bersifat dialogis kemudian diintegrasikan antara sains dan agama untuk bersama-sama menghadapi bencana semacam COVID-19.Ternyata kepongahan kaum saintis yang tidak mau menganggap keilmuwan yang lain (di luar sains) dalam menyelesaikan problem yang sedang berlangsung menjadikan berhentinya metode dialogis di antara keduanya.

Tidak itu saja, kaum agamawan juga terlalu “pongah”, seolah-olah agama dengan dalil-dalil naqli atau sebagian dengan metode metafisika bisa menjawab problem yang sedang berlangsung tanpa campur tangan dari sains. Dengan kepongahan mereka inilah Haidar Bagir dengan Ulil Abshar Abdalla ingin mengkritisi di antara keduanya dengan menulis buku berjudul Sains Religius Agama Saintifik (2020).

Dengan buku ini, saya rasa kepongahan-kepongahan yang ditunjukan oleh mereka (agamawan dan saintis) akan redam dengan sendirinya ketika akal mereka diperdayagunakan dengan baik dan hati digunakan sebagaimana mestinya. Karena hubungan religius manusia sebagai “subjek” dan alam selebihnya sebagai “objek” dicirikan dengan kedekatan, bahkan kebersatuan serta interaksi dan partisipasi di antara unsur-unsurnya (hlm. 26).

Baca Juga:  Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan Dunia Muslim

Para saintis Muslim terdahulu seperti al-Kindi, Ibn Sina, al-Biruni, Ibn Hazm, Ibn Rusyd bahkan al-Ghazali mereka tidak meninggalkan sisi-sisi religiusitasnya dalam menemukan teori-teori baru dalam ranah filsafat. Ketika al-Ghazali menulis kitabTahafut al-Falasifah, di dalamnya ada kalimah falasifah, yang mencakup semua keilmuan terutama sains. Jadi, falasifah jangan diartikan pengertian yang sekarang. Karena pada masa klasik belum ada spesialiasi seperti sekarang. Di era sekarang banyak sekali cabang keilmuwan yang rumit, kecil, mendalam, bahkan spesifik. Pada zaman klasik ilmu yang disebut filsafat itu masih bersifat universal (hlm 134).

Kritiknya al-Ghazali terhadap para filsuf Muslim seperti al-Farabi dan Ibn Sina dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah hanya berkutat mengenai masalah metafisika saja, selain itu dia menerima keilmuwan yang lain dengan lapang dada. Bahkan al-Ghazali juga beranggapan orang yang tidak mempelajari logika ilmunya tidak bisa dipertanggung jawabkan. Kritik yang dilontarkan oleh al-Ghazali tidak bersikap “pongah” karena dia mendalami filsafat sedalam dalamnya dengan metode demonstrasi yang biasa dipakai oleh para filsuf.

Seharusnya, sebelum kaum saintis bersikap pongah dan jumawa terhadap kaum agamawan, mereka harus berlajar terlebih dahulu secara mendalam ilmu-ilmu yang biasa dipakai oleh kaum agamawan seperti ilmu Al-Qur’an, sunnah, ijma’ bahkan qiyas. Ketika para saintis mengetahui betapa pentingnya ilmu-ilmu agama untuk diintegrasikan dengan metode eksperimental yang biasa dipakai oleh mereka (saintis), saya rasa tidak ada kepongahan dalam diri saintis. Mereka akan sadar bahwa sains tanpa agama akan terasa kering dan mati.

Meminjam kata-kata dari Ludwig Wittgenstein seorang filsuf yang paling berpengaruh pada abad ke-XX, yang disebut sebagai language game (permainan bahasa). Jangankan beda agama, intra-agama yang sama punya language game bisa berbeda, lebih-lebih antara sains, agama dan filsafat. Dengan metode yang berbeda dan bahasa yang berbeda pula mereka akan saling berkelindan. Maka ketika kita menghakimi metode yang dipakai oleh agama dan filsafat dengan language game yang lain sesungguhnya menunjukkan kesempitan wawasan kita (hlm. 36).

Baca Juga:  Mengaktualkan Islam, Menjemput Kemajuan

Begitu juga dengan kaum agamawan (sebagian) yang selalu merasa “pongah” dengan metode taklid yang mereka pakai dalam menghadapi COVID-19. Mereka tidak belajar dari filsuf Muslim klasik semisal Ibn Sina (980-1037 M), selain seorang filsuf dia juga sebagai dokter dan ahli kedokteran terkemuka. Dalam karyanya Al-Qanun fi al-Thibb ada integrasi keilmuan antara agama dan sains, terutama ketika dia meramu obat-obatan dalam menghadapi wabah Pes yang sedang menjalar pada saat itu. Mereka (agamawan) tidak sadar kalau sains begitu amat penting dalam kehidupan mereka.

Sayangnya, kaum agamawan yang tidak mengetahui soal sains malah berbuat gaduh di ruang-ruang publik bahkan tidak sedikit mereka membuat semacam aforisme-aforisme yang seolah-olah menyepelekan wabah yang sedang berlangsung. Bahkan tidak sedikit mereka menentang pemerintah yang sudah menetapkan protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Lebih parahnya lagi, sebagian kaum agamawan menganggap pemerintah tidak pro terhadap agama Islam karena ritual-ritual keagamaan  yang bersifat fardu’ain dilarang untuk beberapa waktu. Dalam artian ibadahnya tidak dilarang tetapi berkerumun dalam jumlah besar yang dilarang.

Sains Islam

Perlu kita ketahui bahwa dimensi normativitas dan etika di dalam Al-Qur’an yang bersifat fardu’ain, imperative categorical tetap sama dari dulu sampai sekarang dan dalam situasi dan kondisi apa pun dalam memperlakukan manusia (Muslim ataupun non Muslim) dalam berbagai stratifikasi kelas sosial yang secara santun, demokratis, egaliter dan adil. Tidak semena-mena harus dijalankan dalam kondisi yang tidak memungkinkan.

Wajar ketika Mehdi Gholsani mencetuskan metode Sains Teistik dalam mendamaikan perpecahan antara agama dan sains. Bagi Gholsani sains dan agama tidak dapat dipertentangkan dan secara alamiah keduanya tidak ada persinggungan sama sekali. Sebaliknya sains dan agama memiliki keterkaitan sangat kuat sekali, bahkan saling mengisi. Itulah mengapa bagi Gholsani sains mutlak untuk senantiasa dihubungkan dengan entitas ketuhanan.

Baca Juga:  Tasawuf: Menjaga Akhlak dan Ketenangan Jiwa

Perpaduan sains dengan agama pada gilirannya akan mengantar manusia mengenal Tuhannya lebih dekat. Agama melalui kitab sucinya, Al-Qur’an sekalipun memiliki tingkat kebenaran yang  mutlak, tidak akan berhenti bagi pengikutnya sampai disitu saja, dalam artian memahami ajaran agama hanya berhenti pada teks semata. Sebagai ciptaan Tuhan yang paling unggul mereka akan menggunakan akalnya dalam mencari kebenaran-kebenaran yang ada di dalam Al-Qur’an salah satunya mengenai fenomena alam semesta.

Kehadiran buku Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla menjawab problem yang selama ini terjadi antara kaum agamawan dengan para saintis. Hal ini ingin meluruskan bahwa tindakan semena-mena saling merasa benar dan saling menyalahkan tidak diperkenankan, terlebih mereka (agamawan dan saintis) tidak mengetahui secara mendalam keilmuan yang mereka anggap tidak berguna. Usaha para saintis Muslim klasik dan modern dalam mengintegrasikan antara sains dan agama bukan semata-mata untuk kepentingan kelompok maupun individu melainkan mencari kebenaran serta problem agama dan sosial yang terjadi di masa sekarang dan yang akan datang.

 

0 Shares:
You May Also Like