Oleh: Bil Hamdi
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra
Judul Buku : Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim
Penulis: Farag Fouda
Penerjemah: Novriantoni
Edisi: Cetakan II, Agustus 2008
Penerbit: Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan Penerbit Dian Rakyat
Tebal Buku: 198 Halaman
Pilih kabar baik atau kabar buruk? Jika dihadapkan pada dua pertanyaan ini, secara alamiah kita tentu akan lebih cenderung untuk memilih dan mendengarkan kabar baik. Fitrah kemanusiaan kita tampaknya memang disetel untuk selalu demikian. Namun, hal itulah yang beberapa hari ini sedang kulawan saat membaca buku berjudul “Kebenaran Yang Hilang”. Sebagai pembaca, aku diajak untuk menyiapkan diri menghadapi kenyataan pahit dalam sejarah Islam. Sebuah buku yang menjelaskan sisi lain dari sejarah yang sering terabaikan.
Mengapa bisa terabaikan? Ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini. Kita bisa saja mengatakan itu adalah ulah penguasa, pejabat, politisi, pemangku kepentingan, atau bahkan ulama. Namun, kita tidak usah terlalu mendalam di situ dulu. Simpelnya, fakta kelam ini terabaikan karena manusia selalu cenderung untuk mendengarkan kabar yang baik-baik saja. Pertanyaannya, maukah kita sesekali mendengar sebuah kabar buruk, cerita tentang kejahatan dan penyelewengan dalam sejarah Islam yang semua itu bertentangan dengan apa yang kita yakini?
Di sini, aku tidak ingin mengatakan bahwa aku mempercayai kabar buruk itu, sebaliknya aku juga tidak mengatakan bahwa aku menolaknya. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku telah membacanya. Aku telah memberanikan diri untuk membaca sesuatu yang sebenarnya tidak ingin aku baca. Sebuah fakta yang membuat hatiku bergetar. Setiap katanya bagaikan provokasi. Namun, kejujuran tetap bisa kurasakan saat membaca tiap halamannya.
Buku itu berjudul “Kebenaran Yang Hilang”. Penulisnya bernama Farag Fouda. Seorang cendekiawan Mesir yang dikenal sebagai seorang sekularis yang sangat kritis dan tajam pemikirannya. Dia seringkali terlibat dalam perdebatan panas melawan kelompok Islamis Mesir yang menginginkan berdirinya khilafah Islamiyah di negeri piramida itu. Sebagai seorang sekularis, tentunya dia tidak setuju dengan berdirinya sebuah negara agama (teokrasi). Apalagi Mesir adalah negara yang penduduknya terdiri dari beberapa agama.
Harus kuakui, sejarah yang disajikan dalam buku ini sangat bagus dan terasa dramatis. Tentunya, penilaian bagus di sini terlepas dari benar atau tidaknya cerita yang disampaikan. Farag Fouda berhasil mengambil simpatiku padanya saat aku selesai membaca bukunya. Ada banyak harapan yang disampaikan dalam buku itu untuk generasi selanjutnya. Salah satunya yaitu berani untuk mengetahui kenyataan betapa pun pahit dan sulitnya hati untuk menerima kenyataan itu. Hanya mau mendengarkan kabar baik juga kadang sangat berbahaya sebab dapat meninabobokkan. Hasilnya, kita menjadi jauh dari kenyataan.
Baik, kita sampai pada pertanyaan, apa sih isi bukunya? Seseram apakah pembahasannya? Sebenarnya, tidak terlalu menyeramkan. Dengan syarat, setiap pembaca harus siap menerima betapa berbedanya fakta dalam buku itu dengan fakta yang diyakini umum.
Buku ini menceritakan sejarah kekhalifahan khulafa al-rasyidin, dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah. Tapi bukan sejarah secara runut, sebab fokusnya bukan itu. Buku ini lebih fokus dalam mengungkap fakta-fakta sejarah yang seringkali ditutup-tutupi oleh sebagian kita, yaitu fakta kelam dari masa kekuasaan bani Umayyah dan Abbasiyah serta dalam porsi yang lebih sedikit dari masa khulafa al-rasyidin.
Bukankah itu masa-masa emas khilafah Islam? Ya, itu memang masa-masa kejayaan khilafah Islam. Terutama bila kita menggunakan tolok ukur dunia. Pada rentang masa ini, kita menyaksikan kekuasaan Islam berkembang pesat. Wilayah khilafah semakin luas, bahkan mencapai Andalusia (Spanyol). Apakah perlu berbangga? Ya, jika kebanggaan itu adalah atas pencapaian duniawi semata. Loh kok gitu? Kenapa hanya pencapaian dunia saja? Dari apa yang terbaca dari buku itu, tampaknya memang demikianlah adanya.
Kita mungkin dengan bangga menyebut era tersebut sebagai golden age alias masa keemasan bagi khilafah Islam. Mengenang masa-masa itu, kita akan membayangkan suatu kurun waktu di mana Islam berjaya, semua masyarakat bahagia, syariat diterapkan secara utuh dan berbagai keindahan lainnya. Namun, apakah memang demikian adanya? Tidakkah keindahan yang kita bayangkan itu terlalu berlebihan? Apakah kita tidak pernah sedikit berprasangka buruk terhadap masa itu?
Buku ini mengajak kita membayangkan masa itu sebagai masa yang biasa saja. Manusia di dalamnya juga bukanlah orang-orang suci. Sebuah masa yang tak berbeda dengan masa lainnya yang pernah ada. Di dalamnya juga terjadi kemaksiatan, kejahatan dan keburukan, bahkan lebih parah dari masa sekarang. itu bukanlah masa yang suci.Tampaknya, ini cukup masuk akal. Dan kenyataan seperti inilah yang seringkali luput dari kita.
Bermula dari masa sepeninggal Nabi besar kita semua, yakni Nabi Muhammad (salawat dan salam atasnya), kita memasuki masa yang disebut sebagai masa khulafa al-rasyidin. Pertanyaannya, apakah masa ini suci? Kita mungkin agak was-was dan ragu menjawabnya, meski sudah tahu bagaimana kisahnya. Jawabannya, ya. Ini adalah masa yang biasa saja. Di dalamnya ada orang-orang yang menyeleweng dari Islam, berbuat maksiat dan sebagainya. Kenyataan pahitnya adalah seringkali terjadi peperangan sesama para sahabat Nabi. Beberapa yang terbesar adalah perang Jamal dan Shiffin. Dilema, itulah bahasa yang cocok menggambarkan masa itu. Kita tentu sering mendengar hadis-hadis Rasul yang mengagung-agungkan para sahabatnya, bahkan jaminan surga bagi mereka. Tapi, mengapa mereka berperang sesama mereka? Adakah yang berani menjawabnya? Apakah mungkin karena mereka adalah manusia biasa yang bisa terbawa emosi? Mungkinkah mereka bernafsu memperebutkan kekuasaan dan harta benda? Ini tentunya perlu perenungan kembali.
Masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah juga demikian, ia bukanlah masa yang suci, bahkan seringkali jauh dari agama. Kalau kita mau jujur, bani Umayyah didirikan setelah mereka berhasil meruntuhkan kekuasaan sayidina Ali bin Abi Talib ra. dengan arbitrasenya. Kekuasaan Abbasiyah didirikan di atas mayat-mayat orang Umayyah. Mirisnya, mereka semua mengklaim diri masing-masing sebagai Muslim. Bagaimana mungkin sesama Muslim saling bunuh hanya untuk mendapat kekuasaan? Jawabannya mungkin dan telah terjadi. Ribuan Muslim telah gugur berperang sesama mereka. Semuanya meneriakkan takbir, tapi saling menghunus pedang. Wow bukan….!
Hal memilukan lainnya adalah kebiasaan para khalifah bani Umayyah dan Abbasiyah yang sangat jauh dari tuntunan agama Islam. Buku itu bahkan dengan yakin mengatakan bahwa selama kekuasaan dua kekhilafahan itu, hanya dua orang khalifah yang dianggap amanah dalam menjalankan kepemimpinan, yakni Umar bin Abdul Aziz (Umayyah) dan Al-Muhtadi (Abbasiyah). Selainnya, mereka hanyalah orang biasa, malah bisa dikatakan bejat. Membunuh adalah hal lumrah dalam perebutan kekuasaan. Para khalifah tak pernah segan-segan membantai habis siapa pun yang mengusik kekuasaan abadinya, meskipun itu adalah anaknya sendiri. Membunuh adalah kosakata keseharian dalam lingkungan kekuasaan saat itu.
Belum lagi perbuatan menyimpang lainnya. Meminum khamar dan main perempuan adalah kebiasaan khalifah yang membuat hati kita makin tersayat. Adalah kewajaran pada saat itu para khalifah dan petingginya memiliki istri dan selir yang sangat banyak. Bahkan disebutkan terdapat beberapa orang khalifah yang homoseksual. Buku itu menjelaskan banyak kisah-kisah memilukan lainnya. Tak dapat disebutkan satu per satu di sini. Namun, perlukah kita percaya pada sejarah yang ditulis oleh Farag Fouda? Menurutku tidak, akan tetapi tetap perlu kita renungi. Lalu, bertanya mungkinkah ada era yang benar-benar suci ?
Semua yang Farag Fouda sampaikan dalam bukunya, tidak lain bertujuan untuk mencapai kesimpulan bahwa khilafah islamiyah yang kita bangga-banggakan itu tidak benar-benar islami. Islam bukanlah klaim dari manusia. Sebab manusia seringkali menggunakan klaim itu untuk membenarkan tindakan-tindakan bejatnya.
Kita mungkin menyaksikan sebagian masyarakat yang begitu mendambakan agar kejayaan Umayyah dan Abbasiyah itu kembali lagi. Tampaknya, ekspektasi kita terhadap keduanya terlalu berlebihan. Kini kita tak lagi bisa mengabaikan pembantaian sesama Muslim yang terjadi di masa itu serta kelakuan bejat para pejabatnya yang jauh melenceng dari nilai-nilai keislaman. Kita bahkan perlu merenungi kembali apakah perlu menyebut masa itu sebagai khilafah islamiyah? Sebab Islam tak pernah melegalkan pembunuhan manusia, zina, memperturutkan hawa nafsu atau pun minuman keras. Lalu, kenapa sebagian kita sangat menginginkan kembalinya masa itu? Apakah kita ingin kembali pada masa di mana sesama Muslim saling membunuh hanya untuk merebut kekuasaan?
Pada tanggal 8 Juni 1992, Farag Fouda ditembak mati di Madinat al-Nasr, Kairo oleh dua orang bertopeng yang mengaku dari kelompok Jamaah Islamiyah. Dia dibunuh oleh orang-orang yang menginginkan kekhilafahan Islam berdiri kembali. Nyawanya dihabisi oleh orang-orang yang menginginkan syariat Islam diterapkan secara utuh. Farag Fouda dianggap telah merendahkan Islam. Mungkin lebih tepatnya Farag Fouda telah menghambat tujuan mereka mencapai kekuasaan, sehingga darah Fouda menjadi halal. Akhirnya, ia tewas membawa sejuta pesan dan makna bagi siapa pun yang ditinggalkannya.