Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat: Duka bagi Mereka yang Tersisihkan
Identitas Buku
Judul Buku : Kisah dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat
Penulis : Tania Murray Li
Tahun Terbit: 2020
Penerbit : CV Marjin Kiri
ISBN : 978-602-0788-02-9
Jumlah Hlm : xiv + 326
Tania Murray Li, seorang Guru Besar dari Departement of Anthropology, University of Toronto, menulis buku yang sangat baik, buku yang sangat penting untuk dibaca, bukan hanya dalam lingkup antropologi, tapi juga penganut teori modernisasi pada umumnya, aktivis atau pengkaji gerakan sosial, dan tentunya para pemangku kebijakan. Buku tersebut yaitu Kisah dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat (2020) merupakan terjemahan dari Land’s End: Capitalist Relations on Indigenous Frontier (2014).
Buku ini merupakan hasil riset etnografis selama 20 tahun (1990-2009) di wilayah pedalaman (perbukitan) Lauje, Sulawesi Tengah dan mendasarkan pada analisis konjungtur—pertukaran naik turunnya kemajuan dan kemunduran ekonomi yang terjadi secara berganti-ganti. Keunggulan riset etnografis dengan mendasarkan pada analisis konjungur dalam konteks penelitian Tania Murray Li sendiri jelas sangat terlihat, yang memungkinkan Tania Murray Li melakukan pengamatan dari dekat, dan dalam kurun waktu tersebut (20 tahun), Tania bisa mencatat proses-proses sosial yang berlangsung di tengah masyarakat, sehingga bisa mencatat perubahan-perubahan yang terjadi, dan pergeseran pandangan di kalangan masyarakat itu sendiri.
Kritik terhadap Teori Modernisasi dan Aktivis Gerakan Sosial
Kisah dari Kebun Terakhir (2020) membahas upaya penghuni perbukitan untuk ikut serta dalam iming-iming derap kemajuan yang dijanjikan oleh narasi modernisasi, akan tetapi yang terjadi adalah kesenjangan yang semakin melebar akibat drai hubungan-hubungan kapitalis yang terjadi di antara mereka. Petani yang mampu mengakumulasi lahan dan modal menjadi sejahtera; mereka yang kalah bersaing tertendang ke luar arena.
Tania Murray Li menemukan adanya perubahan dan pemanfaatan lahan, berakhirnya sistem adat berbagi lahan, dan berakhirnya hutan primer sebagai cadangan tanah, tempat penghuni perbukitan bisa berekspansi manakala dibutuhkan atau ada kesempatan. Dan semua itu terjadi, dimulai dari ketertarikan para penghuni bukit untuk menanam tanaman komoditas, seperti kakao, sehingga yang terjadi kemudian adalah privatisasi tanah (pengavelingan) yang dimulai pada tahun 1990an.
Privatisasi tanah jelas memungkinkan kepemilikan lahan menjadi timpang, dan seiring waktu, pertani-petani yang efesien dapat mengakumulasi lahan dan modal, serta membayar buruh untuk memperluas lahan dan keuntungan. Petani yang gagal bersaing kehilangan akses atas lahan dan terpaksa menjual tenaga kerjanya, itu pun jika ada yang mau membayarnya. Hal yang menyedihkan dari proses tersebut, yaitu kapasitas beberapa penghuni perbukitan untuk menjadi sejahtera justru bergantung pada kegagalan tetangganya yang terperangkap utang dan terpaksa menjual lahan.
Temuan dalam buku tersebut pertama-tama membantah asumsi teori modernisasi, yang menyebut bahwa meskipun ada beberapa orang yang akan terpukul ketika pertanian menjadi semakin intensif dan kompetitif, tetapi para bekas petani tersebut diasumsikan akan menjadi buruh yang bertahan hidup dengan menjual tenaganya. Akan tetapi, apa yang diasumsikan oleh teori modernisasi tersebut tidak terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya lagi bagi para petani di Perbukitan Lauje yang kalah bersaing. Mereka kesulitan mencari mata pencaharian lainnya, mengingat tanaman dagang seperti kakao hanya memerlukan sedikit tenaga kerja. Mereka pun kesulitan juga misalnya ketika mengikuti program transmigrasi, mengingat penguasaan bahasa mereka hanya terbatas pada bahasa lokal setempat dan karena persoalan akses lahan yang memang tidak ada. Para petani yang gagal ini pun menemui sebuah “jalan buntu” untuk keberlangsungan hidup mereka. Tentu, ini menjadi sebuah kedukaan.
Keduanya, temuan Tania Murray Li pun patut menjadi perhatian para pembelajar dan aktivis gerakan sosial, di mana hal yang mengejutkan, yaitu proses yang menyebabkan sebagian petani yang tercecer, tersisihkan atau kehilangan atas akses tanah, bukanlah karena ada perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan ataupun instansi pemerintah. Akan tetapi, karena inisiatif penghuni perbukitan sendiri yang menanam tanaman jangka panjang. Para penghuni perbukitan tersebut tidak mengantisipasi bahwa hal itu akan mengakibatkan individualisasi hak atas lahan dan membentuk hubungan kapitalis yang membuat kemampuan bertahan hidup mereka diatur oleh prinsip persaingan dan laba.
Menurut Tania Murray Li, selama gerakan sosial tidak mengenali betapa tersembunyi dan berbahayanya hubungan-hubungan kapitalis bekerja bahkan di tempat-tempat yang tidak diperkirakan, mereka tidak akan mampu menyediakan alternatif yang akan sungguh-sungguh berhasil. Ia pun menyoroti, bahwa gerakan-gerakan sosial kontemporer kebanyakan berfokus pada sumber penghidupan pedesaan yang terancam dengan adanya penyerobotan lahan dari “pihak luar”, seperti negara ataupun perusahaan, tetapi tidak menaruh perhatian pada hubungan-hubungan kapitalis yang terjadi secara diam-diam dan bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri.
Apa yang dimaksud hubungan kapitalis di sini, yaitu rangkaian hubungan yang dicirikan oleh ketimpangan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi (lahan, modal), sekelompok non-pemilik yang harus menjual tenaga kerja, dan penggunaan modal untuk menghasilkan laba di bawah kondisi persaingan. Persaingan berarti pemilik modal harus mencari untung agar bisa menghasilkan lebih banyak modal untuk diinvestasikan, semata-mata demi mempertahankan keadaan diri mereka sebagai pemilik modal. Bila berhasil, akumulasi mereka menekan orang lain, memperparah dan kadang-kadang memperdalam kesenjangan kepemilikan yang diawali oleh siklus tersebut.
Masyarakat perbukitan Lauje adalah salah satu contoh nyata, bahwa gambaran masyarakat adat yang mempunyai solidaritas kuat, termasuk soal pengelolaan lahan, tidak selalu terjadi. Hubungan kapitalis yang terjadi di tengah masyarakat menghancurkan solidaritas dan dengan cepat menghadirkan ketimpangan yang tajam. Sebab itu, gejala-gejala seperti ini harus juga mendapat perhatian yang besar, agar kemudian mereka yang tersisihkan dapat ditanggulangi dan tetap bisa melanjutkan kehidupan.
Keberlangsungan Hidup Mereka yang Tersisihkan: Sebuah Tantangan Politik
Menjadi catatan penting, di sisi yang lain, kebijakan pemerintah seperti memberi izin bagi pembukaan lahan kebun sawit ataupun tanaman komoditas lainnya kepada perusahan-perusahaan tertentu yang banyak terjadi di berbagai daerah, dengan mengasumsikan bahwa para petani pun dapat dipekerjakan di dalamnya, nyatanya tidak banyak menolong.
Perusahaan sawit hanya memerlukan sedikit tenaga kerja. Sebab itu, kebijakan tersebut tentu perlu ditinjau ulang untuk lebih memerhatikan nasib petani yang tersisihkan. Menurut temuan Tania Murray Li, masyarakat pedalaman ini bahkan minim tersentuh bantuan negara.
Secara umumnya, nasib para petani yang tersisihkan seperti yang terjadi di masyarakat Lauje, patut menjadi suatu tantangan politik bagi kita bersama, terutama bagi para perancang pembangunan ataupun pemangku kebijakan. Bagaimanapun persoalan orang-orang yang tidak memiliki tanah, tidak memiliki pekerjaan, tanpa jaminan sosial dan tanpa sekutu harus segera di atasi. Hal itulah yang menjadi salah satu tantangan politik terbesar saat ini. Memperhatikan dan mengatasi persoalan nasib warga yang tersisihkan, jelas berkaitan juga dengan upaya meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi agar lebih substantif, yang salah satu prasyaratnya yaitu partisipasi warga yang paling papa dan terpinggirkan berjalan secara efektif.