Memahami Epistemologi Bayani, Burhani dan ‘Irfani Mohammad Abed al-Jabiri

Pembaharuan yang dilakukan Al-Jabiri adalah dengan melakukan kritik epistemologis terhadap struktur tradisi keilmuan Arab-Islam. Dengan mengkaji ulang sejarah kebudayaan Arab-Islam dan menganalisis nalar Arab itu sendiri. (Wardatun Nadiroh, “Fahm al-Qur’an al-Hakim”: 2016)

Mengingat peradaban Arab merupakan tempat tumbuh dan munculnya ajaran Islam. Oleh sebab itu, inilah yang mendorong Al-Jabiri untuk menganalisis background sosio-politik, proses perumusan dan keterbentukan nalar Arab-Islam, sekaligus menganalisis secara mendalam seluk-beluk mekanisme kinerja struktur nalar-nalar Arab yang tak jarang saling berbenturan di tengah-tengah budaya Arab.

Al-Jabiri meminjam teori dari Lalande dalam mendefinisikan nalar Arab, tentang perbedaan nalar pembentuk (al-‘aql al-mukawwin) dengan nalar terbentuk (al-aql al-mukawwan). Nalar pembentuk (al-‘aql al-mukawwin) adalah naluri yang dimiliki setiap manusia untuk menciptakan teori-teori dan prinsip-prinsip yang universal, sedangkan nalar terbentuk (al-aql al mukawwan) adalah sejumlah asas atau kaidah yang dijadikan pegangan dalam berargumentasi. (Nurlaelah Abbas, Al-Jabiri dan Kretik Nalar Arab: Sebuah Reformasi Pemikiran Islam: 2014)

Berdasarkan perbedaan ini, maka yang dimaksud nalar Arab adalah nalar terbentuk (al-aql al mukawwan) yakni sejumlah asas dan kaidah yang dimunculkan kebudayaan Arab bagi mereka yang terkait dengannya, sebagai landasan untuk memperoleh atau memproduksi pengetahuan.

Al-’aql al-mukawwan tidak lain merupakan sistem kognitif “bersama” yang berdiri di balik pengetahuan atau Michel Foucault menyebutnya dengan istilah epistem. Secara singkat nalar Arab adalah nalar yang terbentuk oleh budaya Arab itu sendiri. Dan inilah yang dimaksud al-Jabiri.

Epistemologi menurut al-Jabiri adalah sejumlah, prinsip dasar dan aktivitas untuk memperoleh pengetahuan dalam suatu era historis tertentu, yakni struktur bawah sadarnya. Epistmologi ini mulai terbentuk sejak era pengkodifikasian atau pembukuan baik itu kitab suci, hadis serta berbagai macam ilmu lainya.

Baca Juga:  MANUSIA DAN AGAMA DALAM SOROTAN

Menurut konsep al-Jabiri, ada tiga metodologi epistemologis yang digunakan untuk membongkar nalar Arab tentang turats (tradisi) yaitu, epistemologi bayani, ‘irfani dan burhani.

Epistimologi Bayani

Dalam kamus bahasa Arab kata bayan memiliki arti pisah atau terpisah (al fashl/al-infishal) dan jelas atau menampakkan (al-zhuhur/al-izhar). Menurut Abid al-Jabiri, pengertian yang pertama terkait dengan wujud ontologis, sementara pengertian yang kedua terkait dengan wujud epistemologis. (Washil, Izzuddin. “Dilema Tradisi dan Modernitas Telaah atas Kritik Nalar Arab Muhammad abid al-Jabiri” 2016)

Bayani merupakan metode pemikiran yang menekankan otoritas teks (nash) dan dijustifikasi oleh logika penarikan kesimpulan. Jadi nalar bayani bekerja dengan menggunakan mekanisme yang sama berangkat dari dikotomi antara lafaz dan makna

Pembahasan mengenai kajian-kajian bayani dalam peradaban Arab-Islam, dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, terkait dengan aturan dalam menafsirkan teks, dan kedua terkait dengan syarat memproduksi teks.

Tradisi untuk menafsirkan suatu teks sudah ada sejak zaman Rasulullah saw, yaitu ketika para sahabat meminta penjelasan tentang makna lafaz atau ungkapan yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Di dalam epistimologi bayani teks merupakan sumber yang paling utama. Maka dari pada itu bahasa menempati pososi yang paling strategis dalam episteme bayani. Jadi menurut Abed al-Jabiri nalar bayani itu terdapat dalam kajian ilmu kebahasaan, nahwu, fikih, teologi (ilmu kalam) dan ilmu balaghah.

Epistemologi Irfani

‘Arafa merupakan asal kata dari kata ‘irfani yang merupakan masdar, yang berarti al-ma’rifah yaitu ilmu pengetahuan. Kemudian ‘irfani lebih dikenal sebagai terminologi mistik yang secara khusus berarti pengetahuan tentang Tuhan. ‘Irfani merupakan kelanjutan dari bayani, akan tetapi kedua pengetahuan ini berbeda satu dengan lainnya.

Bayani mendasari pengetahuan pada teks, sedangkan ‘irfani mendasari pengetahuan tentang tersingkapnya rahasia-rahasia sesuatu oleh atau karena Tuhan (kasyf). ‘Irfani disebut juga dalam bahasa Yunani dengan gnose (alghanhus), yang berarti pengetahuan atau kadang juga bermakna al-‘ilm dan al-hikmah.

Dalam hal ini, ‘irfan dapar diartikan dengan; Pertama, pengetahuan tentang masalah-masalah keagamaan. Kedua, pengetahuan yang hanya dimiliki oleh orang beriman atau tokoh agama (ulama). Maka dari itu, ‘irfani tidak diperoleh melalui analisis teks namun dari hati nurani yang suci, sehingga Tuhan melimpahkan sebuah pengetahuan.

Baca Juga:  Menilik Kembali Gerakan Ahmadiyah di Indonesia

Menurut al-Jabiri di dunia Islam terdapat tiga kelompok yang tergolong dalam al-‘Irfaniyah yaitu: 1. Golongan yang pemikiranya mengangap sikap ‘irfani itu merupakan yang paling paling tinggi. Ini biasanya dilakukan oleh para sufi. 2. Golongan yang lebih mengedepankan watak filosofis, biasaya dilakukan oleh orang yang mengembang tasawuf filsafi 3. Golongan yang mengedepankan misi mistis. ini banyak ditemukan di kalangan para filsuf Islamiyah dan kalangan mutsahawwifah bathiniyah.

Epistemologi Burhani

Orang yang pertamakali membawa nalar burhani ke dalam peradaban Arab Islam adalah al-Kindi melalui sebuah tulisannya, yang berjudul Al-Falsafah al-Ula. Burhani dalam bahasa Arab berarti bukti yang rinci dan jelas, sedangkan dalam bahasa Latin adalah demonstration yang berarti isyarat, gambaran dan jelas.

Sedangkan Menurut istilah dalam pengertiannya yang sempit berarti cara berpikir dalam memutuskan sesuatu menggunakan metode deduksi (istintaj). Sedangkan dalam pengertiannya yang umum, burhan berarti memutuskan sesuatu. Menurut al-Jabiri burhani adalah penghasilan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.

Dengan dalil-dalil logika tersebut, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indra, yang dikenal dengan istilah dengan nama tashawwur dan tasydiq, yaitu proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indra, sedangkan tasydiq adalah proses pembuktian terhadap kebenaran terhadap konsep tersebut.

Apabila bayani adalah nalar yang hidup dari dalam rahim kebudayaan Arab itu sendiri, dan apabila irfani merupakan pada awalnya manifestasi dari perlawanan politik terhadap otoritas kaum yang disebut dengan Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beda jauh dengan burhani. Kehadirannya di tengah peradaban Arab-Islam dapat dikatakan sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara epistemologi ‘irfani dengan epistemologi bayani.

Dan tidak seperti epistemologi ‘irfani yang secara terang-terangan menunjukkan sikap ‘permusuhan’ dengan bayani. Dikarekan para pakar epistemologi burhani menyadari bahwa epistemologi bayani merupakan satusatunya nalar yang sudah ada atau sudah melekat pada rahim kebudayaan Arab Islam. Nalar burhani ini juga merupakan nalar yang paling populer di kalangan orientalis.

Baca Juga:  Syaikh Ahmad Sirhindi: Pembaru Kajian Tasawuf di India

Previous Article

Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat: Duka bagi Mereka yang Tersisihkan

Next Article

Metode Kesahihan Hadis Ala Sufi

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨