Metode Kesahihan Hadis Ala Sufi

Ada tiga madrasah dalam khazanah pemikiran Islam yang mewarnai kehidupan manusia hingga sekarang, yaitu: madrâsah ahl al-adîś (lebih condong ke teks), madrâsah ahl ar-ra’y (lebih condong ke rasio/nalar), dan madrâsah ahl aż-żawq (lebih condong ke perasaan/intuisi). Barangkali ketiga madrasah ini memiliki hubungan dengan apa yang disebut trilogi epistemologi (bayani, burhani, dan ‘irfani) oleh Mohammad Abed al-Jabiri.

Penulis pernah membaca buku Teologi Negatif Ibn ‘Arabi karya Muhammad al-Fayyadl yang menyebutkan pandangan Syaikh al-Akbar Ibnu ‘Arabî tentang tiga jenis ilmu pengetahuan, yaitu: ‘ilm al-awâl, ‘ilmu al-‘aql, dan ‘ilm al-asrâr. Barangkali ketiga jenis ilmu pengetahuan ini berkaitan dengan epistemologi ilmu pengetahuan dalam dunia filsafat, sebagaimana penulis baca dalam buku Mahzab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer. Disebutkan bahwa epistemologi (sumber) ilmu pengetahuan adalah pengalaman, pikiran, dan intuitif.

Metode Konfirmasi Hadis Para Wali Allah

Dalam khazanah ilmu hadis, para ulama hadis (muaddiśîn) telah menetapkan metodologi untuk menilai kualitas sebuah hadis, baik sahih, hasan, da’if, maupun palsu (mawû‘). Menurut Abdul Haris (pengkaji ilmu hadis dari S1, S2, hingga S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) ketika mengajar di Program Interdisciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, ilmu hadis merupakan ilmu yang paling rumit, menguras tenaga dan pikiran di antara ilmu-ilmu keislaman lainnya. Hal ini karena saking banyaknya rumpun ilmu hadis yang harus dipelajari, seperti ‘ilm al-jar wa at-ta‘dîl, ‘ilm rijâl al-adîś, ‘ilmu mukhtalaf al-adîś, ‘ilm ‘ilal al-adîś, ‘ilm garîb al-adîś, ‘ilm nâsikh al-adîś wa mansûkhihî, ilmu kritik sanad, ilmu kritik matan, dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Al-Qur’an sebagai Sumber Pengetahuan (Bagian 3)

Namun demikian, beberapa wali Allah memiliki metode tersendiri dalam menilai kualitas sebuah hadis. Metode ini sangat berbeda dengan metode yang ditetapkan oleh ulama hadis, ulama ushul fiqh, dan ulama fikih (fuqahâ’). Sebab, jika ulama hadis sangat bergantung kepada keberadaan dan kualitas sanad (untuk memastikan apakah hadis tertentu benar dari Nabi saw. atau bukan), tetapi beberapa wali Allah tersebut “tidak membutuhkan” konfirmasi sanad.

Dalam hal ini, para wali Allah bertanya langsung kepada Rasulullah saw. mengenai hadis tertentu (apakah ia sahih atau tidak) dalam keadaan sadar dan mimpi. Pertanyaannya adalah: apakah hal demikian bisa dilakukan? Padahal diketahui secara saksama Rasulullah saw. sudah wafat ratusan tahun yang lalu.

Ketika Seorang Wali Menegur Seorang Fakih Perihal Hadis Batil

Ketika ditanya apakah seseorang bisa bertemu dan berkumpul dengan Rasulullah saw. dalam keadaan sadar dan terjaga di masa sekarang? Imam Ibnu Ḥajar al-Haitamî menjawab bahwa perkara ini sangat mungkin terjadi di masa sekarang (Al-Fatâwâ al-adîśiyyah, penerbit Dâr al-Ma‘rifah Beirut, hlm. 297).

Sebab, menurut Imam Ibnu Ḥajar al-Haitamî, ada beberapa ulama dan wali terkemuka dari kalangan mazhab asy-Syâfi‘î (seperti Imam al-Gazâlî, Imam al-Bârizî, Imam at-Tâjuddîn as-Subkî, dan Imam ‘Afîf al-Yâfi‘î) dan kalangan mazhab Mâlikî (seperti Imam al-Qurṭubî dan Imam Ibnu Abî Jamrah) yang memiliki karomah bisa bertemu dan berkumpul dengan Rasulullah saw. dalam keadaan terjaga (hlm. 297).

Bahkan Imam Ibnu Ḥajar al-Haitamî menyebutkan kisah seorang wali yang menghadiri majelis ilmu seorang fakih. Dalam kesempatan ini, si fakih menyebutkan sebuah hadis yang diklaim berasal dari Nabi saw. Akan tetapi, si wali membantah bahwa hadis itu adalah batil karena tidak berasal dari Nabi saw. Si fakih bertanya seraya berkata: “Dari mana Anda mengetahui bahwa hadis ini bukan dari Nabi saw.?”

“Ini Rasulullah saw. berdiri di hadapan Anda, dan berkata tidak pernah menyabdakan hadis itu,” jawab si wali. Kemudian, si wali membuka penglihatan si fakih tersebut, sehingga ia bisa melihat Rasulullah saw. yang ada di depannya (hlm. 297).

Baca Juga:  Ketika Tuhan Menurunkan Martabat-Nya

Dalam kesempatan lain, ketika wali quub Imam Habib ‘Abdullâh bin ‘Alawî al-Ḥaddâd (pengarang Râtibul Haddâd) mengalami kemuskilan (ketidakjelasan) tentang status hadis tertentu (apakah ia sahih atau tidak), maka beliau langsung bertanya status hadis tersebut kepada Rasulullah saw. dalam keadaan sadar dan terjaga (Habib Zein bin Smith, Al-Fawâ’id al-Mukhtârah, 2008: 596).

Menurut Syekh ‘Abdul Wahhâb asy-Sya‘ranî, kedudukan (maqâm) menerima sesuatu dari Rasulullah saw. secara langsung dan mendengar langsung suaranya ketika menjawab salam (maqâm al-akhżi ‘an rasûlillâh saw. wa simâ‘i awtihî bi ar-raddi ‘alaihi as-salâma) hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah menempuh beberapa tingkatan (maqâmât) spiritual dalam dunia kewalian (hlm. 217).

Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Akam

0 Shares:
You May Also Like