Raghib al-Ishfahani dalam Mufradāt Alfāzh al-Qur’ān menjelaskan makna asli dari kata puasa (al-shaum/as-shiyām) adalah menahan diri dari sesuatu baik makan, berbicara maupun berjalan. Oleh karenanya, dalam syair disebutkan;
خيل صيام وأخرى غير صيام
“Kuda ini menolak untuk berjalan dan makan akan tetapi yang lainnya tidak”
Sedangkan menurut syariat puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya—makan dan minum, berhubungan suami istri, istimna’ (onani/masturbasi)—mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari, dengan disertai niat untuk melakukan kewajiban yang Allah perintahkan.
Terkait puasa Allah berfirman:
يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).
Lihatlah! dalam ayat ini Allah swt. begitu mesra memanggil hamba-Nya dengan ungkapan, “Hai orang-orang yang beriman!” Menurut Abdullah bin Mas’ud—sahabat Nabi dan sekaligus ahli tafsir terkemuka—apabila suatu ayat dimulai dengan panggilan kepada orang-orang yang beriman, maka ayat itu mengandung perihal penting dan memiliki seabreg manfaat atau larangan yang dampaknya begitu berat. Tuhan mengetahui perintah atau larangannya itu hanya mampu dilaksanakan oleh hamba-hamba-Nya yang memiliki keimanan. Maka, perintah puasa adalah perintah yang memerlukan pengorbanan dan ketulusan hati, dan hanya orang-orang yang beriman yang mampu melaksanakannya.
Setelah itu Allah berfirman, “Diwajibkan atas kamu”. Menurut Qurash Shihab—mufasir Indonesia—redaksi seperti ini tidak menunjuk siapa pelaku yang mewajibkan. Agaknya untuk mengisyaratkan bahwa apa yang akan diwajibkan ini sedemikian penting dan bermanfaat bagi setiap orang bahkan kelompok, sehingga seandainya bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya manusia sendiri yang akan mewajibkan atas dirinya sendiri. Dan yang diwajibkan adalah as-shiyām, yakni menahan diri.
Rangkaian ayat puasa dilanjutkan dengan kalimat, “(Kewajiban berpuasa) itu telah diwajibkan pula kepada umat-umat sebelum kamu”.
Mengomentari ayat di atas Wahbah Zuhaili berpendapat, minimal ada tiga pemaknaan persamaan dengan puasa orang-orang terdahulu; Pertama, sama dalam hal kewajibannya. Kedua, sama berkaitan dengan lamanya (waktu) berpuasa. Ketiga, sama dalam caranya yakni menahan diri dari makan dan minum. Terlepas dari beragam pendapat tersebut, kita dapat tarik sebuah konklusi bahwa puasa adalah kewajiban yang sudah ditetapkan oleh Allah semenjak umat-umat terdahulu.
Masih menurut Wahbah Zuhaili dalam Tafsīr al-Munīr menghadirkan riwayat terkait ragam puasa umat terdahulu; “Musa as. berpuasa selama 40 hari. Umat Yahudi sebagai penerus ajaran Musa as. di era sekarang, melakukan ritus puasa selama tujuh hari sebagai peringatan hancurnya Yerusalem dan direbutnya kota ini oleh musuh dan berpuasa satu hari di bulan Agustus. Sedangkan ibadah puasa yang paling terkenal bagi umat Nasrani dilaksanakan sebelum Hari Paskah”. Masyarakat Jawa juga sebelum kedatangan Islam telah mengenal konsep puasa. Setidaknya ada dua hal yang tidak bisa dilepaskan masyarakat Jawa ketika lelaku—mencari ilmu atau kanuragan—yaitu bersemedi (topo) dan puasa (poso).
Bagi masyarakat Jawa puasa bukan hanya sekedar tentang kesabaran atau menahan hawa nafsu, puasa adalah sarana untuk menggembleng raga serta menyucikan jiwa karena dengan kesucian jiwa ilmu akan lebih mudah untuk merasuk. Itulah mengapa puasa selalu dijadikan syarat mempelajari ilmu atau ajian tertentu. Di antara konsep puasa masyarakat Jawa ialah puasa mutih yakni puasa yang hanya boleh berbuka dengan nasi dan air putih saja, puasa ngeruh yaitu puasa yang diperbolehkan hanya memakan sayur dan buah saja, puasa ngebleng yaitu puasa untuk menghentikan segala aktifitas sehari-hari, tirakat puasa pati geni yaitu tidak boleh makan, minum, tidur, keluar kamar dan tidak boleh menyalakan penerangan apapun, puasa ngerowot yaitu puasa dari subuh sampai magrib ketika berbuka hanya makan satu jenih buah, dan masih banyak lagi lelakon puasa yang dilakukan masyarakat Jawa.
Lalu, apa rahasia dan manfaat dari puasa yang Tuhan titahkan kepada seluruh umat manusia? Menurut Al-Qur’an manfaat puasa ialah agar manusia bertakwa. Sedangkan dalam hadis ditemukan segudang manfaat puasa di antaranya:
Nabi bersabda, “Berpuasalah karena itu menyehatkanmu” (HR. Al-Haitsami dalam Al-Majma’, 2/179). Hadis ini memiliki makna puasa itu menyehatkan jiwa dan raga. Terkait puasa menyehatkan raga telah dijawab oleh ilmu kedokteran. Menurut para pakar kesehatan puasa itu menyehatkan badan, bahkan beberapa pasien ketika hendak melakukan operasi, disarankan untuk tidak makan dan tidak minum selama kurun waktu yang ditentukan. Dan bagi yang memiliki gula darah yang tinggi, puasa bisa dijadikan terapi untuk menurunkannya.
Nabi menjadikan puasa sebagai perisai dari hawa nafsu. Nafsu itu timbul dari konsumsi makanan yang berlebihan. Semakin banyak kita mengkonsumsi makanan semakin besar potensi untuk mengaktifkan hawa nafsu. Dengan demikian, puasa adalah solusi terbaik untuk menghalang seorang insan dari maksiat, sebab puasa melemahkan syahwat yang merupakan biang dari segala kemungkaran. Jadi, orang yang berpuasa lebih terkontrol pandangan, ucapan dan perbuatannya.
Nabi bersabda, “Wahai pemuda! Barang siapa di antara kamu yang mampu menikah, maka segerah menikah, karena menikah dapat menjaga mata dan kemaluan. Dan siapa yang tidak mampu, maka berpuasalah karena puasa menjadi perisai bagi dirinya” (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan, 4/296).
Dalam riwayat lain disebutkan, “Sesungguhnya setan itu berselancar di aliran darah anak Adam. Karena itu, sempitkanlah/putuslah jalan setan itu dengan lapar (puasa)” (HR. Imam Bukhari, 3/64).
Berpuasa membuka pintu ampunan Tuhan. Nabi bersabda, “Ramadhan sampai Ramadhan merupakan penghapus dosa antara keduanya, selama tidak melakukan dosa-dosa besar” (HR. Imam Ahmad dalam Al-Musnad 2/400). Dalam hadis lain yang masyhur dibacakan di mimbar-mimbar Jum’at Nabi bersabda, “Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan atas dasar iman dan berharap pahala dari Allah, maka ia telah diampuni dosa-dosanya yang lalu” (HR. Imam Muslim dalam bab Shalat al-Musafirin, 175).
Puasa adalah thariqah/jalan untuk sampai pada maqām musyāhadah (menyaksikan Allah swt. lewat mata batin). Nabi bersabda, “Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan: ia bergembira saat berbukanya dan bergembira bertemu Tuhannya” (Hadis Qudsi, HR. Imam Bukhari: 1805).
Kebahagiaan lahiriah ialah kenikmatan saat menyantap hidangan makanan saat berbuka. Ini adalah kebahagiaan bagi jasad yang selama seharian menahan lapar dan haus. Sedangkan kebahagiaan batiniah orang yang berpuasa ialah melihat—keangungan dan keindahan—Allah swt.
Demikianlah sekelumit manfaat puasa yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan hadis. Semoga Allah membimbing kita untuk memperoleh predikat insan bertakwa berkat wasilah puasa yang sedang kita jalani.
Selanjutnya kita akan melihat renungan dan pemaknaan para guru sufi terkait puasa.
Sumber Bacaan
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Cet-4, Jilid 1, Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura, 2001
Ḫusain bin Muẖammad Rāghib Ishfahāni. Mufradāt Alfāzh al-Qur’ān, Beirut: Dār al-Qalam, tt.
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Cet-5, Jilid 1, Tangerang: Lentera Hati, 2005.
Wahbah Zuhaili, Tafsīr al-Munīr: Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj, Jilid 1, Damaskus: Dār al-Fikr, 2005.