Dalam dunia sufisme dan dalam kajian Islamic Studies misalnya, nama tokoh-tokoh seperti, Abu Hasan al-Bashri (641-728), Rabi’ah al-Adawiyah (713-717), Abu Yazid al-Busthami (804-874), Imam Junaid al-Baghadadi (858-910), Abu Mansur al-Hallaj (858-922), Abu Qasim al-Qusyairi (986-1072), Imam al-Ghazali (1065-1111), Syaikh Abdul Qadir Jailani (1077-1166), Ibnu Arabi (1165-1240), dan Jalaluddin ar-Rumi (1207-1273), serta nama tokoh-tokoh sufi lainnya yang sudah tak asing lagi, bahkan sangat populer baik secara personal biografis maupun secara sosio-keagamaan dalam bentuk pemikiran.
Kepopuleran dan ketidakterasingan nama tokoh-tokoh sufi di atas, karena dikenal sebagai peletak dasar dan pengembang dari perkembangan sufisme dalam bentuk aliran tarekat yang ada saat ini. Dan, secara geografis hampir semua tokoh sufi awal yang berkembang dalam dunia Islam itu lahir dari daratan non-Arab Timur Tengah.
Meskipun jauh dari hinggar binggar Timur Tengah, mau tidak mau, pada kajian Islamic Studies dalam konteks keindonesiaan menjadi semacam kajian wajib yang dilakukan. Kewajiban ini, disinyalir karena dalam perkembangan sufisme, tokoh-tokoh di atas juga banyak mempengaruhi perkembangan kaum sufi seantoro dunia Islam, termasuk kaum sufi Nusantara yang berkembang sejak +-abad ke-16 dan ke-17.
Di antara tokoh-tokoh sufi Nusantara sekitar abad ke-16 dan 17 seperti, Hamzah Fansuri (w.1590), Nuruddin ar-Raniri (w.1658), Syamsuddin as-Sumatrani (w.1630), Syaikh Abdurrauf as-Syingkili (w.1693), dan Syaikh Yusuf al-Makasari (1626-1699). Sederet nama-nama ulama sufi besar Nusantara ini yang telah melahirkan karya intelektual yang sangat berkualitas, dan karyanya, selalu hidup dan dikaji hingga saat ini, baik oleh para sarjana Muslim Indonesia sendiri maupun oleh para sarjana non Islam atau yang lebih dikenal sebagai kaum orientalis.
Hamzah Fansuri misalnya, di kalangan ulama tasawuf Nusantara dan para pengakaji Islamic Studies dikenal sebagai seorang pujangga atau sastrawan Islam yang sangat populer di abad ke-16 dan 17, dari kerajaan Aceh Darussalam, di mana pada waktu itu telah mencapai puncak keemasan peradaban dan ilmu pengetahuan. Dalam berbagai literatur, asal-usul Hamzah Fansuri menjadi teka-teki. Ada yang mengatakan dari kawasan Timur Tengah, ada yang berpendapat dari Fanzur atau Barus. Terlepas dari perbedaan yang ada, dalam karya sastra sufinya berjudul syair “Burung Pingai” dijelaskan sebagai berikut:
Hamzah Fansuri di Negeri Melayu
Tempatnya kapur di dalam kayu
Asalnya manikam tiadakan layu
Dengan ilmu dunia di manakan payu.
Kutipan sastra sufistik Hamzah Fansuri di atas diperkuat dengan syair yang lain dan dinyatakan sendiri oleh Hamzah Fansuri bahwa ia dikandung di barus dan dilahirkan di Shahr Nawi.
Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Shar Nawi
Beroleh Khalifat ilmu ya Ali
Dari Adul Kadir Sayyid Jilani
Kutipan terakhir ini ada pada Syair Rubayat yang disebutkan nenek moyangnya berasal dari Fansur, dari tanah Shar Nawi, sekaligus penganut tarekat sufi Syaikh Abul Qadir Jailani. Selain itu, ada nama Fansuri yang digabungkan dengan Hamzah ditaruh belakang namanya, menjadi Hamzah Fansuri.
Penggabungan nama tempat asal ini, dalam dunia Islam sudah lazim dilakukan dan dianggap sebagian gelar sebagaimana ulama-ulama lainnya seperti, Abdul Qadir al-Jailani, Abd Rauf Singkel, Syamsuddin as-Sumatrani, Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Khatib al-Sambasi, Syaikh Junaid al-Betawi dan juga Syaikh Abdul Ghafur bin Abbazs al-Maduri.
Sebagai seorang ulama sufi yang dikenal sebagai sastrawan besar, Hamzah Fansuri telah melahirkan karya-karya monumental sebagai warisan intelektual dan budaya yang sangat berharga bagi generasi berikutnya. Karya sastra sufistik Hamzah Fansuri muncul dalam bentuk syair maupun prosa, dan dianggap sebagai pelopor penulisan sastra sufi di Nusantara.
Abdul Hadi W.M. dalam Sastra Sufi: Sebuah Antologi (1985), menarasikan karya-karya Hamzah Fansuri sebagai karya yang lebih banyak bercorak tasawuf atau bercorak sastra sufi, di mana karya-karyanya berisi tentang ajaran-ajaran agama Islam dari sudut pandang tasawuf. Hal ini wajar karena Islam masuk dan berkembang lebih bercorak Islam sufistik. meskipun demikian, karyanya dianggap sangat penting dalam sejarah perkembangan kesusastraan Melayu dan sejarah Islam di Nusantara.
Salah satu karya Hamzah Fansuri yang mengandung nilai-nilai sufistik berupa syair melayu dikenal dengan judul “Syair Perahu” di dalamnya terdapat ajaran berbentuk wahdatul wujud, sebagaimana berikut:
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetuli jalan tempat berpindah
Di sanalah iktikad diperbetuli sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan
Perteguh juga alat perahumu
Hasilkan bekal air dan kayu
Dayung pengayuh taruh di situ
Supaya laju perahumu itu
Sudahlah hasil kayu dan air
Angkatlah pula sauh dan layar
Pada beras bekal jantanlah taksir
Niscaya sempurna jalan yang kabir
Perteguh jua alat perahumu
Muaranya sempit tempatmu lalu
Banyaklah di sana ikan dan hiu
Menanti perahumu lalu dari situ
Dalam syair ini begitu tampak bahwa Hamzah Fansuri banyak menggunakan kiasan, atau pemakaian penanda kepengarangan seperti dalam Syair Perahu, madah, sauh dan layar, ‘kabir dan lain-lain, yang kesemuanya ditransformasikan pada gagasan sufi tentang tingkatan rohani (maqam) tertinggi di jalan kerohanian atau ilmu suluk. Selain itu, juga banyak menggunakan petikan ayat Al-Qur’an, Hadis, pepatah dan kata-kata Arab, dan beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafor, istilah dan citraan konseptual penulis-penulis sufi Arab Persia seperti kabir. Ini menunjukkan derasnya proses Islamisasi yang untuk pertama kalinya melanda bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu pada abad ke-16 M.
Sudah barang tentu, penggunaan tamsil (contoh) dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan penyair-penyair sufi Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasan kesufian mereka berkenaan dengan cinta, kemabukan mistikal, fana’, makrifat, tatanan wujud dan lain-lain.
Misalnya tamsil seperti lautan dan ombak, kapal, yang berlayar ke Bandar Tauhid, bukit rantang atau puncak gunung tempat seorang `asyiq bertemu dengan Kekasihnya, perjalanan malam menggunakan obor dan suluh (Muhammad), Kakbah, dan lain sebagainya. Tamsil yang bercorak Arab-Persia ini ditransformasikan ke dalam lingkungan budaya dan alam kehidupan Melayu.
Di samping adanya perpaduan yang seimbang antara pilihan kata (diksi), rima dan unsur-unsur puitik lainnya, syair-syair Hamzah Fansuri telah menciptakan suasana ekstase bagi pembacaannya, tidak kurang seperti suasana yang tercipta pada saat para sufi melakukan wirid, zikir dan sama’. Ini yang membedakan antara syair yang memiliki nilai sufisme dalam setiap syairnya.