Sejak 2012, Komnas Perempuan meminta DPR agar segera membuat payung hukum terhadap korban kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. Pada tahun 2016 disusunlah RUU yang diharapkan mampu menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan mendorong persamaan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan.
Sampai sekarang belum ada tanda-tanda pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang masih menjadi perdebatan di lembaga legislatif. Selain dianggap bukan prioritas, RUU-PKS juga disinyalir menjadi celah untuk pelaku hubungan sesama jenis dan beberapa pasal dianggap menyalahi prinsip-prinsip agama Islam.
Kurangnya aturan hukum yang mengikat tentang kekerasan seksual sering dimanfaatkan oknum untuk melakukan perilaku bejat terhadap perempuan. Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), sejak semeseter pertama 2020, tercatat ada 4.116 kasus kekerasan pada anak di Indonesia dan mayoritas adalah kekerasan seksual.
Selain RUU-PKS, Komnas Perempuan juga mendesak pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), dan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Semakin mengulur-ulur menetapkan undang-undang berisiko meningkatkan jumlah korban kekerasan di Indonesia. Pemerintah diharapkan ikut andil memberikan payung hukum untuk mengembalikan keseteraan gender di negara yang demokratis.
Kesetaraan Gender
Untuk mengatasi ketimpangan sosial, diskriminasi, dan dehumanisasi dalam kehidupan manusia, sosok perempuan biasa dijadikan korban dari sistem sosial yang sudah lama dikembangkan oleh budaya partiarki. Kemudian didukung dengan mitos ideologi dan klaim idiom keagamaan.
Kemudian mulai bermunculan berbagai aktivis gender dan gerakan femenisme yang merupakan bagian dari emansipasi, demokrasi, dan humanisasi kebudayaan atau peradaban untuk menggugat dan membongkar struktur budaya ketidakadilan, diskriminasi, penindasan, dan kekerasan terhadap perempuan.
Aktualisasi dari ketidaksetaraan gender adalah marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan seksual, dan sosialisasi idiologi nilai peran gender.
Implementasi dari perjuangan kesetaraan gender adalah mendapatkan pengakuan dan menciptakan pengarusutamaan gender sebagai sebuah strategi kelembagaan yang bertujuan untuk memberikan peluang dan hak yang sama kepada laki-laki dan perempuan, sebagai penerima manfaat, peserta, dan pengambil keputusan.
Sampai sekarang gender masih dianggap sebagai sesuatu yang kodrati. Misalnya peran laki-laki sebagai kepala keluarga dan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga. Menempatkan perempuan dalam kerja domestik dan laki-laki dalam kerja publik.
Dampak adanya pandangan seperti ini menimbulkan asumsi yang bias gender dan atau diskriminatif, misalnya, bahwa perempuan tidak perlu mendapat pendidikan yang tinggi atau bahkan jika perempuan sudah memiliki pendidikan tinggi, tetap dinilai lebih baik kalau berkonsentrasi pada kerja yang bersifat domestik, daripada memanfaatkan keahlian dari hasil pendidikan tingginya. (Wawan Djunaedi dan Iklilah Muzayyanah, 2008: 4-5).
Gender dalam Islam
Partai Keadilan Sosial (PKS) sebagai partai basis Islam yang getol menyuarakan penolakan pengesahan RUU-PKS karena dianggap melegalkan prinsip-prinsip yang menyimpang dari agama Islam. Padahal banyak landasan yang menganjurkan untuk menerapkan kesetaraan gender dalam pengaplikasian ajaran agama.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman. Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl/16: 97).
Bahwa tidak ada sekat antara laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan, selain ketakwaan. Dijelaskan pula dalam surat An-Nahl (58-59): “Tatkala diberitakan kepada seseorang di antara mereka tentang kelahiran anak perempuan, wajahnya cemberut menahan sedih. Ia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang diterimanya; boleh jadi ia akan memeliharanya dengan penuh hina atau menguburkannya (hidup-hidup) ke dalam tanah”.
Dalam ketimpangan gender tersebut, Islam datang membawa pesan moral kemanusiaan sebagai konsekuensi tujuannya untuk memberikan rahmat terhadap seluruh alam semesta. Islam mengajak manusia melepaskan diri dari belenggu dan tirani kemanusiaan. Tapi dalam realitas sejarahnya, Islam dianggap turut memberikan kontribusi terhadap kelanggengan struktur sosial bias gender melalui teks-teks tafsir tekstualis yang cenderung mensubordinasikan perempuan.
Perempuan harus dikembalikan kepada autentisitas ajaran Islam. Membangkitkan kembali semangat perjuangan Rasulullah terhadap kesetaraan gender dengan melakukan dekonstruksi terhadap cara pandang masyarakat Arab yang semula memandang setiap kelahiran perempuan sebagai aib bagi keluarga.
Tidak ada alasan lagi bagi partai Islam konservatif untuk menghalangi perjuangan membebaskan perempuan dari ketertindasan dan ketidakadilan. Jika konsep kesetaraan gender dianggap bertentangan dengan agama, berarti secara tidak langsung telah mengingkari pesan dari agama itu sendiri.
Kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan seksual harus segara mendapatkan payung hukum negara agar tidak terjadi ketimpangan gender akibat membekasnya budaya patriarki di Indonesia. Perempuan mempunyai peran dan hak untuk menentukan pilihan. Mempertahankan prinsip dan melawan kekerasan atas nama agama ataupun budaya.