Dalam beberapa dekade ini, narasi dan gagasan negara Islam di Indonesia semakin populer. Menguatnya narasi ini, memanfaatkan proses demokratisasi yang ada di Indonesia. Narasi dan gagasan negara Islam juga dapat dikatakan sebagai bentuk konsekuensi logis dari perkembangan konsep negara dunia, di mana dalam pandangan sebagian intelektual, Islam harus hadir dalam kehidupan sosial politik masyarakat, termasuk ekspansi simbol-simbol, pakaian dan idiom-idiom keislaman di ruang publik.
Kalau ditelisik ke belakang, narasi dan gagasan negara Islam bukanlah wacana baru. Misalnya, dalam wacana pembaruan pemikiran Islam, narasi dan gagasan negara Islam dapat ditemui dalam pemikiran dan gerakan politik seperti tokoh Jamaluddin Al-Afghani (1838-1897) melalui al-Urwatul Wustsqa, al-Misr, dan at-Tijarah, Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935), melalui al-Khilafah, dan Sayyid Qutb (1906-1966), serta Abul A’la al-Maududi (1903-1979).
Dua nama terakhir ini di abad ke-20 sangat berpengaruh atas narasi dan gagasan negara Islam, terutama Abu al-A’la al-Maududi, di mana warisan narasi dan gagasan negara Islam begitu tampak nyata pada negara Pakistan saat ini. Secara historis al-Maududi hidup di masa kesultanan Hyderabad (Deccan) Andhra Prades, masuk pada wilayah India Tengah, dari keluarga keturunan Sayyid, yang berpegang teguh pada tradisi tarekat Sufi Chisti.
Narasi dan gagasan negara Islam al-Maududi berawal ketika bergabung dengan gerakan khilafah yang ada di India sekitaran tahun 1919. Gerakan ini, sebagai bentuk dukungan dari keberlangsungan khilafah Islamiyah Usmani yang berpusat di Istanbul yang pada waktu itu mengalami kekalahan di perang dunia satu. Untuk mendukung aksinya, al-Maududi memimpin sebuah menerbitan organ bernama al-Jama’iyah dari tahun 1924 hingga 1928.
Dari al-Jami’iyah ini, al-Maududi kemudian menerbitkan karya Al-Jihad fi al-Islam atau Jihad dalam Islam, berisi kritik tajam dan cermat dalam menganalisis hukum Islam, perang dan damai dalam Islam. Serta, untuk mendukung dan menyalurkan gagasannya, al-Maududi menerbitkan sebuah majalah bernama Tarjuman al-Qur’an. Majalah ini isinya menyoroti persoalan modernisme dan sekularisme dan perpecahan dalam dunia Islam.
Al-Maududi juga mendirikan partai politik bernama Jama’at Islamiyah sekitar 26 Agustus 1941, sebagai perwujudan dari visi dan misi serta ideologinya. Pendirian partai Jama’at Islamiyah ini terilhami dari gerakan dan perjuangan Sayyid Qutb dan Hasan al-Banna di Mesir dengan Jamaah al-Ikhwan al-Muslimin.
Selain itu, partai politik ini dibangun dengan slogan “Umat terakhir Islam tidak akan baik dalam segala bidang kecuali jika melakukan perbaikan seperti apa yang telah dilakukan pendahulu mereka sebelumnya”. Melalui slogan gerakan partai Jama’at Islamiyah ini, narasi dan gagasan negara Islam al-Maududi menjadi titik tolak dalam memperbaiki dan meluruskan kembali pemikiran-pemikiran terkait konsep negara Islam, serta menyuguhkan kembali penejelasan teologi Islam yang tepat dan benar.
Narasi dan gagasan negara Islam al-Maududi dapat dikatakan tertumpu pada konsep dasar alam semesta, dan al-Hakimiyah al-Ilahiyah, serta kekuasaan yang ada dalam bidang perundang-undangan. Bagi al-Maududi, konsep alam semesta hanya tertumpu pada Tuhan bahwa yang menciptakan alam semesta dan pencipta manusia, yang ada di alam mini hanya Allah swt., dan pemilik makhluk ini, penguasanya, dan yang mengurusi segala urusan yang ada di alam semesta hanya Allah. serta kekuasaan yurisdiksi dan kedaulatan hukum yang paling tinggi di alam semesta hanya bagi Allah.
Konsep alam semesta ini berlandaskan teologis Al-Qur’an merujuk pada ayat “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar” dan pada ayat yang berbunyi “Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di bumi, semua yang ada di antara keduanya dan semua yang ada di bawah tanah”, serta merujuk pada ayat “Tidaklah kamu mengetahui bahwa kerajaan di langit dan bumi adalah milik Allah swt”.
Sementara konsep al-Hakimiyah al-Ilahiyah dalam narasi dan gagasan negara Islam bagi al-Maududi, hanya Tuhan yang memelihara alam semesta ini. Oleh karena itu, tak ada jalan lain bagi setiap manusia selain patuh dan tunduk kepada Allah swt. untuk mendukung pandangannya ini, al-Mauludi memperkuat dengan padangan teologis ayat Al-Qur’an berbunyi “Katakanlah, sesungguhnya shalatkau, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, selain alam semesta. Dan, katakanlah: apakah aku akan mencari tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu”.
Bagi al-Maududi, yang berhak menghakimi dan mengadili hanya Allah, hal ini mengacu pada ayat Al-Qur’an yang berbunyi “Tentang sesuatu apa pun kamu selisihkan, maka keputusannya terserah kepada Allah”. Dan, yang memiliki hak mengeluarkan hukum adalah Allah, sebagaimana ayat Al-Qur’an yang berbunyi “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah, maha suci Allah, Tuhan semesta alam”.
Sedangkan konsep kekuasaan Allah di bidang perundang-undangan, ketentuan yang membuat undang-undang harus semata-mata hanya kepada Allah. Oleh karena itu, orang Islam wajib mengikuti undang-undang Allah, dan haram meninggalkan peraturan dan mengikuti undang-undang yang dibuat oleh manusia.
Dalam hal ini, al-Maududi mengacu pada ayat Al-Quran yang berbunyi “Sesungguhnya Kami menurunkan kitab suci Al-Qur’an dengan membawa kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada Allah, Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih”.
Baginya, narasi dan gagasan tentang negara Islam adalah suatu negara yang memiliki sistem sendiri di mana hakikatnya sangat berbeda dengan Negara-negara sekuler baik, mengenai sifat dan karakteristik serta tujuannya. Oleh karena itu, al-Maududi berpandangan bahwa Islam merupakan antitesis dari demokrasi barat yang berlandaskan pada filosofis kedaulatan rakyat dalam menentukan nilai-nilai, norma dan perilaku ada di tangan rakyat.
Bagi al-Maududi, sistem demokrasi warisan Barat memiliki kelemahan yang sangat mendasar, yaitu sistem demokrasi Barat yang menguasai adalah kelompok penguasa yang bertindak atas nama rakyat. Padahal pikiran dan tenaga yang dikerahkan bukan untuk rakyat, melainkan untuk melestarikan kekuasaan yang sedang dipegang, dan kekuasaan yang mutlak untuk membuat legislasi berada di tangan law maker harus sesuai dengan selera dan opini rakyat, tak mustahil ketika suatu tindakkan yang tidak manusiawi menjadi legal sepenuhnya bila opini publik yang menentukan.
Sementara dalam pandangan al-Maududi kedaulatan rakyat terbatas, tak semua kedaulatannya boleh digunakan, sebab ada peraturan, norma-norma dan nilai-nilai yang harus dipenuhi oleh orang Islam, yang kesemuanya harus menjadi pradigma program sosial, dan politik, serta ekonomi yang harus ditentukan oleh rakyat melalui wakilnya yang disebut Ahl al-Halli wa al-Aqd.
Kalau dicermati narasi dan gagasan negara Islam Abu A’la al-Maududi ini dalam konteks kontemporer ia masih terbayang-bayang pada narasi dan gagasan negara Islam teokrasi yang masih mengandaikan zaman keemasan Islam, padahal zaman sudah berbeda dan tantangan juga berbeda.