Tawaran Ilmu Sosial Profetik dari Kuntowijoyo atas Ilmu Sosial Sekuler

Oleh: Asep Saepullah

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Problematika umat manusia hari ini adalah terletak pada dehumanisasi, agresivitas dan lonelines (individualis) yang memposisikan materi di atas nilai-nilai kemanusiaan.

Pertama, dehumanisasi terjadi di antaranya karena dipakainya teknologi (baik berupa alat-alat fisik maupun metode) dalam masyarakat, sehingga masyarakat terbelenggu dalam sebuah sistem.

Kedua, agresivitas, salah satu penyebab dari kerusuhan yang terjadi selama ini di Indonesia, diakibatkan oleh kekumuhan (baik secara materi maupun spiritual).

Ketiga, lonelines. Istilah ini diberikan untuk menggambarkan masyarakat kota karena sifat individualis atau privatisasi. Karenanya diperlukan sebuah usaha untuk mengangkat kembali martabat umat manusia, yaitu humanisasi (memanusiakan manusia/menumbuhkan rasa perikemanusiaan).

Kuntowijoyo (1943-2005) dikenal sebagai seorang ahli ilmu sejarah, cendikiawan, budayawan, sastrawan dan filosof memiliki tawaran epistemologi untuk persoalan-persoalan kemanusiaan hari ini. Ilmu sosial profetik menjadi gagasan yang dikemukan oleh Kuntowijoyo di tengah hegemoni ilmu sosial barat. Perbedaannya terletak pada hakikat filosofis dari kedua ilmu tersebut.

Ilmu sosial barat hanya menghasilkan ilmu untuk ilmu, sedangkan ilmu sosial profetik ialah ilmu yang dikerangkai oleh nilai, sehingga di sini Kuntowijoyo mencoba merumuskan ilmu sosial profetik melalui tiga hal; humanisasi, liberasi dan transendesi. Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia, dan tujuan liberasi adalah pembebaskan dari kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan teknologi dan pemerasan kelimpahan (Kuntowijoyo, 2007: 87-88). Terakhir, tujuan transendesi adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebab prinsip ibadah dalam Islam adalah Innalillahi wa inna ilaihi raji’un (berawal dari Allah dan kembali kepada Allah). Dasar gagasan ilmu sosial profetik Kuntowijoyo terinspirasi dari ayat Al-Qur’an

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ

Baca Juga:  Tasawuf: Asketisisme, Mistisisme dan Pandangan Dunia Islam

Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Ali Imran [3]: 110).

Secara filosofis, ada empat hal yang tersirat dalam ayat tersebut yaitu konsep tentang umat terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran, dan etika profetik. (Kuntowijoyo, 2007; 91).

Pertama, konsep tentang umat terbaik. Umat Islam menjadi umat terbaik (khaira ummah) dengan catatan mengerjakan tiga hal sebagaimana disebut ayat tersebut (ta’muruna bil-ma’ruf, tanhauna ‘anal-munkar, dan tu’minua billahi).

Kedua, aktivisme sejarah. Bekerja di tengah-tengah manusia (ukhrijat linnas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam ialah keterlibatan umat dalam sejarah.

Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai Ilahiah seperti ma’ruf, munkar, dan iman menjadi value terpenting dalam membedakan antara etika Islam dari etika materialistik.

Keempat, etika profetik. Ayat ini (QS. Ali Imran [3]: 110) berlaku untuk umum dan universal, artinya berlaku untuk siapa saja (orang awam hingga ilmuan). Dengan melaksanakan amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahi munkar (mencegah keburukan), dan tu’minuna billahi (beriman kepada Allah), merupakan unsur terpenting dalam ilmu sosial profetik. Kiranya ayat ini merujuk pada humanisasi yaitu iman dan amal saleh.

Seteleh humanisasi, maka kita perlu liberasi (pembebasan). Teks Al-Qur’an bisa diturunkan jadi empat hal yaitu amal, mitos, ideologi, dan ilmu (Kuntowijoyo, 2007: 103).  Islam sehari-hari adalah Islam amal atau muamalah. Menjadikan mitos sebagai dasar dari ilmu pengetahuan sudah tidak relevan, tinggal persoalan antara ideologi dan ilmu. Kita menjadikan Islam sebagai ideologi ketika mendirikan sebuah partai. Sedangkan tugas ilmu adalah perubahan dan transformasi sosial.

Dari pemaparan humanisasi dan liberasi di atas, maka kesimpulan dari ilmu sosial profetik Kuntowijoyo adalah transendesi (mendekatkan diri kepada Allah), tidak seperti agama-agama lain tertentu yang mementingkan pengembangan spiritual dan moral pada level individual, Islam mempunyai tugas untuk melakukan perubahan sosial, yaitu yang sesuai dengan cita-cita profetiknya dalam menciptakan masyarakat yang adil dan egaliter yang didasarkan pada iman.

Baca Juga:  ANAK-ANAKMU BUKANLAH ANAK-ANAKMU, MEREKA BERASAL DARIMU, TAPI MEREKA MILIK MASA MEREKA (BAGIAN 3)

Ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik. Dalam hal ilmu, Islam sangat menganjurkan keterbukaan. Bersifat terbuka dan memanfaatkan semua warisan pengetahuan yang kita miliki untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an.

Meminjam pengetahuan dari luar itu sah adanya karena dengan meminjam kita tidak harus menjadi orang lain. Contohnya dengan meminjam teori kelas dari Marxisme. Namun kita harus menyadari kerangka epistemik yang berada di belakang pengetahuan yang kita pinjam itu. Menurut kuntowijoyo, dalam Al-Qur’an ada tiga ilmu, yaitu ilmu kauniyah (ilmu alam), qauliyah (ilmu tentang tuhan), dan nafsiyah (makna, nilai, dan kesadaran).

Memanusiakan manusia dengan berdasarkan ilmu sosial profetik, berarti menjadikan wahyu, rasio, dan fakta empiris sebagai sumber pengetahuan. Maka dari itu, ilmu sosial tidak boleh kaku. Harus fleksibel dalam memahami realitas dan dapat mentransformasikan cita-cita sosial masyarakat, serta dapat mentransendensikan umat Islam kepada Allah.

Kuntowijoyo pun meninggal pada usia yang relatif masih sangat muda, yakni 62 tahun. Meninggalkan banyak sekali karya-karya monumental, seperti buku trilogi sejarah; Ilmu Sejarah, Metodologi Sejarah, dan Penjelasan Sejarah. Dalam hal keislaman beliau mewariskan buku Paradigma Islam, dan masih banyak lagi karya-karya beliau lainnya.

Daftar Pustaka:

Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007).

Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2017).

0 Shares:
You May Also Like