Melacak Tradisi Filsafat Islam Mazhab Iluminasi

Diakui atau tidak, dalam khazanah pemikiran Islam—termasuk filsafat Islam— sebenarnya kita memiliki akar tradisi yang kuat dalam berbagai kajian. Dan kita juga harus mengakui beberapa dekade ini tradisi kajian filsafat Islam kita mulai kendur, dan agak mengalami kemandekan, bahkan redup, sehingga terkesan tak ada perkembangan dan kemajuan.

Sepertinya kita memang perlu sejenak melihat ke belakang jejak warisan tradisi filsafat Islam ini sebagai bentuk refleksi. Bahwa sejak diperkenalkannya tradisi pemikiran filsafat Islam dari para filsuf Muslim klasik, seperti: al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, hingga pasca-kritikan al-Ghazali melalui Tahafutul al-Falasifah, keberadaan tradisi pemikiran filsafat Islam ini tetap masih kuat.

Terbukti, adanya pergeseran tradisi filsafat Islam dari Timur Islam ke belahan Barat Islam di era dinasti Amawiyah Spanyol (Eropa) yang menghadirkan para filsuf-filsuf Muslim besar semisal, Ibnu Bajjah (1100–1138 M), atau Avempace dan Aben Pace, Ibnu Thufail (1110-1185 M) atau Abubacer, dan Ibnu Rusyd (1126–1198 M) Averrois di kalangan intelektual Barat.

Tradisi baik dalam kajian filsafat Islam ini, kemudian dilanjutkan kembali di dunia Persia dengan nama mazhab yang kita dikenal sebagai mazhab filsafat iluminasi atau Isyraqiyyah. Sebagaimana kita ketahui tradisi kajian filsafat Islam mazhab Isyraqiyyah ini didirikan oleh filsuf besar Suhrawardi di sekitaran abad ke-12 Masehi.

Secara epistemologi dan ontologi tradisi filsafat Islam mazhab iluminasi ini dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari tradisi filsafat Islam di masa Ibn Sina dan kawan-kawan.

Peran Suhrawardi sebagai pengembang boleh saja berhenti masa kehidupannya di dunia ini. Akan tetapi, jejak warisan intelektual yang ditinggalkan terus hidup sehingga sampai saat ini. Kalau kita mau misalnya dapat dilacak melalui karya-karya yang telah dan tetap dikaji.

Baca Juga:  Menjaga Diri dari Dosa Tangan

Karya Suhrawardi Hikmah al-Isyraq sendiri menjadi magnum opus, yang hingga kini dijadikan buku daras dalam bentuk pengajaran di madrasah-madrasah dan Universitas dalam tradisi filsafat di Persia dan sekitarnya.

Karya-karya Suhrawardi hadir sebagai korpus doktrinal utama bagi para penganut mazhab isyraqi. Banyak di antara para ahli hikmah atau filsuf sesudahnya melanjutkan tradisi iluminasionisme dengan memberikan komentar dan catatan-catatan atas karya-karya Suhrawardi.

Salah satu komentar-komentar yang dianggap paling penting atas Hikmah al-Isyraqi, yaitu komentar Syahrazuri, murid dan teman dekat Suhrawardi, serta komentar Quthb al-Din al-Syirazi atau yang lebih kita kenal sebagai Mullah Sadra (1572-1640). Kedua komentar ini, masing-masing ditulis pada abad ke-7 H / ke-13 M, dan telah dikaji lebih mendalam selama beberapa abad sebagai komentar resmi.

Dari komentar-komentar ini kemudian jejak pemikiran dan tradisi filsafat iluminasi Suhrawardi menjadi mata rantai yang panjang dan sangat berpengaruh, di mana puncaknya ada di masa Safawi yang melahirkan tokoh seperti Mir Damad dan Mulla Sadra itu sendiri.

Dan, hampir dapat dikatakan bahwa para filsuf sekaligus sufi dipengaruhi pemikiran Suhrawardi, seperti Ibn Turkah Isfahani, Jalal al-Din Dawani, Dashtakis dan Sayyid Sharif Jurjani, yang kesemuanya banyak menulis komentar tentang karya Suhrawardi.

Tulisan-tulisan Dawani sangat penting dalam hal ini. Dawani dan Ghiyath al-Din Mansur Dasytaki pernah menulis tafsiran tentang Hayakil al-Nur dan Wadud Tabrizi di al-Alwah al-‘Imadiyyah dan juga mengulas komentar Quthbuddin tentang Hikmah al-Isyraq.

Tokoh lain yang ikut memberikan komentar pada karya Suhrawardi, seperti Ibn Kummunah (w.667 H/1269 M) yang menulis komentar atas kitab Al-Talwilat, Nashir ad-Din ath-Thusi (597 H/1201 M-672 H/1274 M), dan muridnya Allamah Hilli (w.693 H/1293 M), dan Athir ad-Din Abhari.

Baca Juga:  Ilmu Mantik di Dunia Islam (1) : Sebuah Pengantar

Lebih dari itu, jejak pemikiran dan tradisi filsafat iluminasi Suhrawardi tak hanya terbatas di dunia Islam, melainkan juga merambah ke India. Di India, karyanya Al-Hikmah al-Isyraqi diterjemahkan ke dalam bahasa Sankrit, sebagaimana yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani atau Hebrew.

Maka tak mengherankan jika kemudian doktri-doktrin Suhrawardi telah menjangkau kasawan Yahudi dan Hindu, bahkan juga dikaji secara mendalam oleh tokoh Zoroasterian: Adhar Kaiwan, dan para pengikutnya.

Selain di India jejak pemikiran dan tradisi filsafat ilmuniasi Suhrawardi juga banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh besar klasik, bahkan juga tokoh-tokoh kontemporer yang juga memberikan ulasan tentang filsafat Islam mazhab iluminasi ini seperti, Hossein Zai, Sayyed Hossein Nasr, Hehdi Ha’ri Amin Yazafi dan yang lainnya.

Pengakuan Mehdi Amin Yazafi dalam bukunya Suhrawardi and The School of Illumination (Curzon, 1997), mengatakan Suhrawardi salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Islam, mungkin banyak benarnya kalau pentingnya kontribusi intelektualnya dan dampak yang dimilikinya terhadap penggantinya atau setelahnya, khususnya dalam tradisi kajian filsafat Islam yang mengalami puncaknya pada mazhab Isfahan.

Nampaknya, Persia dan kawasan sekitarnya merupakan kasawan yang secara keseluruhan sejalan dengan pemikiran Suhrawardi. Pemikiran Suhrawardi juga menyebear ke anak benua Syiria Anatolia, Spanyol, Afrika Utara dan dunia Barat.

Di Barat, kalau boleh mengatakan Henry Corbin mungkin satu-satunya mahasiswa dari Barat dapat dikatakan sebagai tokoh paling terkenal dan memiliki concern atas pemikiran Suhrawardi. Hal ini kalau dibaca melalui beberapa karyanya seperti, Spritual Body and Celestial Earth: From Mazdean Iran to Shi’ite Iran (1989), Cyclical Time and Ismaili Gnosis, En Islam Iranien, Aspects Spirituel, dan Man of Light in Iranian Sufism (1994).

Baca Juga:  Menilik Kitab Tasawuf Hadratussyekh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari

Secara implisit karya Henry Corbin ini, lebih banyak menekankan pada unsur-unsur mistik dan esoterik. Corbin sepertinya memang sengaja mengambil simbolisme pada filsafat iluminasi sebagai inti utama dari pemikiran Suhrawardi. dengan demikian, Henry Corbin bisa jadi telah mampu membuka tabir kegelapan terhadap pemikiran Suhrawardi di Barat.

Keberterimaan dan menjadikan pemikiran Suhrawardi diterima baik di Persia maupun belahan dunia lain, mungkin karena Suhrawardi adalah tokoh asli Persia yang mana corak dan ajaran pemikiran yang dikembangkan lebih cenderung pada pola kajian esoteris dan sarat dengan nuansa religiusitasnya. Selain itu, ajaran Suhrawardi juga menopang penafsiran dalam tradisi Syi’ah.

Hossein Nasr dan Mehdi Amin Razavi dalam Anthology of Philosphy Perrsia Ismaili Thought in the Classical Age (2008), faktor keagamaan Persia, dan secara historis, serta kultur, gnostik iluminasionis itu sendiri juga telah membentuk kondisi yang kondusif bagi pengembangan pemikiran Suhrawardi.

Di Indonesia sendiri jejak pemikiran dan tradisi filsafat iluminasi Suhrawardi kurang populer di kancah pergumulan dan pergulatan intelektualisme. Jejak dan tradisi filsafat isyraqiyyah di negeri ini dapat dikatakan menemui kenyataan pahit.

Tradisi pengajaran filsafat Islam khususnya di Perguruan Tinggi Islam di negeri ini umumnya masih berkutat pada sejarah filsafat Islam, hanya mengenalkan para filsuf yang sudah terkenal semisal, al-Kindi, ar-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Belum lagi bahan bacaan tentang filsafat iluminasi Suhrawardi juga masih sangat minim.

0 Shares:
You May Also Like