Ilmu Mantik di Dunia Islam (1) : Sebuah Pengantar

Ilmu mantik adalah salah satu bagian penting dalam seni pengetahuan Islam (al-shana’ah al-‘ilmiyyah). Bersama ilmu ‘arabiyyah (sharaf dan nahwu) dan ilmu bayaniyyah (balaghah dan badi’), mantik menyusun struktur pengetahuan yang turut ditiru oleh kalangan Barat di masa silam dan tetap dipakai hingga sekarang sebagai liberal arts. Liberal arts setidaknya mengandung trivium yakni logic, grammar, dan rethoric.

Mantik adalah logic. Usia mantik setua usia spesies manusia itu sendiri. Akan tetapi mantik pada komunitas-komunitas yang berbeda digunakan pula dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Mantik yang dapat dilihat baik sebagai alat (tool) maupun sebagai ilmu dituliskan secara sistematis oleh filsuf masyhur Aristoteles (385-322 SM). Pada periode-periode setelah itu sebagaimana mantik digunakan oleh pemeluk agama-agama (Kekristenan, Yahudi, Sabaean, Zoroastrian), umat Islam juga menggunakannya dan menelurkan karya-karya penting mengenai mantik. Sebelum lahirnya karya-karya tersebut dari tangan para penulis Muslim, sebagai sebuah landasan telah dilakukan penerjemahan dan penelitian terhadap karya-karya mantik sebelum Islam, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Baru setelah itu ahli mantik Muslim menulis karya-karya yang bukan hanya menjelaskan mantik Aristotelian, melainkan juga sebuah mantik mereka sendiri. Tulisan ini hendak menelusuri karya-karya awal mantik Islam tersebut. Akan tetapi sebelum masuk ke sana, kita perlu mengenal terlebih dahulu bagaimana mantik masuk ke dunia Islam.

Masuknya Mantik

Kegiatan penerjemahan pada intinya bertujuan menyalurkan filsafat dan pengetahuan Yunani ke dunia Islam. Pada dunia filsafat Yunani nama yang paling pertama menyeruak adalah al-Mu’allim al-Awwal Aristoteles. Karya mantik ensiklopedisnya yang berjudul Organon, yang berisikan kitab-kitab Categories, On Interpretation, Prior Analytics, Posterior Analytics, Topics, dan Sophistical Refutations (Ibn al-Nadim, 1994) adalah karya besar dan dasar dalam ilmu mantik baik di dunia Islam maupun Barat. Kitab ini telah diterjemahkan ke banyak bahasa dan disyarah sedemikian rupa. Di dunia Islam penelitian atas mantik yang merupakan alat penting dalam memahami filsafat, dimulai dengan menerjemahkan kitab Organon. Dengan begitu terjadilah sumbangan paling besar kegiatan penerjemahan terhadap lahirnya mantik di dunia pemikiran Islam.

Baca Juga:  Memahami Falsafah Ilmu Melalui Kisah Rasulullah saw. dan 2 Kelompok Muslim

Filsafat dan ilmu-ilmu Hellenistik (ilmu Yunani yang berkembang di Aleksandria Mesir) melalui jalur pendidikan, penerjemahan, dan pensyarahan masuk ke dunia Islam. Di antara jalur yang paling penting dan berpengaruh adalah perdebatan agama yang terjadi antara Muslim, Kristen, Yahudi, dan keyakinan-keyakinan lainnya. Perdebatan ilmiah ini memaksa mantik untuk dipelajari oleh intelektual Muslim waktu itu. Umat Islam kala itu memiliki dua cara dalam mempelajari mantik Aristoteles; Pertama, mendalami karya-karya Stoik yang bertujuan menolak mantik Aristoteles. Kedua, menerjemahkan kitab Organon untuk menguasai mantik Aristoteles (al-Nasysyar, 1947).

Komunitas Syria, termasuk kaum Kristen di sana, dibandingkan dengan kaum Muslim lebih dahulu berkenalan dengan karya-karya Yunani, dan secara khusus mereka memberi perhatian kepada mantik. Akan tetapi, pengembangan dan penyempurnaan ilmu mantik ternyata dimainkan lebih banyak oleh kaum Muslim. Bahkan, kaum Kristen Syam yang dari segi kultural dianggap cukup maju pada waktu itu tidak berhasil melahirkan alim sekaliber al-Farabi (870-950 M), Ibn Sina (980-1037), al-Biruni (973-1048), dan Ibn Rusyd (1126-1198) (Sharif, 1963). Dengan begitu filsafat Yunani dan mantik, melalui para filsuf Muslimlah dapat dipahami secara lebih lengkap dan sempurna.

Kegiatan penerjemahan pertama di dunia Islam terjadi atas permintaan raja dinasti Bani Umayyah bernama Khalid bin Yazid bin Muawiyah (w. 704), di mana ia meminta penerjemahan atas beberapa karya berbahasa Yunani dan Mesir lama ke bahasa Arab (al-Nasysyar, 1947). Setelah Bani Umayyah dilengserkan oleh Bani Abbasiyah kegiatan penerjemahan tetap berlanjut dan didukung. Khususnya pada masa raja kedua bernama al-Manshur (754-775), seorang berkebangsaan Iran bernama Abdullah ibn al-Muqaffa’ (w. 758) menerjemahkan tiga kitab pertama dalam Organon, yakni Categories, Interpretation, dan Prior Analytics, serta menerjemahkan sebuah karya yang ditulis sebagai pengantar bagi Organon, Isagoge karya Porphyry (232-305 SM) (Ibn al-Nadim, 1994).

Baca Juga:  Ilmu Mantik di Dunia Islam (2): Proses Penerjemahan Mantik Aristoteles

Berdasarkan riwayat dari Ibn Abi Usaybi’ah; ketika raja al-Manshur jatuh sakit ia meminta supaya dokter Kristen bernama Jibrail Ibn Bahtisyu didatangkan dari Jundisyapur ke Baghdad. Sang dokter ternyata berhasil mengobati raja, dan atas permintaan raja ia juga turut menerjemahkan beberapa karya Yunani ke bahasa Arab (Watt, 1995). Pada tahun-tahun sesudah 765 M, di lingkungan istana yang diurus oleh keluarga wazir Barmaqi, lebih banyak lagi ilmu-ilmu Yunani diterjemahkan. Di samping itu di periode ini diriwayatkan juga bahwa raja al-Manshur meminta secara khusus kepada kaisar Romawi untuk mengirimkan karya-karya tulis tentang riyadhiyyat (matematika) kepadanya di Baghdad.

Pada masa ini selain Kitab al-Kawn wa al-Fasad serta dua bagian akhir kitab Metaphysic, semua karya Aristoteles telah berhasil diterjemahkan. Semua terjemahan ini adalah hasil dari usaha serius dan cepat dari raja berikutnya al-Ma’mun (814-833). Kegiatan penerjemahan di masa al-Ma’mun ini tanpa henti terus berlanjut hingga paruh kedua abad keempat hijriyah (al-Jabiri, 1997).

Penerjemahan dan penelitian pada periode Abbasiyah khususnya masa kekuasaan al-Manshur dan al-Ma’mun hingga abad ke-10 masehi telah menjadikan negeri-negeri Islam sebagai pusat kebudayaan dan filsafat. Dalam penerjemahan dan penelitian ini, telah datang dari berbagai penjuru ke ibu kota Baghdad, berbagai kelompok penerjemah dan penulis dari kalangan Kristen-Suryani. Biasanya mereka menerjemahkan langsung dari karya-karya berbahasa Yunani, atau juga dari terjemahan bahasa Suryani, dan berhasil menuliskan terjemahan berbahasa Arab atas karya-karya ilmu dan filsafat Yunani. Ilmuwan dan dokter Kristen-Suryani (kebanyakan dari mazhab Nestorian) telah melakukan penerjamahan ke bahasa Suryani sejak abad kedua masehi hingga abad ketujuh masehi; dan antara abad ke-8 dan ke-10 masehi mereka menerima upah yang tidak sedikit atas kerja keras penerjemahan karya-karya tersebut ke dalam bahasa Arab, sehingga membukakan jalan bagi lahirnya filsuf-filsuf Muslim.

Baca Juga:  Karena Syahwat, Manusia Lebih Baik daripada Malaikat?

Bersambung ke bagian kedua.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Kemarahan Suci?

Oleh: Haidar Bagir Pengasuh Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf Lama saya berpikir, kenapa ketika sedang berbicara tentang…