Dalam perjalananya, tasawuf sebagai salah satu ilmu penyucian jiwa mengalami dinamika yang kompleks. Menurut berbagai penelitian, justru tasawuf adalah salah satu medium bagi penyebaran agama Islam di berbagai negeri, salah satunya Indonesia. Para ulama dan wali terdahulu menggunakan instrumen tasawuf guna untuk menyebarkan Islam. Seperti diketahui tasawuf memiliki ajaran yang lentur dan dinamis, sehingga tidak melawan agama dan tradisi yang sudah ada. Tak terkecuali di India, sama seperti Indonesia, India merupakan tempat bagi agama Hindu terbesar dan beberapa kepercayaan lokal masih kental.
Salah satu dinasti yang berkuasa dan cukup berjaya adalah Dinasti Mogul. Dinasti ini didirikan oleh Babur salah satu keturunan dari Timur Lenk. Daerah yang pertama ditaklukan oleh Babur di wilayah India adalah Punjab pada 1525, selanjutnya ia menaklukan Delhi dan Panipat. Pasca Delhi berhasil dikuasainya, maka secara resmi Mogul berdiri dan Delhi menjadi ibukota.
Puncak kejayaan Mogul berada pada kepemimpinan Akbar. Akbar diangkat menjadi raja saat ia berumur sekitar 14 tahun. Akbar dikenal sebagai raja yang plural di berbagai sektor pemerintahan, ia bekerja sama dengan berbagai elemen keagamaan, salah satunya ia bekerja sama dengan agama Hindu dengan mengangkat para raja agama Hindu. Akbar juga dipercayai mempunyai kekuatan mistis dan supranatural.
Akbar mengangkat seorang penasehatnya yang bernama Abu Fadl. Abu Fadl mengarang sebuah kitab yang merefleksikan pemerintahan Akbar yaitu Ain-i Akbari (Hukum Akbar) yang berisi tentang pemerintahan politik yang dipercantik dengan narasi tentang keberanian Akbar.
Pada masa selanjutnya sekitar akhir abad 16, Akbar dan Abu Fadl melangkah lebih jauh dengan memperbarui agama Islam, tetapi keduanya melampau batas-batas agama Islam, sehingga melahirkan agama baru yang disebut “agama Tuhan (din-i ilahi)“. Akbar menjadi seorang guru (pir atau mursyid) dalam sebuah tarekat agama baru yang ia ciptakan, dan para pejabat dan militernya sebagai murid atau anggota dari tarekat tersebut. Beberapa praktik tradisi kerajaan pra-Ibrahim direstorasi kembali dalam ibadah yang melibatkan juga api dan cahaya. Akbar membungkuk di hadapan matahari, dan mengatakan “Sebuah anugerah istimewa yang diberikan oleh matahari yang agung, dan demi keagungan raja-raja”.
Dia mengangkat para pejabat tingginya sebagai muridnya, melalui upacara pentahbisan. Kini, ia mulai meninggalkan ajaran agama Islam tradisional, “Saya membebaskan dan melepaskan diri dari Islam tradisional dan semua praktik agama yang saya lihat dan diamalkan oleh para pendahulu saya dan mengikuti ajaran agama Tuhan yang dibawa oleh Akbar dengan menerima empat tingkat pengabdian yaitu, pengorbanan harta, nyawa, kehormatan dan agama”.
Pada masa-masa genting seperti ini muncul seorang Sufi yang ingin melawan dan merestorasi kembali syariat yang telah diselewengkan oleh penguasa. Dia adalah Ahmad Sirhindi (1565-1624) yang sangat gigih dan mengedukasi masarakat untuk kembali mengamalkan ajaran dan nilai-nilai Islam yang sesuai dengan syariat. Menurut Ahmad Sirhindi, ulamalah yang mempunyai peran penting dalam penyebaran agama baru yang dibawa oleh Akbar. Akhirnya dia membujuk penerus Akbar, Jahangir agar mengangkat seorang ulama yang saleh dan jujur sebagai pemutus rantai ajaran baru yang dibawa oleh Akbar. Namun upayanya kandas ia akhirnya dipenjara oleh Jahangir.
Ahmad Sirhindi lahir pada tahun 1564 di Sirhind, kini negara bagian Punjab sebelah barat New Delhi. Ayahnya, Abdul Ahad adalah seorang Sufi kenamaan dan pengikut tarekat Chistiyyah. Ahmad Sirhindi menerima ajaran tarekat pertama kali oleh Ayahnya, sang ayah telah mengajarkan beberapa kitab tasawuf. Ketika sudah beranjak dewasa, Ahmad Sirhindi berguru kepada Abdul Baqi seorang mursid Tarekat Naqsyabandiyah, pada masa selanjutnya Ahmad Sirhindilah yang memimpin tarekat ini dan membawanya mencapai titik puncak kemajuan.
Ahmad Sirhindi terkenal sebagai pembaru tasawuf. Ia disebut sebagai (mujaddid tsani atau pembaru kedua). Menurut Sihrindi bahwa dalam seribu tahun pasca wafatnya Nabi, aspek kemanusiaan yang didakwahkan oleh Nabi merosot tajam, sedangkan aspek spiritualnya terus meningkat. Sirhindi berpendapat dirinya sebagai orang yang akan mengembalikan syariat Islam kepada kondisi ideal yang sesuai dengan masa hidup Nabi.
Dan tentunya syariat yang hendak diperbarui bukanlah syariat yang dipahami pada umumnya oleh para fuqaha, melainkan menurut pengertian “esensial” kesalehan sufistik. Dia mengusahakan restorasi tradisi sufi dari warna-warna Hindu dan menjaga keunggulanya dalam warna Islam.
Bagi Ahmad Sirhindi, syariat mempunyai dua dimensi yaitu kulit dan isi. Keduanya saling terikat dan dapat dijangkau oleh manusia untuk diamalkan. Contohnya Salat. Salat adalah tentang gerak raga dan jiwa. Pergerakan jiwa mengikuti dan bergantung pada gerak raga.
Syariat menurut syariat adalah segalanya karena tidak ada Islam tanpanya. Ia mengartikan syariat sebagai peraturan-peraturan yang diciptakan oleh Tuhan yang mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan lingkunganya.