Memahami Falsafah Ilmu Melalui Kisah Rasulullah saw. dan 2 Kelompok Muslim

Nurul Khair

Magister Ahlul Bait University, Tehran

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia (terus menerus) mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya terang benderang (iman)…” (QS. Al-Baqarah [2]: 257)

Kisah Rasulullah saw. dan 2 kelompok Muslim merupakan salah satu peristiwa yang dikutip oleh Murtadha Muthahhari dalam bukunya Dastān Rastān. Ia menceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad saw. memasuki masjid Madinah dan melihat dua kelompok Muslim berbeda. Kelompok pertama, sibuk beribadah dan berzikir kepada Allah swt. Sedangkan, kelompok kedua merupakan perkumpulan pelajar yang tengah asyik menuntut ilmu pengetahuan—seperti diketahui bahwa pada masa Rasulullah saw. masjid Madinah tidak hanya dijadikan sebagai sarana beribadah tapi juga sebagai sarana belajar dan menuntut ilmu. 

Kedua kelompok dengan aktivitas berbeda tersebut, membentuk sebuah lingkaran yang membatasi keduanya untuk saling berjauhan. Melihat perbedaan aktivitas tersebut, Rasulullah saw. mendekati dan menyatukan kedua kelompok tersebut, seraya berkata;

 “Sungguh, aku menyukai dua aktivitas yang berbeda ini, sebab tujuan dari tindakan ini hanya diniatkan kepada Allah swt. Tapi, aku sangat senang melihat kelompok yang melakukan belajar dan mengajar. Aku diutus untuk memberikan pengetahuan kepada umat manusia, sehingga mereka keluar dari gelapnya kejahilan menuju terangnya kebenaran di dunia dan akhirat. Maka, libatkanlah dirimu untuk mencari ilmu dan duduklah kalian di antara mereka (para pencari ilmu).” (Murtadha Muthahhari: Dastān Rastān, hal. 27-28) 

Berdasarkan cerita di atas, dapat diketahui bahwa Rasulullah saw. diutus oleh Allah swt. untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada umat manusia sebagai proses membimbing manusia yang semula berada pada kejahilan atau kebodohan menuju kebenaran untuk  menghindari yang salah dalam perjalanan hidupnya di dunia.

Sampai di sini, kita mengetahui bahwa pengetahuan atau ilmu merupakan salah satu indikasi diutusnya Rasulullah saw. di tengah manusia. Di satu sisi, kita juga memahami bahwa pengetahuan memiliki kedudukan yang tinggi, sehingga Allah swt. harus mengutus seorang Nabi atau Rasul yang memiliki pengetahuan-Nya untuk disampaikan dan diajarkan kepada manusia.

Baca Juga:  Tawakal: Penyubur Kebahagiaan Insan

Dalam Al-Qur’an Allah swt. menjelaskan kedudukan ilmu dalam beberapa surah, seperti: “…Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa…” (QS. Al-Baqarah [2]:247).

Dari potongan ayat di atas, kita dapat mengetahui bahwa Allah swt. menisbahkan ilmu kepada orang-orang yang luar biasa sebagai anugerah, seperti para pemimpin untuk membimbing individu atau masyarakat menuju sebuah kebenaran. Dalam ayat lain, juga dijelaskan kedudukan dan keistimewaan ilmu, seperti:

 “Dan demi (keagungan dan kekuasaan Kami)! Sungguh, Kami telah menganugerahkan ilmu kepada Daud dan (putranya) Sulaiman, dan keduanya (mensyukuri nikmat Kami seraya) mengucapkan: “Segala puji hanya bagi Allah yang melebihkan kami dari banyak para hamba-Nya yang mukmin” (QS. An-Naml [27]: 15).

Ayat di atas menunjukan, kita tidak sekadar mengetahui bahwa ilmu pengetahuan dinisbahkan kepada para pemimpin dan Nabi, melainkan kedudukan ilmu pada surah ini menjelaskan ilmu pengetahuan juga mengangkat derajat individu, yang memiliki ilmu pengetahuan, dari orang-orang yang sekadar beribadah semata. Dari sini, kita dapat memahami bersama kedudukan ilmu dalam Al-Qur’an.

Jika kita mengaitkan antara penjelasan Al-Qur’an dan cerita Rasulullah saw. dan 2 kelompok Muslim mengenai ilmu, sebagaimana dimuat oleh Murtadha Mutahhari dalam “Dastān Rastān”, maka kita akan mengetahui bahwa ilmu pengetahuan memiliki kedudukan yang istimewa yang dinisbahkan kepada para Nabi dan diajarkan kepada umat manusia untuk mengangkat derajat mereka di dunia dan akhirat.       

Di samping mengaitkan kedua hal di atas, kita juga perlu melihat sudut pandang filsafat dalam kisah Rasulullah saw. dan 2 kelompok Muslim, mengingat Murtadha Muthahhari merupakan seorang filsuf Persia yang cukup terkenal di abad 20, untuk memperoleh falsafah ilmu dari kisah tersebut.

Baca Juga:  Hijrah (1) : Tentang Muhammad Yang Terusir

Dalam peradaban filsafat, ilmu pengetahuan dikaji melalui pendekatan epistemologi, sebuah cabang filsafat yang membahas ilmu sebagai objek kajiannya (silahkan lihat dalam buku Bertrand Russel “Sejarah Filsafat Barat”, halaman 732 dan F Fredrerick Copleston, “A History of Philosophy: Hobbes to Hume”, volume 5, halaman 293. Keduanya membahas kedudukan ilmu pengetahuan). Epistemologi sebagai ruang kajian ilmu menekankan kesadaran sebagai sebuah prinsip berpengetahuan dalam diri manusia.

Kesadaran sebagai prinsip berpengetahuan, ialah seseorang tidak meragukan suatu keberadaan dalam pengetahuannya. Mulla Sadra dalam Al-Hikmah al-Mutāliyah fī al- Asfār al-Aqliyyah al-Arba’ah menjelaskan kesadaran dalam ilmu pengetahuan ialah mengetahui secara jelas suatu di luar dirinya. Jika kita berusaha menarik pandangan filosofis Mulla Sadra pada cerita Rasulullah saw. maka kita mengetahui pengetahuan pada dasarnya mengarahkan manusia untuk menyadari secara jelas keberadaan Allah swt.

Sadar terhadap keberadaan Allah swt. mengkonfirmasi kita tahu secara jelas, tanpa ragu terhadap-Nya, bukan sekadar menyembah tanpa adanya sebuah kesadaran dan pengetahuan dalam diri kita. Dengan demikian, jelaslah bahwa pengetahuan merupakan fondasi utama terhadap kesadaran kita kepada Allah swt. sebelum kita melakukan aktivitas beribadah kepada-Nya.

Karena mustahil seseorang yang melakukan aktivitas beribadah tanpa dilandasi oleh sebuah pengetahuan terhadap siapa yang disembah. Di sinilah, maksud keutamaan ilmu pengetahuan dalam cerita Rasulullah saw. dan 2 kelompok Muslim yang berusaha menyadarkan manusia di setiap aktivitas beribadahnya.

Sampai di sini, kita telah mengetahui falsafah ilmu pengetahuan dengan mengkaji kedudukan dan keistimewaannya melalui karya Murtadha Muthahhari yang dihubungkan dengan Al-Qur’an dan pandangan para filsuf barat dan Muslim. Semoga dengan tulisan ini, kita semakin meningkatkan pengetahuan kita untuk semakin sadar dalam melakukan peribadahan diri kepada-Nya, khususnya di bulan suci ini. 

Baca Juga:  Inilah Penafsiran Syaikh M. Said Ramadhan Al-Buthi tentang Hadis Iftiraqu al-Ummah

 

0 Shares:
You May Also Like