Hijrah (1) : Tentang Muhammad Yang Terusir

Oleh: Bil Hamdi

Mahasiswa STFI Sadra Jakarta

Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha pengasih, Engkaulah Tuhan orang-orang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku? Atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Tidak ada keberatan bagiku, asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan karena itu membawa kebaikan di dunia dan akhirat dari kemurkaan-Mu dan yang Engkau timpakan kepadaku. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau rida kepadaku. Dan, tiada daya upaya melainkan dengan kehendak-Mu.

Demikianlah doa lirih yang dipanjatkan Nabi Muhammad saw. setelah diusir dan dihinakan oleh penduduk Thaif. Niatnya berhijrah dan mendakwahkan Islam di sana dibalas dengan lemparan batu dan kotoran, dengan cacian dan hinaan. Pesan suci Tuhan yang dibawanya malah mendatangkan kemalangan bagi dirinya dan pengikutnya. Berdarah pelipisnya, terluka lututnya dihantam kerasnya batu yang dilemparkan penduduk Thaif. Tersayat-sayat hatinya mendapati niat tulusnya mengajak orang pada kebenaran dihina-hina dan direndahkan. Betapa beratnya perjuangan Nabi agung itu menapaki jalan dakwahnya.

Hingga datang sesosok malaikat mengucapkan salam padanya. Menyatakan bahwa Allah telah mengutusnya untuk Nabi. Menawarkan pada Nabi bahwa jika mau, ia bisa menimpakan gunung-gunung itu pada penduduk Thaif dan membinasakan mereka sebagai balasan perbuatan mereka terhadap Nabi yang mulia. Namun, jawaban Nabi atas tawaran itu sungguh mengejutkan malaikat. Jawaban yang hanya akan keluar dari orang yang benar-benar suci hatinya dan jernih akalnya. Jawaban yang menampakkan ciri utama Nabi kita, Muhammad, sang Nabi cinta.

“Jangan… mereka hanyalah kaum yang belum mengetahui. Jangan kau timpakan azab pada mereka,” Demikianlah lisan suci itu memaafkan penduduk yang mengusirnya. Malah Nabi mendoakan mereka, “Aku berharap, kelak, di bumi Thaif ini akan lahir generasi-generasi yang menyatakan iman kepada Allah dan tidak berbuat syirik sedikit pun.” Sungguh inilah pancaran kasih sayang yang begitu luar biasa dari seorang mulia. Pancaran cahaya cinta yang akan membasahi hati siapa pun yang mendengar kisahnya. Dialah Muhammad yang hatinya dipenuhi cinta.

***

Di Makkah, dua penopang dakwah Nabi, Khadijah (istri tercinta) dan Abu Thalib (sang paman pelindung) telah tiada. Meninggalkan duka mendalam bagi sang Nabi sehingga tahun itu disebut sebagai tahun kesedihan. Sepeninggal Khadijah dan Abu Thalib, posisi Nabi di Makkah makin menyulitkan. Kaum kafir Quraisy tidak lagi segan untuk menyiksa pengikut Nabi. Ancaman dan tekanan semakin masif dilancarkan.

Kondisi menyulitkan itulah yang menyebabkan Nabi hijrah ke Thaif. Namun, ternyata yang ia dapat malah penolakan dan pengusiran dari penduduk Thaif. Dakwah Nabi yang ditentang kaumnya sendiri di Makkah, kemudian ditolak di negeri yang ia datangi itu membuatnya berada di posisi yang serba tidak mengenakkan. Bila tetap tinggal di Makkah, ia khawatir akan semakin banyak pengikutnya yang disiksa dan dianiaya. Namun bila ingin pindah, kemanakah arah tujuannya setelah ia ditolak di negeri Thaif? Bagaimana kalau negeri lainnya juga menolak dakwahnya? Hal itulah yang semakin menambah kesedihannya. Dengan demikian, Nabi Muhammad menjadi Nabi yang terusir.

Baca Juga:  Sakit sebagai Karunia

Namun demikian, Nabi tak pernah menyerah menyebarkan keyakinannya meski terus mendapatkan tekanan dan intimidasi dari kaum Quraisy. Pada musim haji, Nabi mendakwahkan ajarannya pada para peziarah yang mendatangi Makkah. Beberapa dari peziarah itu adalah orang-orang yang berasal dari Yatsrib. Tempat yang kelak akan menjadi tujuan hijrah Nabi.

***

Awalnya, orang-orang dari Yatsrib sama sekali tak begitu memerhatikan dakwah Nabi. Sebab, selain Nabi, ada banyak dukun, penyair, dan juga pengkhotbah yang memperagakan pertunjukan masing-masing. Dan, dakwah Nabi hanyalah salah-satu pilihan di antara beberapa hiburan yang dapat mereka tonton setelah kelelahan dalam perjalanan jauh dari Yatsrib. 

Mereka baru mulai menaruh perhatian lebih pada Nabi setelah menyaksikan para pembesar Quraisy yang seringkali merendahkan ajaran Nabi secara berlebihan. Diksi seperti Nabi telah dirasuki jin (majnun), Nabi adalah peramal, tukang sihir dan sebagainya itu malah membuat beberapa orang Yatsrib tertarik ingin mengenal lebih jauh sosok Nabi. Apalagi setelah mengetahui fakta bahwa Nabi dikenal sebagai orang yang jujur dan terpercaya di Makkah, bahkan Nabi digelari al-Amin (yang terpercaya) oleh orang-orang Makkah itu sendiri.

Pada musim haji tahun 620 M, enam orang Yatsrib dari kalangan suku Khazraj mendatangi Nabi dan menyatakan bahwa mereka tertarik dengan ajaran Islam. Mereka telah mendengar kabar bahwa Nabi dulunya pernah mendamaikan pertikaian yang hampir saja meletus antara para pemimpin kabilah Quraisy saat peletakan Hajar Aswad.

Menurut mereka, cara yang dilakukan Nabi dalam mendamaikan para pemimpin kabilah itu merupakan teladan yang sangat luar biasa. Nabi membentangkan sehelai jubah lalu meletakkan hajar Aswad di atasnya, lantas meminta masing-masing dari pemimpin kabilah untuk memegang tepi kain sembari mengangkatnya. Cara itu membuat semua orang (dari perwakilan kabilah) punya andil yang sama besarnya dalam peletakan batu suci tersebut. Orang yang bijaksana seperti itulah yang mereka (penduduk Yatsrib) butuhkan. Sebab, di Yatsrib, peperangan antara suku Khazraj dan Aus tak kunjung usai. Mereka butuh seorang juru damai yang mampu meredakan ketegangan antara dua suku tersebut.

Enam orang itu pun masuk Islam, lalu kembali ke Yatsrib untuk menyebarkan berita bahwa seorang juru damai menanti mereka di Makkah, seorang Nabi yang bijaksana.

***

Pada musim haji tahun 621 M, dua belas orang peziarah dari Yatsrib mendatangi Nabi. Kali ini, juga terdapat perwakilan dari suku Aus. Yang mengejutkan lagi adalah dua belas orang yang datang itu merupakan orang-orang berpengaruh dari masing-masing suku. Kabar ini memberi angin segar bagi Nabi dan pengikut setianya. Akhirnya, mereka punya tempat tujuan untuk melaksanan hijrah. Namun, Nabi belum hijrah tahun itu, Ia harus memastikan bahwa Yatsrib akan menerima dirinya dan semua pengikutnya. Sebagai gantinya, Nabi mengirim seorang utusan bernama Mus’ab untuk ikut bersama dua belas orang itu pulang ke Yatsrib. Di sana dia akan bertugas mengajari penduduk Madinah dasar-dasar ajaran Islam.

Musim haji selanjutnya, tahun 622 M, 72 orang pemimpin kabilah Yatsrib datang sebagai utusan. Mereka mengaku telah berislam. Jumlah yang makin meyakinkan dan memantapkan keputusan Nabi untuk segera meninggalkan Makkah. “Aku adalah bagian dari kalian, dan kalian adalah bagian dari aku”. Demikianlah ikrar itu diucapkan untuk memastikan perjanjian persaudaraan mereka. Perjanjian antara mereka yang kelak akan dikenal sebagai kaum Muhajirin dan kaum Anshar.

Baca Juga:  Gaya Bahasa Sufistik al-Qusyairi dalam Ekstraksi Kaidah Nahwu

***

Namun hijrah tidaklah semudah yang dibayangkan. Kata hijrah yang sering diterjemahkan sebagai perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, rupanya punya makna yang jauh lebih menyakitkan. Akar kata hijrah dalam bahasa Arab memiliki arti memutus diri sendiri dari sesuatu. Dengan melaksanakan hijrah, Nabi telah memutuskan hubungan dirinya dari ikatan suku, kabilah, keluarga dekat dan bahkan Makkah. Dia seolah dibuang dari kampung halamannya untuk memasuki dunia baru yang belum ia kenali. Meninggalkan Makkah, artinya meninggalkan segala ingatan tentang masa lalu yang di dalamnya ia telah hidup, berkembang, menikah, tumbuh dari seorang yatim malang menjadi salah satu saudagar yang dihormati. Dan kini, Ia harus meninggalkan itu semua. Seolah salah-satu bagian dari dirinya dirampas. Begitu menyakitkan, dan bahkan mungkin bagi sebagian orang—meninggalkan kampung halaman seperti itu— bisa jadi sangat menakutkan. Entah apa yang akan ia hadapi setelahnya, Ia serahkan sepenuhnya pada Allah. 

Demikianlah hijrah, ia adalah bentuk kepasrahan kepada apapun yang akan terjadi setelah berjuang mati-matian. Sebuah perjuangan yang hanya akan dilakukan oleh orang yang punya cukup iman dan keberanian. Dan itulah yang dilakukan Nabi dan para pengikut setianya.

***

Pada akhirnya, satu per satu sahabat Nabi meninggalkan Makkah. Tentunya dengan penuh kesedihan. Berpisah dengan akar kehidupan yang selama ini mereka hidup di dalamnya. Berpisah dengan keluarga, sanak saudara dan teman-teman, serta berpisah dengan tanah kelahiran. Entah yang mana yang lebih mereka cintai, yang jelas berpisah dengan salah-satunya atau kesemuanya adalah hal yang sangat menyakitkan.

Saat itu, orang-orang menyaksikan beberapa rumah di Makkah sudah mulai kosong, tak lagi berpenghuni. Daun-daun pintu yang terbuka dan mengatup dihembus angin musim panas menjadi bukti bahwa gerakan hijrah telah dimulai. Mereka telah pergi meninggalkan Makkah.

Makkah mendadak menjadi kota yang penuh kesedihan. Tak hanya bagi mereka yang meninggalkan Makkah, mereka yang ditinggalkan juga ikut sedih mengenang anggota keluarga mereka yang hilang satu per satu. Lenyap entah kemana.

Sebagian lain justru penuh amarah. Peristiwa hijrah itu telah menyebabkan kekacauan di Makkah. Dan, jika pun ada yang perlu disalahkan atas semua itu, tentunya Muhammad adalah orangnya. Dialah yang bertanggungjawab atas semua kekacauan dan terganggunya stabilitas sosial dan politik di Makkah.

Menariknya, meski Nabi adalah pemimpin, ia bukanlah orang yang berangkat duluan, justru ia termasuk yang paling terakhir berangkat meninggalkan Makkah. Ia ingin memastikan semua sahabat sekaligus pengikutnya pergi dengan aman dan selamat. 

***

Semua orang mulai membicarakan aksi yang dilakukan Muhammad dan pengikutnya. Para pemimpin kabilah mulai merasa khawatir melihat pengaruh Muhammad yang semakin meluas. Mereka takut jika Muhammad dibiarkan keluar dari Makkah, suatu saat Ia akan datang kembali membawa pasukan besar dan  menyerang Makkah. Oleh karena itu, pencegahan harus dilakukan sedini mungkin. Mereka pun mengadakan rapat.

Setelah beberapa usulan ditolak karena dianggap tidak cocok, Abu Jahal memberi usulan yang brilian untuk menyelesaikan permasalahan ini. Sebaiknya Muhammad dibunuh, namun bukan oleh satu orang, melainkan oleh semua pemuda terkuat dari setiap kabilah. Jika ia dibunuh oleh perwakilan semua kabilah tentu tidak akan ada yang bisa menuntut balas. Sebuah rencana pengepungan dan pembunuhan pun disusun sebaik mungkin. Namun, tepat setelah rencana itu dibuat, Nabi Muhammad bersama Abu Bakar telah berangkat meninggalkan Makkah.

Baca Juga:  Laku Tasawuf Menjadikan Manusia yang Memanusiakan Manusia

Para pemuda perwakilan kabilah itu berkumpul mengepung rumah Nabi Muhammad membawa rencana pembunuhan yang matang. Jika mereka berhasil, artinya mereka telah menyelamatkan Makkah dari ajaran sesat Muhammad. Keluarga mereka yang telah hijrah, cepat atau lambat akan kembali lagi ke Makkah. Lalu, kehidupan normal mereka menyembah berhala tidak akan diusik lagi. Lebih dari itu, takkan ada lagi yang mengkritik praktik politik dan cara berdagang mereka yang curang. Dengan membunuh Muhammad, mereka akan mengembalikan stabilitas politik dan sosial di Makkah. Sayangnya, itu takkan pernah terjadi. Sejarah akan bergulir ke arah sebaliknya. Alam justru memihak Muhammad.

Saat mereka menerjang rumah Muhammad, mereka justru mendapati Ali di dalamnya. “Mana temanmu (Muhammad)?” tanya salah seorang pemuda dengan kesal. “Bukankah kalian ingin dia pergi? Dia sudah pergi”.

***

Nabi berangkat hijrah bersama Abu Bakar. Namun, mereka mengambil jalan memutar ke Selatan untuk mengelabui kaum Quraisy yang pastinya akan segera melakukan pengejaran. Untuk sementara waktu, Nabi dan Abu Bakar bersembunyi di gua Tsur.  

Mendapati Muhammad tak lagi berada di rumahnya, kaum Quraisy kelabakan. Mereka kesal bukan kepalang. Segera mereka menyebar pasukan untuk menyusul Muhammad yang masih di perjalanan. Pengejaran mereka lakukan dengan menyebar pasukan ke segala penjuru.

Abu Bakar sangat ketakutan ketika mengetahui pasukan pengejar telah menyisir daerah sekitar gua Tsur. Nabi berusaha menenangkan Abu Bakar yang sedang ketakutan itu. Dalam ketakutan akan dibunuh itulah, turun wahyu pada Nabi, surah at-Taubah ayat 40 “Janganlah takut dan jangan bersedih. Sesungguhnya Allah bersama kita”.

Keberadaan mereka di dalam gua hampir saja ketahuan, ketika mereka melihat ribuan laba-laba merakit sarang tebal di pintu gua tersebut. Mereka bahkan mungkin bisa melihat bayangan pasukan pengejar di tepi pintu gua. Namun, para pengejar itu tidak akan menaruh curiga pada sesuatu di dalam gua. Sebab ada jaring laba-laba tebal di pintu gua, menandakan bahwa tak ada orang yang masuk ke dalam. Mereka kembali ke Makkah menghadap pemimpin kabilah dengan tangan kosong. Muhammad telah lolos.

***

Panas pagi telah semakin menyengat saat itu, matahari hampir mencapai titik puncaknya di langit. Orang-orang Yatsrib telah pulang ke rumah masing-masing setelah menanti kedatangan Nabi. Diriwayatkan bahwa orang pertama yang melihat Nabi adalah seorang Yahudi. Begitu melihat sosok Nabi, ia segera berlari dengan penuh semangat berteriak ke seluruh penduduk Yatsrib, “Nasib baik kalian telah tiba!”

Kedatangan Nabi di Madinah pagi itu, menjadi penanda awal kebangkitan Islam. Dari sana, Islam akan tumbuh menjadi sebuah agama yang akan dikenal dan menyebar ke seluruh dunia. Semuanya berawal dari peristiwa hijrah.

 

0 Shares:
You May Also Like