PERTAMA KALI TERJAGA TENTANG KESATUAN TRANSENDENTAL AGAMA-AGAMA (BAGIAN 3)

Cermin! Ya, cermin. Bukan lembar-lembar kertas, atau lontar, atau perkamen— alat tulis pengganti kertas yang dibuat dari kulit binatang—sebagaimana lazimnya sebuah kitab. Tapi, bahkan lebih dari sebuah kitab yang sarat hikmah kebijaksanaan, justru kitab tanpa lembaran-lembaran bertulis aksara, kitab unik ini lebih lagi memuat kebijaksanaan

Bahkan semua kebijaksanaan yang mungkin ada. Bagaimana bisa? Bukan cuma spekulasi saya, tapi, seperti ditulis dalam catatan terkait kisah ini, cermin itu dimaksudkan sebagai perlambang alat untuk mengenal diri. Dan, bukankah pengenalan akan diri sama dengan pengenalan akan Tuhan. Sedang segala ilmu ada dalam khazanah ketuhanan? Maka, mengenal diri sesungguhnya sama belaka dengan menguasai seluruh kebijaksanaan ketuhanan. Ya, Cord telah sampai kepada akhir perjalanan. Menemukan semua yang dicari dalam hidup.

Maka dia pun kembali kepada Si Orang Bijak, kemudian berakhir dengan diwarisi seruling sunyi itu oleh Sang Peniup, sebagai simbol dia telah mewarisi segala kebijaksanaan, dan siap menjadi pembimbing bagi manusia-manusia lain. Cord sendiri, kini, adalah Si Orang Bijak.

Alhasil. Adalah keliru untuk melihat film ini sebagai sebuah film Kung Fu. Sedemikian sehingga, dalam sebuah wawancara, David Carradine menyatakan betapa dia tak habis pikir ketika produser sekonyong-konyong memberi film ini juga nama lain: The Circle of Iron. “Sebuah nama yang sama sekali tak bermakna,” kata Carradine. Kecuali hanya sebagai akibat kepicikan untuk hanya mampu melihat film ini tak lebih sebagai film laga Kung Fu. Dan ternyata Bruce Lee, jauh sebelum film itu diedarkan ke seluruh dunia, sudah menorehkan semacam nubuatan tentang fenomena ini

Di pengantar skenario, dia menulis:

“Kisah ini menggambarkan perbedaan besar antara pemikiran Timur dan Barat. Rata-rata orang Barat akan tertarik dengan kemampuan seseorang untuk menangkap lalat dengan sumpit, dan mungkin akan mengatakan bahwa itu tidak ada hubungannya dengan seberapa baik dia akan berhasil dalam pertempuran. Tetapi, orang Timur akan menyadari bahwa seseorang yang telah mencapai penguasaan penuh suatu seni telah mengungkapkan kehadiran (the presence) pikirannya dalam setiap tindakan…”

Baca Juga:  Mengapa Manusia Butuh Agama?

The Silent Flute tak ayal adalah sebuah film spiritual, bahkan mistikal. Sebuah pencarian tentang diri, tentang makna dan tujuan hidup. Dan bagi anak muda berumur 20-an tahun itu, ia adalah semacam alarm yang membuatnya terjaga akan universalitas nilai-nilai beragam agama manusia. Dan film ini barulah sebuah awal baginya. Sebuah coming to age dalam kehidupan beragamanya. Sampai kemudian dia mendapati betapa persamaan-persamaan seperti itu amat melimpah. Kadang dalam hal esensi-esensi fundamental ajaran berbagai agama, tapi tak jarang juga dalam rincian-rincian yang menakjubkan—seperti kisah Cord dan Si Peniup Seruling itu. Termasuk tentang gagasan kesatuan wujud di semesta keberadaan, tentang Tuhan dan alam selebihnya yang tak lain adalah berbagai pengejawantahan-Nya, tentang alam sebagai manusia besar dan manusia sebagai alam kecil, tentang wali sebagai avatar. Dan seterusnya. Hingga, suatu saat dia seperti diingatkan bahwa jumlah Nabi adalah tak kurang dari 124 ribu orang, dan tersebar di berbagai bangsa. Bahkan, seperti kata Ibn Arabi, di luar itu masih ada orang-orang bijak yang bukan Nabi, yang mendapatkan semacam hukum syariah—disebut namus (nomos)—dari Tuhan juga. Maka, dia pun menyadari, bukan hanya agama-agama besar, tapi bahkan agama-agama lokal atau agama-agama primal yang tersebar di semua wilayah geografis dan bangsa-bangsa pun boleh jadi berasal dari Tuhan Pewahyu yang sama. Bukan juga tak ada yang menyadarkannya—seperti terungkap dalam sebagian penelitian yang dibacanya belakangan—bahwa boleh jadi pengikut agama Hindu pada awalnya sesungguhnya adalah pengikut Nabi Nuh. Sedang pemeluk Budhisme adalah awalnya pengikut Nabi Zulkifli. Bahwa agama Zoroaster konon berpandukan suhuf (lembar-lembar) suci dari Nabi Idris (Hermes). Mereka sebut Corpus Hermeticum. Atau bahwa, seperti spekulasi Suhrawardi, Idris yang sama inilah yang kemudian menurunkan raja-raja Persia yang membawa mistsisme, sekaligus para filsuf Yunani yang mengajarkan filsafat. Memang tak ada yang bisa memastikan kebenaran spekulasi Suhrawardi, tapi tak bisa juga orang dengan serta-merta menolaknya.

Baca Juga:  Konsep Etika Sufistik Al-Ghazali

Ya, syariah bisa berbeda. Dan kenyataannya memang berbeda. Dan secara syariah dia adalah Muslim. Dan sebagai Muslim boleh saja dia percaya syariah Islam adalah jalan yang sempurna. Tapi, di level yang lebih transendental, sebetulnya agama-agama itu berbagi ajaran-ajaran moral spiritual yang universal. Maka, dia pun memahami ajaran Al-Quran bahwa pemeluk agama mana pun, selama percaya pada Tuhan dan Hari Akhir Pertanggungjawaban, lalu beramal salih, semua akan selamat. Apa pun agamanya. Semua saja. Dia pun tak ragu untuk menerima undangan Al-Qur’an agar jangan menjadikan perbedaan keagamaan sebagai sumber konflik. Biar masing-masing bebas memeluk keyakinannya. Sebagai gantinya, biar hanya cinta yang menghubungkan semuanya. Bahkan biar yang kafir ngotot dengan kekafirannya. “Wa man syaa’a, falyakfur, kata Tuhan sendiri. Sebaliknya, telinganya terbuka akan ajaran Tuhan yang sama agar semua berlomba-lombalah dalam kebaikan (fastabiqul khayrat).

Tak ada kekafiran yang harus diberantas, kecuali jika itu berarti kejahatan kepada sesama ciptaan—jika itu penindasan, agresi, dan imoralitas yang merusak kemanusiaan. Apa pun agama orang. Ya, lawan kita bukan pemeluk agama yang berbeda, lawan kita hanyalah tirani penuh ketakaburan dan kebengisan. Selain itu tidak.

Demikian, 43 tahun setelah itu, dia yang tadinya adalah anak muda culun, yang awalnya hanya ingin bersenang-aenang dengan sekadar honor menulisnya, sekarang telah lebih jauh berjalan dalam pencariannya. Mudah-mudahan perjalanannya itu adalah ke arah jalan yang lurus dan terang, menuju kebenaran dan kebaikan sejati. Atau, kalau tidak, semoga Allah mengampuninya, menolongnya, dan memberinya petunjuk ke jalan yang lebih lempeng (lurus). Karena sesungguhnya hanya Dialah Yang Paling Tahu… (habis).

0 Shares:
You May Also Like
Read More

TUHAN DAN IMAJINASI

Apa itu imajinasi? Menurut Merriam-Webster Dictionary imajinasi adalah sebuah kemampuan manusia untuk membuat gambaran mental tentang sesuatu yang…