Kebenaran Bermuka Ganda?

Oleh: Yusuf Mahdi

Penikmat Kajian Filsafat Islam dan Tasawuf

Saya akan membawa Anda untuk berpikir sejenak. Berbicara mengenai kebenaran, selalu menjadi ujung tombak dalam mengungkap suatu perkara, dan tak lupa juga kebenaran menjadi bebas nilai ketika kebenaran itu sendiri yang menjadi penentu segala sesuatu. Kebenaran di satu sisi berwajah kasar dan di sisi lain berwajah halus. Kebenaran menampakkan wajah kasarnya ketika dibawa oleh seorang diktator yang menganggap bahwa dirinya yang paling benar dan harus berlaku. Tetapi kebenaran akan menampakkan wajah halusnya ketika kebenaran itu sendiri dibawa oleh seorang yang bijak, yah kita sebut seorang filosof, arif dan sufi.

Tidak hanya kebergandaan makna suatu kebenaran, ternyata atribut kebergandaan juga disematkan pada Islam. Seperti apa yang dijelaskan oleh seorang penulis Muslim Amerika “Stephen Sulaiman Schwartz” dalam bukunya Two Faces of Islam bahwa dalam pemahaman Stephen ini cenderung provokatif-kritis. Ia memaknai Islam dengan munafik —dua wajah, dua standar, dua sikap— artinya serba kemenduaan yang bisa saja dipraktikkan sesuai dengan suatu kebutuhan dan kepentingan.

Namun, dengan mengikuti gaya berpikir Schwartz dalam magnum opusnya tersebut, sebenarnya ia tengah berusaha menyajikan potret Islam, dua wajah yang dibidik dengan lensa sosio-kultural. Dua wajah yang disajikan Schwartz di sini mewakili dua posisi berseberangan yang sama-sama mengklaim sebagai manifestasi ajaran Islam. Ada wajah moderasi, kesejajaran, kesabaran, kejujuran, yang merupakan wajah yang santun, toleran dan inklusif yang siap hidup berdampingan dengan para penganut keyakinan yang berbeda. Sementara di sisi lain, ada wajah separatisme, supremasi, sewenang-wenang, dan agresif yang garang, mudah marah, intoleran dan eksklusif yang menjadi peran antagonis bagi wajah yang pertama.

Baca Juga:  Tumpang Tindih Makna Jihad

Konsekuensi bagi penganut wajah pertama akan melahirkan sikap toleransi dan tentunya berporos untuk mencari kebenaran. Akan tetapi bagi penganut wajah kedua akan melahirkan intoleransi dan tentu pula berporos untuk mencari pembenaran. Tentu hal tersebut merupakan dua hal yang jauh berbeda.

Sebagian orang yang menjadi penganut wajah kedua ini terkesan radikal —dalam makna negative— dan murah sekali menghakimi seseorang dengan label “kafir”. Mengapa demikian? Karena kebenaran yang dipahami hanya sekedar mencari pembenaran dan harus berlaku. Kebenaran baginya hanya satu “aku yang paling benar, yang lain salah”. Kebenaran dalam hal ini bermakna parsial.

Sebaliknya, orang yang menjadi penganut wajah pertama terkesan toleran, moderat dan tidak mudah men-judgement sesuatu. Mengapa demikian? Karena kebenaran yang ia pahami bukan untuk mencari pembenaran, tapi mencari kebenaran. Kebenaran baginya universal, bukan parsial.

Lalu, bagimana cara kita memandang kebenaran? Mengapa terjadi dualisme dalam kebenaran? Dan haruskah kebenaran itu diketahui dan dinyatakan?

Cara kita memandang kebenaran harus dilihat dari sisi epistemologi dan ontologi. Jika kita memandang kebenaran dari sisi epistemologi, maka kebenaran akan menampakkan dua wajah “lembut dan kasar” mengapa demikian? Karena kebenaran dalam hal ini tergantung dari sudut pandang mana kita melihat suatu realitas. Sehingga timbul di benak kita bahwa kebenaran akan bermakna A dan B.

Jika kita memandang kebenaran dari sisi ontologi, maka kebenaran hanya satu, yakni kebenaran Sang Mutlak (al-Haq). Mengapa demikian? Karena kebenaran Sang Mutlak bersifat self-evident. Sedangkan kebenaran yang kita yakini ini bersifat relative.

Lalu haruskah kebenaran itu diketahui dan dinyatakan? Mengenai hal ini saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Paul Natorp bahwa: “Segala kebenaran ingin diketahui dan dinyatakan dan juga dibenarkan; namun kebenaran itu sendiri tidak memerlukan hal itu, karena dialah yang menunjukkan apa diakui benar dan harus berlaku”.

Baca Juga:  Dari Vatikan ke Najaf: Mengukuhkan Persaudaraan, Membendung Teror

Oleh karena itu, benar apa yang dikatakan Paul Natorp di atas bahwa kebenaran tak harus dinyatakan dan diketahui karena sesungguhnya kebenaran itu mempunyai caranya sendiri dalam mengungkap realitas. Kebenaran harus dipandang sebagaimana seharusnya, bukan sebagaimana adanya.

0 Shares:
You May Also Like