Tumpang Tindih Makna Jihad

Oleh: Yusuf Mahdi

Penikmat Kajian Filsafat

Hampir bisa dipastikan, term jihad merupakan salah satu konsep dan praksis dalam Islam yang paling sering disalah pahami, baik oleh kalangan Muslim sendiri maupun di antara para ahli, pengamat dan masyarakat Barat. Ketika terma jihad disebut, citra yang muncul di kalangan Barat tentang Islam dan Muslim adalah sebagai individu, sel atau kelompok yang dengan sergap melakukan penyerangan secara anarkis ke berbagai wilayah di Timur-Tengah, Amerika, Eropa, Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Inilah citra yang melekat sejak “Peristiwa 11 September 2001” di Amerika Serikat hingga masa kini.

Begitu melekatnya citra ini, sehingga fakta dan argumen apa pun untuk membantah citra negatif itu oleh pihak Muslim sulit diterima oleh masyarakat Barat. Bahkan citra Islam dan Muslim terus memburuk dengan hadirnya kekerasan yang dilakukan simpatisan ISIS di Paris pada November 2014.  Hal ini makin menambah genting dan carut-marutnya posisi Muslim di mata Barat.

Sementara itu para tokoh, pemimpin dan aktivis Muslim arus utama (mainstream) terus membantah asosiasi atau identifikasi Islam dengan jihad berupa kekerasan dan bunuh diri. Pada saat yang sama tetap saja ada individu, sel, kelompok Muslim yang menyalahgunakan konsep dan praksis jihad.

Apa yang disebut “jihad” oleh individu, sel dan kelompok Muslim sejak awal abad ke-21 sampai sekarang lebih merupakan penyimpangan daripada kepenganutan pada ajaran Islam yang sebenarnya. Jihad sering diidentikkan banyak ahli, baik non-Muslim maupun Muslim sendiri dengan “perang suci” (holy war) yang dipahami dalam konteks Kristen Eropa sebagai perang melawan orang kafir.

Tetapi seperti dikemukakan Rudolph Peters (1977) bahwa tujuan utama jihad bukan untuk memaksa orang kafir memeluk Islam, melainkan pembelaan ranah Islam dari agresi kaum kafir.

Baca Juga:  BERSAMA MAULANA RUMI MEMAKNAI MUDIK

Lebih jauh Peters mengatakan bahwa orang kafir yang ditaklukkan dan berada di bawah kekuasaan Islam diberikan dua pilihan: tetap dalam agama mereka dengan membayar jizyah (pajak kepala/poll tax) atau masuk Islam sehingga memperoleh hak-hak sipil mereka sepenuhnya.

Secara historis, jihad umumnya dilakukan atas dasar politik, seperti perluasan wilayah Islam atau pembelaan diri Muslim terhadap serangan luar. Sebab itu berbicara secara ketat, “perang suci” adalah terjemahan keliru dari jihad.

Pengasosiasian jihad dengan terorisme di masa kini tak bisa lain disebabkan kenyataan, jihad dalam pengertian perang melibatkan elemen kekerasan yang dapat dikategorisasikan sebagai terorisme. Tetapi, jelas penggunaan kekerasan atas nama agama di masa kontemporer sebenarnya lebih banyak disebabkan faktor politik, yang kemudian dicarikan legitimasinya dalam ajaran agama.

Pembuktian kebenaran Islam tidak mesti dicapai dengan cara militer dan kekerasan, tetapi justru harus diusahakan dengan cara damai. Dalam konteks ini, menurut Majid Khadduri jihad dapat dipandang sebagai bentuk propaganda keagamaan yang dilancarkan baik persuasif maupun kekerasan.

Dalam periode Mekkah, jihad dilakukan secara persuasif. Nabi Muhammad saw. memperingatkan masyarakat Mekkah tentang kekeliruan penyembahan berhala dan sebaliknya, menyeru mereka untuk menyembah Allah. Hal ini tercermin dalam QS. Al-Ankabut 29:6.

Ayat di atas mencerminkan jihad dalam pengertian metode untuk mencapai keselamatan diri ketimbang penyiaran agama. Sebaliknya dalam ayat Madaniyyah (QS. At-taubah (9):41; al-Hujurat (49):15) jihad sering diekspresikan dalam pengertian “mengerahkan segenap upaya”.

Tetapi, juga tidak bisa dibantah dalam ayat tertentu istilah jihad sinonim dengan kata “perang” (al-harb) dan “pertempuran” (al-qatl). Karena itu, jumhur ulama berpendapat kewajiban jihad dapat ditunaikan dalam empat bentuk: dengan hati, lidah, tangan, dan pedang.

Baca Juga:  KALAU PUN TUHAN BELUM BISA DIBUKTIKAN SEBAGAI PASTI ADA, SETIDAKNYA KITA TAK BISA MENGATAKAN BAHWA DIA PASTI TIDAK ADA

Oleh karena itu, terkait interpretasi konsep jihad dua arah (pro-kontra) yang sudah terlanjur membumi dan dikonsumsi khalayak umum, tentu saja tetap tidak bisa dibenarkan sebagian oknum yang mengaku Muslim (teroris) melakukan tindakan brutal, takfirisme dan persekusi.

Tentu hal ini sudah melenceng jauh dari makna substansi Islam rahmatan lil’alamin yang sangat menjunjung tinggi toleransi dalam keberagamaan. Bukankah sudah jelas Allah swt. mengutus Nabi Muhammad saw. ke bumi untuk menyempurnakan akhlak bukan mengkafirkan dan membunuh!

Ingatkah kita pada perkataan sang Pintu Ilmu,“Dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan” (Imam Ali Bin Abi Thalib)

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Ayo Bertasawuf

Oleh: Darmawan Ketua Program Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf Apa itu tasawuf? Apakah tasawuf merupakan bagian dari…