Hulul dan Ittihad: Sebuah Catatan

Oleh: Haidar Bagir

Pengasuh Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf

Gagasan tentang hulul dan juga ittihad, adalah dua gagasan yang kontroversial, bahkan di kalangan ‘urafa’ sendiri. Apa makna Tuhan bersemayam dalam diri (ruhani) manusia? Apa makna aspek lahut Allah menyatu dengan aspek nasut Allah yang ada dalam diri  manusia? (Catatan: nasut itu bersifat ruhani juga, bukan fisik. Kalau fisik, sejak awal jelas tak mungkin terjadi hulul). Apakah lahir identitas dari hulul itu? Demikian juga dalam ittihad. Apakah lahir identitas? Hulul dan Ittihad yang dipahami sebagai melahirkan identitas ‘abd dan Rabb ini yang ditolak bahkan oleh kaum ‘urafa’ sendiri. Dan yang saya maksud ‘urafa’ ini bukan hanya yang Ghazalian. Bahkan juga yang Akbarian. Al-Ghazali memang tidak menyalahkan gagasan hulul dan ittihad secara mutlak, tapi memberinya atribut majazi. Yang terjadi bukan benar-banar identitas, tapi keserupaan. ‘Abd mengadopsi sifat-sifat ketuhanan Rabb (tasybih), dalam keadaan tanzih (transendensi, keberbedaan) di antara keduanya tetap terpelihara, sebagaimana dalam wahdah al-wujud. Wallaahu a’lam

Kemungkinan lain, sepeti kata sebagian sufi, bukan itu jugalah yang benar-benar dimaksud oleh Al-Hallaj dan Bayazid, jika kita pertimbangkan bahwa kata-kata keduanya adalah syathahat. Sebab syathahat sesungguhnya adalah luapan pengalaman ketuhanan yang meluber karena tak tertampung dalam jiwa yang mengalaminya. Benar bahwa Al-Hallaj menggunakan istilah hulul dalam beberapa tempat di tulisannya, tapi itulah yang bagi ‘urafa’ atau sufi, yang berusaha memakluminya, dinisbahkan kepada makna majazi atau bentuk syathahat tersebut.

Bahkan Imam al-Ghazali yang biasa disebut orthodox pun berusaha menafsirkannya agar pemikiran Al-Hallaj bisa diterima. Setidaknya kalau tidak salah, dalam 3 bukunya Imam al-Ghazali menyinggung soal ini. Al-Asma’ al-Husna, Misykat al-Anwar, dan Ihya’

Jadi, adanya kontroversi hulul dan ittihad bukan berarti kita menyalahkan kedua sufi besar itu. Tapi kita berusaha memahaminya dengan pemahaman yang bisa dibenarkan juga secara filosofis dan syar’i. Yang jangan-jangan justru merupakan maksud keduanya, yang belakangan disalah pahami. Problem identitas Rabb dan ‘abd itu berisiko membuat kita lengah tentang sifat tanzih Allah swt. Karena jangankan al-Hallaj dan Bayazid, Nabi saw. saja tak pernah identik dengan Allah:

Baca Juga:  Historisitas Khittah NU

… ليس كمثله شيء

…Tak ada sesuatu yang seperti sesuatu yang mirip dengan-Nya… (QS. Asy-Syura 42:11)

Ayat Alquran ini maknanya sering direduksi hanya menjadi, “Tak ada yang seperti Dia”, padahal kalau itu yang dimaksud bunyi ayat itu “hanya” akan menjadi

ليس كهو شيء

Jadi, ayat itu bisa ditafsirkan, sebagai bermakna: Tak ada yang seperti sesuatu yang bahkan mirip Nabi Muhammad saw. (sebagai sesuatu yang mirip Allah). Ayat itu mengandung tasybih selain tanzih, sekaligus menekankan dengan mutlak tanzih Allah swt.

Dan, sebetulnya, jika kita pelajari lebih jauh, al-Hallaj juga menekankan tanzih Allah swt ini. Al-Hallaj sendiri  berkata (dikutip dalam Akhbar al-Hallaj):

“Barang siapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan    kemanusiaan    atau pun    kemanusiaan    berpadu dengan   ketuhanan, maka   kafirlah dia. Sebab,   Allah mandiri dalam  Dzat  maupun  sifat-Nya, juga dzat  dan  sifat makhluk. Dan Dia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-makhluk-Nya, dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”

Wallaahu a’lam

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Islam Agama Cinta

Haidar Bagir Dewan Pembina Nuralwala Suatu kali, lebih dari setengah abad lalu, seorang dosen-perempuan muda berkebangsaan Jerman mengajar…