Diskursus tentang perempuan merupakan pembahasan yang tidak pernah ada habisnya untuk diperbincangkan. Perbedaan fungsi organ reproduksi antara laki-laki dan perempuan kerap menjadikan konstruk budaya tidak berpihak pada perempuan, sehingga diskriminasi kerap dialami oleh para perempuan, apapun latar belakang yang melingkupinya. Namun, ternyata ada suatu ruang yang dapat menjadi ruang aman bagi perempuan, yakni ruang sufistik yang terdapat dalam ajaran agama Islam. Guna menyebarkan gagasan ini, Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf mengundang Ibu Nyai Afifah Ahmad (seorang pengkaji sastra tasawuf, penulis, traveler, yang berdomisili di Iran) untuk menyampaikan paparan dengan tema “Tasawuf dan Perempuan” melalui ruang Zoom pada 13 Juni 2024.
Ibu Nyai Afifah membuka pembicaraan dengan menerjemahkan Nuralwala dalam bahasa Persia yang bermakna cahaya yang tinggi. Bapak Darmawan menjelaskan makna Nuralwala dalam bahasa Arab yang memiliki esensi makna yang sama dengan apa yang disampaikan oleh Ibu Nyai Afifah. Nuralwala yang dimaksudkan dalam label instansi ini diambil dari gelar Sayyidina Ali, yang disandarkan sebagai muara tasawuf seperti dalam keterangan pada kitab Kasyf al-Mahjub, tidak lain Nuralwala adalah orang yang terbakar di dalam api cinta.
Ibu Nyai Afifah membuka diskusi dengan menyampaikan fenomena-fenomena di mana perempuan kerap menjadi bagian dari masyarakat yang paling berdampak dari perubahan yang ada di masyarakat. Sebagai pintu masuk, Ibu Nyai Afifah memperkenalkan beberapa kitab yang berisikan tentang para perempuan sufi, dan para penulisnya adalah para laki-laki. Pertama, ada Abdurrahman Sulami dengan karyanya yang berjudul Thabaqaat al-Shufiyyah. Kitab ini menjadi buku rujukan para generasi selanjutnya karena ia secara khusus membuat satu bab khusus tentang para perempuan sufi. Kedua, ada Faridduddin Aththar dalam kitab Tadzkirah al-Awliya. Dalam kitab tersebut, Aththar sangat terbuka pada gender, ia bahkan mengatakan bahwa rijal itu bukan jenis kelamin, melainkan sebuah kedudukan atau maqam. Aththar tidak segan untuk menuliskan nama perempuan dalam karyanya, di mana saat itu budaya patriarki sangatlah kental; ia memberi pembelaan pada dirinya dengan menuliskan sebuah hadis yang mengatakan bahwa Tuhan tidak melihat hambanya berdasarkan shuwarikum, atau apa-apa yang tampak dari makhluknya. Ketiga, ada Abdurrahman Jami dengan karyanya yang berjudul Nafahaat al-Uns. Dalam karyanya ini, Abdurrahman menuliskan tentang salah satu perempuan sufi yang juga penyair, yakni Rabiah binti Ka’ab yang mati dalam kesalah fahaman karena cintanya pada Tuhannya disangka oleh kakaknya sebagai cinta kepada budak yang tidak sepatutnya Rabiah cintai. Abdurrahmah juga menuliskan nama Sya’wanah yang merupakan seorang pemain musik, juga seorang penyair, yang kerap menampilkan kelebihannya ini untuk kemudian dinikmati oleh para muridnya, baik laki-laki dan perempuan. Ibu Nyai Afifah menegaskan, jadi ada masa-masa yang menjadi bagian dari masa lampau, di mana patriarki sangat kuat, dan ada pula masa di mana patriarki tidak mendominasi, atau kehidupan saat itu sudah sangat modern bagi laki-laki dan perempuan.
Para perempuan sufi di masa lampau memiliki Futuwwat, yakni pola hubungan sosial yang berbasis persaudaraan, lebih dari sekedar memberikan sedekah atau infak, namun peduli terhadap berbagai persoalan orang-orang di sekitarnya dan mengupayakan bantuan dengan sungguh-sungguh. Sejumlah sufi perempuan menjadi pelopor dari aktivitas ini, sebut saja Ummu Ali. Mereka adalah para perempuan yang memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi.
Pada bidang keilmuan, para perempuan sufi juga menjadi tempat bertanya para sufi lainnya, baik laki-laki maupun perempuan, di sini ada Rabiah al-Adawiyah, Fatimah Nisyaburi, dan Fatimah Balkhi. Demikian pula pada ruang ibadah, karya dan relasi sosial. Ibu Nyai Afifah mengatakan, bahwa minimnya karya tulis yang dihasilkan oleh para perempuan sufi dikarenakan kondisi di mana mereka hidup tidak mendukung untuk mewujudkan hal tersebut, karena para penulis laki-laki pun dapat menghasilkan karya dengan segala keterbatasannya, baik karena keberadaan kertas, kegiatan yang mereka padat, dan lainnya. Kendati demikian, bukan berarti tidak ada satupun karya tulis dari perempuan sufi, kemudian Ibu Nyai Afifah menyebut sebuah nama yang dimaksud dalam kategori ini, yakni Hayati Kermani.
Ibu Nyai Afifah mengungkap realita bahwa dalam dunia tasawuf perempuan benar-benar mendapatkan kedudukannya dengan memaparkan ruang lingkup kehidupan Rumi yang menghadirkan para perempuan yang tidak kalah hebatnya sebagaimana laki-laki. Para perempuan tersebut terdiri dari sang istri, menantu, juga para muridnya, mereka adalah Gohar Khotun, Kara Khotun, Fathimah Khotun, Kimia Khotun, Fakhrun Nisa, dan Syekh Khotun. Sikap adil gender Rumi sangat tampak pada surat yang dikirim Rumi pada sang menantu Fatimah Khotun, untuk menguatkan jiwanya dan akan selalu berada di sisinya jikalau sang anak Rumi, yang juga suami Fatimah, memiliki perilaku yang mengecewakan menantu perempuannya tersebut.
Para perempuan sufi dalam kaca mata sejarah, seperti Rabiah al-Adawiyah memiliki perjalanan spiritual yang tidak main-main, seperti saat ia melaksanakan ibadah Haji. Dalam perjalanan tersebut, ia mengalami banyak cobaan, seperti keledainya yang mati, dan atas doanya, keledainya dapat hidup kembali; juga tentang bagaimana Kakbah yang menyambut kedatangan Rabiah karena penauhidan Rabiah yang semata-mata hanya pada-Nya. Nama selanjutnya yang Ibu Nyai Afifah sebutkan adalah Ummu Ali. Ummu Ali adalah seorang anak dari pembesar Balkh yang memiliki harta yang berlimpah. Ummu Ali adalah seseorang yang sangat dermawan, gemar bersedekah dan mengundang orang tidak mampu untuk jamuan makan. Hal menarik dari kisah hidup Ummu Ali yang menjadi pendobrak budaya patriarki adalah ia menjadi pihak yang melamar calon suaminya yang juga tokoh sufi pada masanya; mengikuti berbagai kelas keagamaan dan tafsir; ketika ia menyibak tabir antara laki-laki dan perempuan untuk melihat Bayazid Bustami dengan mengatakan bahwa apa yang perlu dikhawatirkan saat semua yang tampak adalah bentuk tajalli dari Tuhan semesta alam. Melihat para perempuan sufi dengan karakteristiknya ini, Ibu Nyai Afifah meminjam teori ruang sosial milik Pierre Bourdie, di mana untuk dapat hadir dan memberikan kontribusi dalam masyarakat, maka manusia memerlukan 4 modal dasar, yaitu budaya melalui pendidikan, sosial dengan membentuk komunitas, ekonomi melalui aset yang dimiliki, dan juga simbolik yang berupa keyakinan, moral dan status; dan para perempuan sufi yang disebutkan tadi memenuhi syarat dasar tersebut.
Ibu Nyai Afifah mengutip pandangan Rumi tentang perempuan yang dapat dikalsifikasikan menjadi empat bagian, yakni cinta sebagai basis pandangan dunia tasawuf, ruh sebagai substansi manusia, perempuan sebagai manusia berdaya, dan cerita Matsnawi tentang pengalaman khas perempuan. Ibu Nyai Afifah melatunkan puisi-puisi Rumi dalam bahasa Persia yang berisikan tentang perempuan tersebut dengan sangat lembut, seolah-oleh Rumi dari beberapa dekade ke belakang hadir kembali dalam forum Zoom ini di masa kini.
Merespon pertanyaan para audiens perihal kondisi Tasawuf di Iran dan hubungannya dengan perempuan, Bu Nyai Afifah memaparkan bahwasanya dalam dunia sufistik Iran, kondisinya mengalami pasang-surut. Tentang konsep dunia Tasawuf di Iran saat ini, dalam ruang akademisi, laki-laki dan perempuan memiliki pemikiran yang lebih terbuka tentang gender, namun tidak menafikan terdapat pula yang masih konservatif; namun untuk para pengikut tasawuf yang juga beraliran irfani, umumnya mereka memiliki pandangan adil gender yang baik. Di Iran, ada tidaknya pemisahan ruang antara laki-laki dan perempuan memiliki komunitasnya masing-masing. Hal ini tidak saja terjadi di Iran, melainkan terjadi pula di berbagai belahan dunia lainnya.
Sejarah mencatat bagaimana para perempuan sufi dan laki-laki sufi dapat memiliki pandangan adil gender di setiap masanya. Ibu Nyai Afifah menegaskan, mereka tentu mengalami penolakan-penolakan oleh pihak lain di masanya, namun hal tersebut tidak menyurutkan mereka untuk kokoh menjalankan substansi ajaran Islam berdasarkan penafsiran yang mereka fahami perihal relasi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan. Dalam tasawuf dan ‘irfan secara umum, perempuan dan laki-laki dapat sama-sama memiliki puncak spiritual; adapun berbeda dalam dunia tarekat, sangat jarang terdapat mursyid perempuan (seperti halnya Nabi dan Rasul) karena dalam tarekat, yang berbicara tidak saja soal pandangan, namun juga konteks sosial-budaya. Pada masa lampau, seorang mursyid dalam tarekat tidak saja seorang pemimpin spiritual, melainkan juga pemimpin perang dan lainnya, sehingga sangat tidak mungkin dilakukan oleh perempuan. Kendati demikian, Bu Nyai Afifah menegaskan, bahwasanya di zaman Rumi, Rumi pernah mengizinkan perempuan untuk menjadi pemimpin spiritual, yang kemudian memiliki banyak pandangan yang diberikan oleh para muridnya.
Paparan Bu Nyai Afifah ini sungguh sangat menyegarkan sebagai basis para pembaca yang berkenan untuk bertindak adil sebagaimana yang dilakukan para kaum sufi, khususnya dalam menjalin relasi yang sejajar antara laki-laki dan perempuan.