Instrumen dalam Berzikir: Tutorial Mengingat Allah saat Pendemi COVID-19
Oleh: Dayu Aqraminas
Direktur Ma’had Tarbiyah al-Mujahadah
Hampir di seluruh belahan dunia ini terjangkit virus COVID-19, termasuk Indonesia. Ketika saya menulis artikel ini (04/05/2020) sudah mencapai 11.192 jiwa, jumlah kalkulasi sebanyak ini sudah melewati rekor terbanyak di Asia Tenggara, karena begitu masif dan cepat dalam penularan virus. Salah satunya melalui interaksi sosial di setiap distrik, daerah dan kota di Indonesia.
Pada kondisi pendemi yang kita rasakan ini, banyak sekali aktivitas-aktivitas mulai dibatasi, kegiatan-kegiatan yang sifatnya berjama’ah (berkumpul) sudah dilarang. Bahkan dalam beribadah sekali pun yang memiliki unsur berjama’ah sudah dilarang oleh pemerintah.
Fenomena seperti ini bila tidak diatasi secara dini, maka menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat. Perlu solusi untuk menyelesaikan fenomena ini, baik dengan materi maupun non-materi-mental. Paling tidak Islam mengajarkan untuk tidak panik dalam situasi apapun karena Allah menjamin bagi makhluk-Nya yang selalu mengingatnya.
Dalam Alquran sudah memberikan jawaban, cara yang terbaik untuk menghadapi masalah adalah mengingat kepada-Nya. Mengingat Allah dalam tradisi Islam dikenal dengan istilah zikir. Hanya saja kesalahan yang terjadi di kalangan Muslim adalah mendefenisikan zikirhanya mengingat Allah secara vertikal melalui tasbīh, tahmīd dan takbīr. Padahal zikirkepada Allah juga berimplikasi kepada horizontal—berhubungan dengan manusia.
Kesalahan lainnya itu terjadi ketikazikirhanya dilakukan secara heteronomi. Maksudnya hanya dibatasi dengan regulasi yang sifatnya legal formal. Kasus ini kerap kali ditemukan yang membatasi berzikir setelah shalat, zikir dalam tahlilan, zikir dalam kegiatan lainnya. Padahal di dalam Alquran dijelaskan, “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah swt. zikir yang sebanyak-banyaknya”. (QS. al-Ahzāb [33]: 41)
Dalam kitab Haqā’iq al-Tafsīr karya al-Sulamī, ia mejelaskan bahwa melakukan zikir tidak perlu dispesifikasi waktu, tetapi berzikirlah dengan sebanyak-banyaknya. Dengan begitu melakukan zikir tidaklah heteronomi atau dependensi dengan suatu yang lain misalnya zikir hanya selesai shalat, zikir hanya di acara tahlilan, zikir hanya dalam kegiatan lainnya, tetapi melakukan zikir dengan sebebasnya. Konsekuensi dari membatasi zikir adalah lalai dan melemahkan hati untuk dekat kepada-Nya.
Terus bagaimana untuk bisa melakukan zikir sebanyak-banyaknya? Salah satu tutorial yang ampuh untuk bisa melakukan zikir sebanyak-banyaknya, seperti pribahasa “alah bisa karena biasa” kebiasaanlah yang menentukan seseorang akan konsisten (istiqamah) dalam berzikir. Kebiasaanlah yang mengubah zikirheteronomimenjadi otonom. Bila telah terlaksana, maka dengan sendirinya zikir menjadi taksīr(memperbanyak).
Lantas apa hubungannya pendemi ini dengan zikir? Tentu memiliki koherensi. Jawaban ini bisa ditemukan dalam al-Kasfu wa al-Bayān karya al-Tsa’labī. Beliau menghimpun pandangan ulama terkait interpretasi QS. al-Baqarah [2]: 152 “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”. Salah satu pandangan ulama yang dikutip oleh al-Tsa’labī, zikirlah dengan ekspresi yang kamu sukai, tentunya Allah akan mengingat dengan cara-Nya sendiri”. Ekspresi yang dimaksud sangatlah beragam, salah satunya mengingat Allah dengan berekpresi tathhīr (bersuci). Sepele sekali bukan?. Ternyata mencuci tangan yang merupakan bagian bersuci sudah menjadi instrument dalam berzikir kepada-Nya.