Meniti Jalan Hidup Nabi: Syarat Mereguk Cinta Ilahi

Oleh: Darmawan

Ketua Program Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf

Tanpa ada mata, kita tidak akan mampu melihat betapa indahnya alam semesta. Tanpa ada hidung, dipastikan kita tak akan pernah menikmati harumnya seberbak bunga melati nan wangi itu. Itulah hukum alam, yang selalu membutuhkan perantara. Demikian juga terjadi pada persoalan agama —dalam konteks ini untuk mereguk cinta Ilahi—membutuhkan perantara.

Perantara itu ialah jelmaan-Nya dalam rupa manusia sempurna yaitu Nabi Muhammad saw. Nabi ialah perantara paling paripurna untuk mengenali rahasia keindahan, kebesaran, keagungan, dan keinginan Tuhan. Tuhan lewat nabi-Nya menyampaikan kalam-kalam-Nya, yang kemudian kita kenal dengan Alquran dan Hadis.   

Alquran dan Hadis mempunyai kedudukan yang sama, yakni sebagai penjelas dan petunjuk kehidupan bagi umat manusia. Alquran adalah kalam Allah, sedangkan Hadis adalah kalam, tindakan, dan ketetapan dari Rasul-Nya yang bersumber dari Allah juga. “Dan Tidaklah dia berucap (tentang Alquran dan penjelasan yang disampaikannya) menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS.al-Najm 53: 3-4)

Saya menyakini bahwa seorang Muslim tidak akan pernah memahami syari’at Islam dengan benar jika hanya berpegang pada Alquran semata. Adakah di dalam Alquran yang menjelaskan shalat wajib lima waktu, shalat dhuhur empat raka’at, shubuh dua raka’at, mengeluarkan zakat fitrah 2,5 Kg, thawaf itu tujuh kali?

Semua pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab oleh Alquran. Karena sifat redaksi Alquran yang universal, maka dibutuhkan penjelas untuk memahaminya, sehingga pesan, moral, dan tujuan yang terkandung di dalamnya tersampaikan dengan baik kepada objek sasarannya. Dan penjelas Alquran itu ialah jalan hidup Nabi Muhammad saw. (Hadis Nabi)

Dengan demikian hadis atau jalan hidup Nabi menempati posisi penting dalam Islam. Sama juga untuk menggapai cinta-Nya, kita diwajibkan untuk mengikuti Nabi Muhammad saw. Allah berfirman, “Katakanlah: ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku (Nabi Muhammad saw.) niscaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosamu’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali Imran 3: 31).

Baca Juga:  Apakah Nasionalisme itu Bid’ah?!

Mengikuti Rasul atau jalan hidup Nabi itu bertingkat-tingkat. Ada perkara yang wajib diikuti dan pula sunnah untuk diikuti, bahkan ada juga yang haram untuk diikuti —seperti memiliki istri lebih dari 4 dalam satu waktu itu hanya boleh dilakukan oleh Nabi— semuanya itu ialah gerbang untuk mengetuk pintu cinta-Nya.

Jalan Nabi Muhammad saw. itu sebagai jalan monoteisme, jalan ketulusan, jalan kelembutan, dan jalan cinta; beliau diutus oleh Allah untuk mengatakan: “Katakanlah (Muhammad saw.): ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (seluruh manusia) kepada Allah dengan bashirah (bukti nyata yang bersifat rasional dan emosional), Maha Suci Allah dan bukanlah aku termasuk (golongan) orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf 12:108).

Kata Allah, jalan ketulusan ini hanya dapat ditemukan dalam jalan hidup Nabi Muhammad saw. “Kemudian, Kami menjadikanmu (Nabi Muhammad saw.) berada di atas suatu syariat (yakni ajaran agama; jalan yang sangat jelas, luas, dan mudah yang berupa bimbingan dan peraturan) tentang urusan (agama), maka ikutilah ia dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (kebenaran).(QS. Al-Jatsiyah 45:18) Dalam ayat lain disebutkan, “Dan bahwa ini adalah jalan-Ku, yang lebar lagi lurus, karena itu ikuti ia (Nabi Muhammad saw.)…(QS. Al-An’am 6: 153).

Penjelasan di atas menunjukan, jika kita semua benar-benar tulus kepada Allah dalam penghambaan, maka ikutilah syariat atau jalan cinta Nabi Muhammad saw.

Nabi dalam kesehariannya selalu memupuk persaudaraan, memupuk persatuan, menyambung silaturahmi (menyambung jalan cinta-kasih), membantu sesama, menolong yang kesusahan, memberikan nasehat-nasihat dengan penuh kebijaksanaan dan kesantunan tanpa merendahkan dan menggurui, nabi selalu mengajak bukan mengejek, nabi memberikan rahmat bukan melaknat, nabi selalu merangkul bukan memukul, nabi selalu tersenyum bukan manyun, nabi selalu memberikan penghormatan kepada siapapun walaupun berbeda pikiran atau keyakinan, nabi selalu membalas kebaikan walaupun terhadap orang yang menghina dan merendahkannya. Itulah jalan sang Nabi Cinta.  

Baca Juga:  Al-Qur’an sebagai Laku Spiritual (Bagian 3)

Maka dari itu, jika kita mengikuti Nabi Muhammad saw. dalam jalan ini (jalan cinta), maka Allah akan mencintai kita (baca; QS. Ali Imran 3: 31), artinya cinta kita akan mendapatkan respon positif dari-Nya.  Dengan demikian kita dengan Allah melalui perantara Nabi-Nya telah saling mencintai: keduanya menjadi pecinta dan keduanya menjadi dicintai berkat mengamalkan sunahnya.

Tingkatan saling mencintai antara makhluk dengan Khaliq digambarkan dalam sebuah Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui Abu Hurairah ra. bahwa Allah berfirman:

“Siapa yang memusuhi wali-Ku (kekasih Allah) maka telah Ku-umumkan perang atasnya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Ku-sukai daripada melakukan apa yang Ku-fardukan. Seseorang yang berusaha terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, pada akhirnya Aku mencintainya, dan kalau Aku mencintainya, menjadilah Aku pendengarannya yang dengannya ia mendengar, pernghilatannya yang dengannya ia melihat, tangannya yang dengannya dia bertindak, serta kakinya yang dengannya dia melengkah. Apabila dia memohon kepada-Ku akan Ku-kabulkan dan bila dia meminta perlindungan, pasti dia Ku-lingdungi” (HR. Imam Bukhari)

Semoga kita bisa istikamah menapaki jalan cinta Nabi Muhammad saw. (Nuralwala/DA)

0 Shares:
You May Also Like