Hukum Islam, sebagaimana yang dinyatakan dalam Ushul al-Fiqh (Islamic theory of jurisprudence), sangat adaptable dan fleksibel terhadap perubahan-perubahan selama hal tersebut mengacu kepada maqasid al-syariah, yakni untuk merealisasikan kemaslahatan umum. Satu kaidah hukum yang secara khusus berkenaan dengan hal ini sebagaimana dikemukakan oleh ushuliyyun, khususnya dari mazhab Hanafi, “Hukum bisa berubah bersamaan dengan berubahnya zaman dan tempat”.
Aly ibn Muhammad al-Jurjany membedakan antara urf dan adah sebagai berikut: al-urf, ma istiqarrat al-nufus bi shahadat al-uqul wa talaqqa al-taba’i bi al-qabul istamarra al-nas ala hukm al-uqul wa adu ilaih marrah ba’da ukhra (urf adalah sesuatu yang diyakini oleh jiwa melalui persetujuan atau persaksian akal dan kemudian diterima oleh akal sehat). Urf ini juga dikenal sebagai hujjah (dasar hukum).
Sementara itu, adat dimaknai sebagai sesuatu yang dianut atau dilaksanakan oleh masyarakat atas dasar pertimbangan rasional. Lihat: Aly ibn Muhammad al-Jurjany, Kitab al-Ta’rifat, (Beirut: Maktabat Lubnan, 1990 ). Untuk bahasan lebih lanjut mengenai hal ini, lihat: Ahmad Fahmy Abu Sinnah, al-Urf wa al-Adah fi Ra’y al-Fuqaha (t.t.: Matba’at al-Azhar, 1947).
Kata tempat dan waktu dalam kaidah itu dapat dipahami secara luas sebagai konteks sosial yang meliputi faktor ekonomi, sosial, politik, dan lainnya, terutama al-‘adah (customs) dan urf yang hidup di masyarakat. Adah dan urf dianggap sebagai faktor yang sangat menentukan pada perubahan hukum, bahkan dianggap sebagai sumber hukum dalam teori Hukum Islam (Ushul al-Fiqh).
Benar bahwa dalam susunan sumber-sumber Hukum Islam, khususnya dalam yurisprudensi Sunni, adah dan urf tidak disebutkan, melainkan hanya Al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Meski demikian, tidaklah dapat disangkal bahwa dalam sejarah Hukum Islam, sejak masa Nabi, tradisi-tradisi lokal dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat telah memerankan peranan yang penting dalam pembuatan hukum. Lihat: Gideon Libson, “On the Development of Custom as A Source of Law in Islamic Law,” dalam Islamic Law and Society, vol. 4 No. 2, Juni 1997.
Kaidah hukum lainnya yang cukup terkenal adalah al-adah muhakkamah (adat bisa menjadi hukum) sepanjang ia tidak kontradiktif dengan prinsip-prinsip umum Hukum Islam. Sejarah keilmuan Islam mencatat terdapat dua pola ber-ushul fikih, yakni ber-ushul fikih dengan jalan yang disepakati yakni Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i, dan pola kedua yakni yang tidak disepakati seperti pola yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.
Adapun untuk melihat permasalahan legislasi hukum Islam, maka alat ukur yang dapat digunakan menurut hemat penulis, adalah teori yang dibangun oleh al-Ghazali dan kemudian mendapatkan penelaahaan yang lebih lanjut oleh ash-Shatibi yakni teori maqashid al-syari’ah.
Secara lughawi (bahasa), maqashid al-syariah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan syariah. Maqashid adalah bentuk plural yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syariah secara bahasa berarti yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.
Ash-Shatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda berkaitan dengan maqashid al-syariah, seperti maq maqashid al-syariah, al-maqashid ash syar’ iyyah fi al-syari’ah dan maqashid min syar’i al-hukm. Namun, menurut hemat penulis, walau dengan kata-kata yang berbeda, kata-kata tersebut mengandung pengertian yang sama, yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah swt. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh ash-Shatibi sendiri yakni; “Syariah ini bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di akhirat dan dunia bersama”. Dalam ungkapannya yang lain, “Hukum-hukum disyariatkan untuk kemaslahatan hamba”.
Syahdan, jika ditelaah pernyataan al-Shatibi tersebut, dapat dikatakan bahwa kandungan maqashid al-syariah atau tujuan hukum adalah kemaslahatan umat manusia. Tidak ada satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan, karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan taklif ma la yutaq (membebankan sesuatu yang tak dapat dilaksanakan). Suatu hal yang tak mungkin terjadi pada hukum-hukum Tuhan. Fathi al-Daraini menjelaskan, bahwa hukum- hukum itu tidaklah dibuat untuk hukum itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan lain, yakni kemaslahatan.
Muhammad Abu Zahrah dalam kaitan ini juga menegaskan, bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Tak satupun hukum yang disyariatkan baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan. Ajaran maqashid al-syariah menurut Khalid Mas’ud adalah upaya memantapkan maslahat sebagai unsur penting dari tujuan-tujuan hukum. Kiranya tidak berlebihan apabila penulis katakan bahwa maqashid al-syariah berupaya mengekspresikan penekanan terhadap hubungan kandungan hukum Tuhan dengan aspirasi hukum yang manusiawi, adalah melalui jalan ijtihad jama’i. Wallahu a’lam bisshawab.