Maqashid Al-Syariah dan Kebebasan Berkeyakinan (2)
Al-Juwaini dalam Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh mengenalkan lima tingkatan maqashid, yaitu: (1). Keniscayaan (al-daruriyyat/essensial), (2) Kebutuhan publik (al-hajah al-ammah), (3) Perilaku moral (al-makrumat), (4) Anjuran-anjuran (al-mandubat), (5) Apa yang tidak dapat dicantumkan pada alasan khusus. Al-Juwaini menyatakan bahwa, maqashid hukum Islam adalah menjaga (al-ishmah) keimanan, jiwa, akal, keluarga dan harta.
Al-Ghazali (murid al-Juwaini) mengembangkan teori gurunya dan mengurutkan kebutuhan seperti berikut ini: (1) Agama, (2) Jiwa, (3) Akal, (4) Keturunan, (5) Harta. Jika al-Juwaini menggunakan istilah al-ishmah (penjagaan), maka al-Ghazali mengenalkan istilah al-hifdz (perlindungan).
Dalam implementasi praktis maqashid ini, al-Ghazali memiliki aturan fundamental yang didasarkan urutan kebutuhan bahwa kebutuhan pada tingkatan lebih tinggi harus mendapatkan prioritas di atas kebutuhan pada tingkatan lebih rendah, jika kebutuhan-kebutuhan tersebut menimbulkan implikasi yang bertentangan dalam kasus praktis.
Al-Syatibi membagi maqashid atau tujuan syariah menjadi tiga tingkatan. Pertama, maqashid primer (daruriyyat). Kategori ini merupakan kebutuhan pokok atau dasar yang harus ada. Jika tidak, akan mengancam kelangsungan hidup manusia. Ada kesepakatan umum bahwa perlindungan daruriat ini adalah sasaran dibalik setiap hukum Ilahi.
Kedua, maqashid sekunder (hajjiyyat/complementary). Kebutuhan manusia yang harus tersedia, tetapi jika tidak terpenuhi tidak sampai mengancam kelangsungan hidup manusia. Ketiga, maqashid tersier (tahsiniyyat/desirable). Maqashid tahsiniyyat ini merupakan kebutuhan yang sifatnya mewujudkan kenyamanan manusia. Jika tidak tersediapun, kehidupan manusia tetapi berjalan seperti biasa karena sifatnya yang memperindah maqashid pada tingkatan sebelumnya.
Maqashid al-daruriyyat ini dimaksudkan untuk menjaga lima hal pokok (disebut daruriyyat al-khamsah atau ushul al-khamsah), yaitu: Pertama, hifdhu al-din (protection of religion/memelihara agama), seperti larangan untuk murtad (QS. 5:217), kewajiban untuk berbuat baik dan menyiarkan (dakwah) agama. Belakangan, menjaga agama ini diinterpretasikan ulang sebagai kebebasan beragama (freedom of faith), berdasarkan ayat tiada paksaan dalam beragama (QS. 2:256).
Kedua, hifdhu al-nafs (protection of life/memelihara jiwa), seperti larangan untuk membunuh orang lain (QS. 4:29, 92, 5:32, 6:151, dan 17:31, 33). Dalam bahasa modern, perlindungan jiwa ini diterjemahkan menjadi hak untuk hidup. Ketiga, hifdhu al-aql (protection of intellect/memelihara akal), seperti larangan untuk makan atau minum atau menghisab yang berbahaya bagi otak manusia (QS. 2:219, 5:90, 4:43).
Perlindungan akal kini sudah berkembang dengan memasukkan pengembangan pemikiran ilmiah, perjalanan menuntut ilmu, melawan mentalitas taqlid, dan mencegah migrasi tenaga ahli ke luar negeri. Dalam konteks modern, perlindungan akal tidak hanya terbatas seperti itu. Dalam rumusan hak asasi manusia (HAM), perlindungan akal diwujudkan dalam bentuk kebebasan berekspresi (freedom of expression), atau kebebasan akademik (academic freedom) atau bahkan kebebasan beragama (freedom of religion).
Keempat, hifdhu al-nasl (protection of lineage/memelihara keturunan), yakni pada dasarnya perintah untuk menikah (QS. 4:3) dan larangan menikah dengan perempuan yang dilarang untuk dinikahi (ibu, saudara kandung, perempuan musyrik, dan lain sebagainya).
Secara aplikasi, tentu saja tidak cukup hanya demikian itu. Al-Amiri misalnya, mengembangkan teori ini dengan istilah hukuman bagi tindakan melanggar kesusilaan. Pada abad modern ini, perlindungan keturunan ini diaplikasikan dalam istilah perlindungan keluarga. Misalnya, Ibn Asyur menjadikan peduli keluarga sebagai maqashid hukum Islam.
Kelima, hifdhu al-mal (protection of property/memelihara harta); pada dasarnya larangan untuk mencuri (QS. 5:38), larangan mengkonsumsi makanan atau minuman dengan cara batil (QS. 2:188), larangan memakan harta riba (QS. 3:130). Rupanya, Jasser Auda juga mengembangkan istilah baru untuk mewakili perlindungan harta dengan, misalnya bantuan, pengembangan sosial ekonomi, distribusi kekayaan, masyarakat sejahtera dan lain-lain.
Akhiran, dari lima jenis kulliyyat al-khams di atas, ada dua aspek yang saling berhubungan, yaitu menjaga agama (hifdz al-din) dan menjaga akal (hifdz al-aqli). Menjaga agama (hidz al-din), menurut Jasser Auda, dimaknai yang sejalan dengan tuntutan HAM yaitu kebebasan beragama.
Makna ini tentu sebangun dengan menjaga akal (hifdz al-aqli), di mana menjaga dan melindung akal diberikan makna kontekstual seperti kebebasan berekspresi (freedom of expression), atau kebebasan akademik (academic freedom) atau kebebasan beragama (freedom of religion). Dengan demikian, tak ada ketegangan makna dan nilai antara maqashid al-syariah di satu sisi dan HAM di sisi lainnya. Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.