Belajar Mencintai Sesama dari Kisah Para Bijak Bestari

Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang. Ajarannya tidak hanya mencakup sesama umat muslim saja, tapi juga merambah kepada seluruh umat manusia bahkan semua makhluk hidup. Hal ini, didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, yang memiliki arti: “Kasih sayang itu tidak terbatas pada kasih sayang salah seorang di antara kalian kepada sahabatnya (mukmin) saja, tetapi bersifat umum (untuk seluruh umat manusia dan semesta)”.

Dari hadis di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwa Islam sangat menjunjung kasih sayang, maka secara otomatis tertolak anggapan bahwa Islam itu mengajarkan kekerasan dalam beragama. Dari ihwal ini, sebagai umat muslim, tentu kita haruslah mencontoh pada apa yang telah diperintahkan Nabi dan yang diamalkan oleh para sahabat, yakni tentang kasih sayang kepada sesama.

Kasih sayang merupakan akhlak mulia yang disukai oleh Allah. Berbalik dengan kasih sayang, Allah sangat membenci kepada manusia yang tidak memiliki rasa belas kasih kepada sesama. Bahkan Nabi pernah menegaskan tentang hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban: “Rasa kasih sayang tidaklah dicabut melainkan hanya dari orang-orang yang celaka”.

Maksud dari orang celaka dalam hadis di atas adalah orang-orang yang tidak memiliki belas kasih. Di sinilah perlunya kita memikirkan tentang diri kita, apakah kita telah menjadi manusia yang memiliki belas kasih, atau bahkan kita belum sama sekali memilikinya. Utamanya, bagaimana keadaan hati kita kepada orang lain yang sedang tertimpa musibah. Apakah hati kita tergerak untuk sejenak mengulurkan tangan tanda ingin membantu, atau tidak?

Berkaitan dengan kasih sayang ini, ada sebuah cerita tentang hamba dari Bani Israil dengan gundukan pasir yang tertulis dalam terjemahan kitab yang bertajuk ushfuriyah gubahan ulama alim yang bernama Syekh Muhammad bin Abu Bakar al-Ushfuri cetakan DIVA Press, bunyi kisahnya adalah sebagai berikut:

Baca Juga:  Legislasi Hukum Islam: Ushul Fiqh Sebagai Metodenya (1)

“Dikisahkan, dulu ada seorang hamba dari Bani Israil yang sedang berjalan di atas gundukan pasir. Kala itu, kondisi Bani Israil sedang dalam keprihatinan, yakni sedang mengalami krisis pangan. Kemudian hamba tersebut bergumam dalam hati dan berandai-andai, ‘Seandainya pasir ini adalah tepung, maka sungguh dapat mengenyangkan perut Bani Israil’.”

Mengetahui hal tersebut, maka Allah langsung menurunkan wahyu kepada salah satu Nabi Bani Israil agar berkata kepada fulan atau hamba yang bergumam, “Sesungguhnya, Allah memastikan pahala untukmu wahai fulan, jika pasir ini menjadi tepung dan engkau bershadaqah dengannya.”

Ungkapan terakhir dari penulis adalah barangsiapa yang mencintai hamba Allah, maka Allah akan mencintainya. Oleh karena itu, ketika hamba dari Bani Israil tersebut mencintai hamba-hamba lain, meskipun hanya dengan pengandaian, “Seandainya gundukan pasir ini adalah tepung, maka sungguh dapat mengenyangkan orang-orang,” maka ia memperoleh pahala sebagaimana seandainya ia melakukan secara nyata. Subhanallah.

Walhasil, dikatakan niyyatul mukmin khairun min amalihi, niat seorang mukmin itu lebih baik dari amalnya. Tentu, niat yang dimaksud adalah niat yang sebenarnya ingin diamalkan, namun dikarenakan sebuah hal, tidak kunjung juga mampu diamalkan.

Cinta adalah anugerah dari Allah yang bisa berkurang dan bertambah. Cinta berkurang, dapat terjadi ketika kita terlampau lama membiarkan sanubari kita mengeras dan membeku. Di saat orang-orang di sekitar kita membutuhkan uluran tangan dan kasih sayang kita, kita justru acuh dan membiarkannya berlalu begitu saja. Lama kelamaan, hal semacam ini dapat menjadikan hati menjadi keras. Sehingga kita tidak sensitif terhadap permasalahan yang ada di sekitar.

Previous Article

Legislasi Hukum Islam: Ushul Fiqh Sebagai Metodenya (2)

Next Article

Menelisik Gagasan al-Wahdah al-Muthlaqah Ibnu Sab’in

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨