Apa Makna Ramadhan sebagai Nama Allah? Menafsir dalam Perspektif Ibn al-‘Arabi

Oleh: Haidar Bagir

Pengasuh Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf

Ramadhan sesungguhnya adalah salah satu dari nama-nama Allah. Maka, sebutan bulan Ramadhan maknanya adalah bulan Allah. Gagasan tentang “Ramadhan” sebagai nama Allah ditegaskan dalam beberapa hadis, baik yang diriwayatkan dalam mazhab Ahlus-Sunnah maupun Syiah:

“Jangan menyebut bulan puasa dengan ‘Ramadhan’ (saja) karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan’”. (HR. Al-Baihaqi, Adz-Dzahabi, Ibnu ‘Adi, Ibnu Katsir)

“Ramadhan” berasal dari kata “ramadh” yang berarti “panas terik”. Jika diasalkan kepada kata “ramadhiy” istilah ini malah bermakna “hujan di akhir musim, sebelum tibanya musim panas”.

Bulan suci ini disebut Ramadhan karena—menurut pemahaman umum—ini adalah bulan yang menjadi sarana membakar dosa-dosa manusia.

Tapi apa makna kata “Ramadhan” jika dikaitkan dengan Allah sebagai salah satu namanya? Sifat Allah yang mana yang diwakili oleh istilah ini?

Ibn al-‘Arabi dalam penjelasannya dalam Al-Futuhat, antara lain, mengatakan bahwa dicegahnya nafsu-nafsu makan, minum, hubungan suami isteri, dll bagi orang yang berpuasa sesungguhnya telah menimbulkan gejolak panas dalam diri manusia. Yakni yang timbul dari gesekan akibat upaya keras menahan/melawan semua hawa nafsu itu. Jadi, panas dalam konteks ini adalah wujud “penderitaan” yang timbul akibat menahan nafsu.

Saya pun mencoba mengait-ngaitkan gagasan Ibn al-‘Arabi ini dengan gagasannya tentang neraka. Neraka yang akan ditimpakan Allah kepada manusia-manusia yang zalim, hakikatnya adalah api yang panas. Yang dirasakan oleh si pendosa akibat proses pembersihan dosa-dosanya. Sebagai demikian, ia adalah sumber siksa (‘adzaab). Tapi, pada saat yang sama panas api neraka adalah bagian dari rahmat Allah swt. Dalam surat al-Rahman, neraka Jahannam dan siksaan panasya disebut sebagai aalaa’ (karunia atau nikmat) (lihat: QS al-Rahmaan [55]: 41-45).

Baca Juga:  Hermeneutika Sufistik Al-Ghazali atas QS. Adz-Dzariyat 51:56

Sejalan dengan itu, kata ‘adzaab berakar kata ‘ayn-dzal-ba’, yang juga bisa membentuk kata ‘adzb maknanya rasa manis yang menyegarkan (baca: QS. Al-Furqan 25:53). Artinya, menimpakan penderitaan bahwa rupa rasa panas yang bersumber dari api neraka adalah bagian dari kasih sayang Allah untuk membersihkan manusia yang berdosa, ketika manusia sudah tak bisa beramal untuk membersihkan dosanya sendiri.*) Bukankah amal hanya bisa dilakukan di dunia, sedang siksa—di barzakh atau akhirat —ditimpakan setelah manusia mati? Maka neraka yang panas itu sesungguhnya adalah semacam purgatorio, atau kawah penyucian. Agar pada akhirnya manusia yang masih kotor oleh dosa bisa disucikan kembali, dan merasakan ‘adzaab sebagai ‘adziib, lalu merasakan kebahagiaan abadi.

Jadi seperti panas yang diderita oleh orang yang berpuasa adalah tebusannya untuk membersihkannya dari dosa, maka panas neraka adalah untuk membersihkan dosa-dosa juga, setelah amal-amal pembersih dosa tak bisa dilakukannya lagi. Dari sinilah makna umum Ramadhan sebagai bulan penggugur dosa-dosa kiranya berasal. Sedang sebagai nama Tuhan, Ramadhan berarti sifat-Nya yang menimpakan ‘adzaab panas api neraka dengan maksud membahagiakan manusia pada akhirnya. Dalam kaitan ini, makna Ramadhan sebagai hujan di akhir musim sebelum musim panas makin menegaskan bahwa penderitaan itu adalah bagian dari rahmat, sebagaimana hujan adalah rahmat.

Wa-Allah a’lam

Catatan kaki:

*Sambil lalu (pembahasan yang lebih rinci ada di tulisan saya yang lain), saya sampaikan bahwa saya sendiri ikut pandangan bahwa siksa neraka itu tidak abadi, meski neraka itu abadi

0 Shares:
You May Also Like