Berawal dari teman-teman Gusdur (K.H. Abdurrahman Wahid) yang banyak mengatasnamakan diri sebagai pencinta NU (Nahdlatul Ulama). Kendati demikian, hal ini dipicu oleh banyaknya anak-anak muda yang secara lahan-perlahan sudah melupakan apa itu “khittah” (garis) para ulama-ulama pendiri NU.
Tentunya, berbicara tentang khittah, yang patut disebut di sini adalah, Dr. DR. Fahmi Saifuddin, sosok pemuda yang sangat dihormati oleh Gusdur dan ia juga sangat menghormati Gusdur. Tak hanya Fahmi Saifuddin, ada juga Mahbub Djunaidi, Slamet Efendi Yusuf, Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Tolhah Hasan semuanya berkumpul melakukan proses khittah, yang kemudian dirumuskan menjadi “Khittah Nahdlatul Ulama”, salah satunya dengan cara mewawancarai para ulama-ulama dan sesepuh NU saat itu.
Kita tahu, di masa Soeharto, organisasi-organisasi kepemudaan seperti, Marhaen, Ansor, Banser dan lainnya dirangkul dalam satu bentuk organisasi yang bernama KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia). Pun juga dengan organisasi perempuan-perempuan seperti halnya organisasi Muslimat, Aisyiyah dan lainnya dirangkul dalam satu wadah.
Bahkan organisasi Islam dan kemasyarakatan seperti NU, Muhammadiyah, Perti, Parmusen, dan organisasi lainnya juga demikian dalam satu wadah yaitu MUI (Majelis Ulama Indonesia). Rupa-rupanya partai-partai yang lain demikian juga dibentuk satu yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Meski saat itu PPP mayoritas didominasi oleh orang NU, namun pemimpin yang ditunjuk-pilih oleh Soeharto bukan dari kalangan NU. Artinya, semua yang memilih para pemimpin (ketua) adalah Soeharto sendiri. Tidak lain tujuannya adalah agar Soeharto lebih mudah mengawasi dan memantaunya.
Alih-alih semua partai-partai disatukan, semuanya dimanfaatkan sedemikian rupa, sehingga orang seperti Kiai Idham Chalid merasa kebingungan. Bagaimana tidak? Peran dan tanggung jawab NU bukan hanya menyangkut urusan politik saja, tapi juga ada misi dakwah, pendidikan tak terkecuali upaya dalam menghentas kemiskinan-kemiskinan dan keberpihakan kepada kaum mustad’afin (lemah dan tertindas).
Kendati demikian, waktu berjalan, akhirnya mereka (para ulama) mengadakan Musyawarah Nasional Alim Ulama (MUNAS) dan Konferensi Besar (KONBES) perkiraan tahun 70-an, menginginkan kembalinya ke khittah, agar yang dikuasai oleh Presiden Soeharto hanya politiknya saja. Karena itu, tak heran ketika MUNAS dan MUKTAMAR di Situbondo, konsep khittah Gusdur langsung diterima oleh khalayak masyarakat.
Pertanyaannya sekarang bagaimana dengan sembilan butir khittah? Khittah adalah rumusan dari para pendiri NU (Th 1926) tentang bagaimana kaum nahdliyyin berperilaku dan bertindak dengan baik. Meminjam istilah Gusdur “Humanisme”. Adalah sikap hidup yang demokratis dan etis yang menegaskan bahwa manusia memiliki hak dan tanggung jawab, untuk memberikan “makna” dan “bentuk” pada kehidupannya sendiri.
Tentang perilaku (akhlak dan sopan santun) misalnya, kita bisa melihat dari kiai-kiai seperti, Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Muhid Muzadi, Gusdur dan kiai-kiai lainnya. Memandang sesuatu secara proporsional, istilah kita kaum nahdliyyin adalah “tawassuth” terlebih dahulu baru kemudian “i’tidal”. Jelasnya, tidak berlebihan dalam segala hal sehingga bisa bergaul/berkumpul dengan siapapun. Terlebih, menganggap Indonesia sebagai rumah dan yang berada di dalamnya dianggap sebagai saudaranya.
Namun demikian, kita tahu bahwa yang namanya Indonesia, jangankan khittah, agama pun terkadang dipakai untuk berpolitik (dan demi kepentingan politik), sehingga khittah juga bernasib demikian. Bahkan lucunya, sebagian partai-partai menganggap dirinya khittah (merasa paling ber-khittah) meski perilakunya belum khittah.
Meski keberagaman di Indonesia sangat beragam, ada yang kefiqh-fiqhan, ketasawuf-tasawufan, ketauhid-tauhidan, kehadits-haditsan, kequr’an-qur’anan, bahkan ada yang keakal-akalan. Idealnya, beragama itu harus memadukan baina al-ashalah wa al-mu’asharah (antara autentisitas dan kekinian), antara tauhid, tasawuf, dan fikih, wahyu dan akal, masa lalu dan masa depan, idealitas dan realitas, dan antara ketuhanan dan kemanusiaan.
Dengan ini, agama yang pada awalnya dipakai untuk kepentingan politik belaka, (mungkin) akan berubah menjadi khittah politik di jalan yang benar (ada pada garis-garis Ahlus Sunnah wal Jama’ah). Mengingat, beragama yang kefiqh-fiqhan cenderung normatif, dan kaku. Demikian pula beragama yang terlalu ketasawuf-tasawufan akan cenderung a-historis, tidak aplikati dan tidak menyentuh kebutuhan masyarakat. Apalagi dengan ketauhid-tauhidan, sudah pasti cenderung bathiniyah, a-sosial, dan lebih bahaya jika terjurumus pada “tadlily dan takfiry” suka meyesatkan dan mengkafirkan. Wallahu a’lam bisshawab.