Islam: Antara Universalitas dan Partikularitas

Universalisme Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam terlihat jelas dalam bentangan panjang perjalanan sejarah dan perkembangan kebudayaan umat manusia. Sebagai agama yang membawa misi kemanusiaan universal, sudah selayaknya umat Islam berperan aktif mewujudkan watak kosmopolit peradaban Islam yang sudah dirintis oleh para pemikir dan intelektual masa klasik Islam. Tantangan dan upaya mewujudkan peradaban kosmopolit tersebut kini membentang di era kontemporer. Era global yang ditandai dengan kemajuan di bidang sains dan digitalisasi ide, gagasan, dan aksi yang massif membuat sosialisasi pemikiran berjalan hampir tanpa kontrol.

Persoalan mengemuka ketika Islam menyebar ke berbagai daerah yang berbeda dengan kondisi geografis pada awal kemunculannya. Islam harus bersentuhan dengan pengetahuan lokal dan kearifan lokal di berbagai belahan dunia. Diperlukan upaya yang serius dalam mensinergikan antara nilai-nilai universal Islam dengan realitas sosio-kultural yang tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dalam konteks keindonesiaan, upaya ini sebenarnya telah dirintis oleh Abdurrahman Wahid dengan pikiran-pikiran cerdasnya. Gagasan kearifan lokal dalam upaya mendialogkan Islam dengan realitas keindonesiaan yang plural dan multikultural. Jejak pemikiran kosmopolitan Gus Dur dengan demikian telah mengisi lembaran sejarah perkembangan peradaban kosmopolit Islam di pentas global.

Islam Antara Universalitas dan Partikularitas

Agama adalah sistem norma yang berasal dari Tuhan yang terdiri dari seperangkat aturan dan diperuntukkan bagi kemaslahatan umat manusia. Sebagai norma dari Tuhan, kebenaran agama bersifat mutlak dan universal. Berbeda dengan agama, kebudayaan merupakan hasil kreasi dan upaya manusia dalam memaknai realitas sosial di sekitarnya. Sebagai hasil kreasi manusia, maka sifat kebudayaan adalah selalu berubah seiring dengan perkembangan zaman.

Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Akan tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi, dan tidak mengenal perubahan. Sementara kebudayaan bersifat partikular, relatif. Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.

Baca Juga:  Pentingnya Bermusyawarah: Meredam Konflik (Bagian 1)

Islam merupakan salah satu dari sekian agama yang ada di dunia yang turut menyumbang bagi perkembangan peradaban umat manusia. Dalam beberapa kajian studi agama, paling tidak terdapat dua dimensi dalam memahami Islam. Pertama, ada yang memahami Islam sebagai sebuah entitas yang terdapat di luar sejarah perkembangan umat manusia. Karena berada di luar sejarah, kelompok ini memahami Islam sebagai melampaui sejarah. Pemaknaan Islam tidak terkait sama sekali dengan sejarah, kebenaran yang dibawanya bersifat final dan tidak dapat diotak-atik atau ditafsirkan. Pemaknaan Islam model ini bersifat normatif-tekstual.

Kedua, ada yang memahami bahwa Islam lahir, hidup, dan berkembang dalam lingkaran sejarah yang selalu berubah-ubah dan dinamis. Islam, dalam pemahaman kelompok ini, bersifat universal dan sekaligus juga memiliki dimensi partikular. Islam ikut memaknai sejarah dan bergumul serta ikut menafsirkan sejarah. Dengan demikian, Islam tidak melangit, tetapi membumi. Karena membumi, maka Islam akrab dan ikut proaktif dengan penyelesaian persoalan-persoalan kemanusiaan. Pemaknaan Islam model ini bersifat historis-kontekstual.

Syahdan, interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama, agama memengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya. Nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan, misalnya bagaimana shalat memengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat memengaruhi simbol agama, misalnya bagaimana kebudayaan Indonesia memengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan. Ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan simbol agama.

Sebenarnya agama dan kebudayaan memiliki dua persamaan, yaitu keduanya adalah sistem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara tradisi merupakan ekpresi cipta, karya, dan karsa manusia yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal.

Baca Juga:  Soal Kebutuhan Orang Modern terhadap Keimanan

Dimensi universalitas Islam terlihat dalam berbagai aspek keilmuan yang dirumuskan oleh para ulama dan intelektual Islam klasik. Al-Qur‘an sebagai referensi utama dalam merumuskan dunia yang berkeadaban tenyata mengandung dimensi tafsir yang tidak tunggal. Disiplin keilmuan ushul fiqih misalnya, para ulama ushul fiqih menemukan berbagai macam ayat yang tidak sama pemaknaannya. Dari sini mereka mengategorikan ayat-ayat dalam Al-Qur‘an dengan istilah mukamat, mutashabihat, am, khas, mutlaq, muqayyad, dan seterusnya.

Tentunya, pembagian seperti ini dapat kita jumpai dalam disiplin keilmuan fiqih. Para ulama fiqih membagi dimensi hukum Islam dalam dua kategori yakni ibadah mahdah dan ghairu maḥḍah. Ibadah maḥḍah adalah ibadah yang terkait dengan ibadah yang bersifat prinsip dan dasar seperti perintah salat, zakat, haji dan sebagainya. Ayat-ayat yang menunjukkan tentang perintah ibadah tersebut bersifat qah’i (tegas). Sementara ibadah ghairu maḥḍah adalah ibadah yang terkait dengan relasi sosial (muamalah) antara umat manusia. Ibadah maḥḍah ini memiliki dimensi yang sangat luas karena menyangkut relasi sosial yang kompleks. Ayat-ayat yang terkait dengan kategori ibadah ini pun bersifat dzanni (multitafsir).

Bahkan, kategorisasi seperti di atas juga dapat ditemukan dalam disiplin keilmuan teologi atau tauhid. Disiplin teologi pada awalnya melahirkan dua aliran besar, Qadariyah dan Jabariyah. Qadariyah adalah paham teologi yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan atas dirinya sendiri dan tidak tergantung dari faktor eksternal dalam mewujudkannya. Aliran Qadariyah lebih mengandalkan kekuatan akal dalam merumuskan pemikiran, ide, dan gagasannya. Karena memiliki kemampuan dan kehendak bebas, maka manusia berhak menafsirkan dunia melalu kekuatan akalnya. Berbeda dengan Jabariyah yang kebalikan dari aliran Qadariyah. Jabariyah merupakan aliran teologi yang menyatakan bahwa manusia adalah majbur (terpaksa). Manusia tidak memiliki kehendak yang bebas dalam segala tindak tanduk dan langkahnya. Dengan demikian manusia dikendalikan oleh faktor eksternal di luar dirinya.

Baca Juga:  BAGAI DAUN-DAUN KERING DITERBANGKAN ANGIN DI MAKKAH DAN MADINAH (4)

Akhirnya, dari sini kita bisa tahu bahwa, disiplin keilmuan Islam lain yang turut andil dalam pemaknaan antara dimensi universalitas dan partikularitas Islam adalah dalam ranah tasawuf. Tasawuf identik dengan pencarian kebenaran melalui pemaknaan teks secara substantif. Pemikiran tasawuf tidak terjebak pada penafsiran teks lahiriah semata, melainkan tasawuf lebih menekankan pada aspek esoterik atau kedalaman spiritualitas batiniah dari keberagamaan Islam. Sebagai antitesis dari pemaknaan fiqih yang bersifat tekstual, kaku, dan cenderung hitam putih, tasawuf bisa dikatakan menawarkan pemaknaan yang lebih kontekstual dan terlepas dari jeratan makna teks yang memang multitafsir dalam beberapa segi artinya.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Lingkaran Setan

Hawa nafsu yang tidak kita kendalikan akan memicu perbuatan yang buruk. Perbuatan buruk tersebut berdampak pada timbulnya waham…