Kisah Haji Para Perempuan Sufi
“Kamu sudah berhaji?”, kata salah seorang teman perempuan Irani di sebuah senja saat kembali dari kelas Rumi. “Belum, kamu gimana?”, saya tanya balik. “Ya, saya pernah beberapa kali ke Makkah, namun perjalanan haji terindah saya setelah mengenal dunia ‘irfan dan tasawuf”, matanya berembun dan kata-katanya bergetar. “Semoga, suatu hari kamu juga bisa ke sana.” Saya mengaminkan dengan sepenuh hati.
Dulu, saya tidak terlalu memahami perkataan teman saya itu. Belakangan setelah berkenalan dengan pemikiran tasawuf, pelan-pelan mulai kembali mencernanya. Para sufi selalu memaknai ibadah dan ritual agama dengan cara pandang batiniah yang menyentuh relung terdalam manusia.
Terdorong oleh rasa ingin tahu tentang bagaimana catatan haji para sufi, terutama sufi perempuan, hari-hari ini saya membuka kembali buku-buku biografi tokoh klasik dari Dzikrun an-Niswatul Muta’abbidah yang ditulis oleh ‘Abdurahman Sulami, Tadzkiratul Auliya milik Athar, Nafhatul Uns yang ditulis ‘Abdurahman Jami sampai buku Rabiah Adawiyah karya ‘Abdurrahman Badawi.
Dari penelusuran tersebut, saya menemukan beberapa catatan menarik meskipun sangat terbatas. Karena, sebagaimana kita mengetahui, sejarah sosial kemanusian pernah berada di bawah bayang-bayang patriarki dalam periode yang cukup lama, sehingga ruang kehadiran perempuan begitu sempit dan terbatas. Ini tidak hanya terjadi dalam masyarakat Islam, namun seluruh dunia.
Namun, di tengah segala keterbatasan, ada sejumlah perempuan yang mencari celah untuk tetap bisa belajar dan mengaktualisasikan dirinya. Maka, sebagai bentuk apresiasi, kita akan mengenang dan belajar perjuangan mereka, begitu juga apresiasi kita sampaikan kepada para sufi dan penulis biografi laki-laki yang memiliki keberanian menyertakan nama-nama sufi perempuan. Sehingga kita bisa mengenal mereka sampai hari ini.
Sulami, di antara penulis biografi yang paling banyak memberikan informasi. Meskipun penjelasannya masih bersifat historis dan deskriptif, namun sangat membantu para peneliti berikutnya untuk menganalisis dan memetakan posisi para perempuan sufi dari aspek keilmuan, karya, kemanusiaan, atau pun ibadah. Kali ini, saya hanya akan menuliskan salah satu aspek ibadah, terutama terkait bagaimana para sufi perempuan berhaji.
Catatan menunjukkan, ada beberapa sufi perempuan yang meninggal saat sedang melakukan ibadah haji, misalnya Fathimah Nisyaburi dan Tuhfeh Majnun. Dua sosok dengan latar dan karakter yang berbeda, namun keduanya sama-sama mereguk akhir kehidupan yang indah. Fathimah Nisyaburi, sosok yang tidak asing dalam sejarah tasawuf, perempuan yang mendapat sanjungan dari Bayazid Bastami dan tempat bertanya Dnunnun al-Misri. Sedangkan Tuhfeh adalah seorang budak yang karena sering melantunkan syair-syair di luar pemahaman manusia biasa, ia sering dianggap gila. Namun, orang-orang yang memahami ilmu tasawuf, seperti Jami, melihatnya sebagai syair-syair lantunan cinta Tuhan saat seorang sufi sedang dalam fase ‘mabuk’. Tuhfeh, setelah mendapat kemerdekaannya ia menunaikan haji dan meninggal di Tanah Suci.
Nama lain yang muncul dalam catatan haji, Malikah istri Hasan bin ‘Ali Hayawiyyah. Ia mendapatkan kesempatan haji bersama suaminya. Seperti tradisi banyak kaum sufi, ketika melakukan perjalanan, ia singgah dari satu kota ke kota lainnya. Dalam sebuah persinggahan, seorang alim berkata kepada suaminya: “Istrimu memiliki kedudukan lebih baik darimu”, Hasan sulit mempercayai kata-kata tersebut sampai pada suatu waktu, Malikah memberikan seluruh sisa uang yang dia miliki kepada para peziarah dari negara Afrika, padahal tak sedikit pun bekal tersisa. Barulah suaminya mengerti ucapan orang alim tadi. Jadi, tradisi bersedekah sebelum berhaji maupun saat berhaji sebenarnya memiliki akar sejarah dalam tradisi tasawuf.
Di antara para perempuan sufi yang berhaji itu, ada juga yang namanya tidak diketahui. Misalnya, laporan Jami dalam bukunya menyebutkan, Dzunnun melihat seorang sufi perempuan yang sedang thawaf mengelilingi Ka’bah sembari melantunkan syair-syair ketuhanan dengan penuh kecintaan. Sedangkan Athar Nisyaburi dalam catatannya menyebutkan, ada seorang sufi perempuan yang pergi berhaji bersama suaminya. Di sepanjang perjalanan, mereka menjumpai para ulama dan kekasih Tuhan. Ini juga, salah satu tradisi persaudaraan yang menarik yang melekat dalam ibadah haji.
Adapun catatan haji Rabiah Adawiyah adalah yang paling heroik di antara para sufi lainnya. Disebutkan dalam beberapa sumber, baik dalam karya Sulami maupun Athar Nisyaburi, Rabiah melakukan haji selama beberapa kali.
Pertama, ia menunaikan ibadah haji sebagaimana kebanyakan muslim lainnya, mengambil berkah dari rumah Ka’bah dan ziarah ke makam Rasul saw. Ia hanya merasakan praktik tradisi keislaman dan menghidupkan permulaan keimanan. Dalam perjalanan ini, ia belum menyesap pengaruh batin yang kuat dalam perjalanan hajinya.
Kedua, ia melaksanakan haji dengan melewati kesulitan yang hebat. Ada yang menyebutkan 7 tahun, namun jumlah hanya simbol, tetapi titik tekannya pada tingkat kesulitan yang ia lewati. Bahkan, ada satu riwayat mengatakan di perjalanan itu, keledainya mati. Ia berdoa dan hanya meminta pertolongan kepada Allah sehingga menemukan jalan sampai ke Ka’bah.
Ketiga, ia kembali dengan menghilangkan seluruh simbol-simbol yang melekat dalam perjalanan haji, bahkan simbol Ka’bah sekali pun. Diriwayatkan oleh Sulami maupun Athar, ketika hendak mendekati kota Makkah, Ka’bah lah yang menyambutnya. Alih-alih ia bahagia karena penyambutan ini, ia malah bertanya: “Untuk apa rumah, aku hanya menginginkan pemilik rumah ini?” Kata ‘Abdurrahman Badawi, jika memang riwayat ini benar, Rabiah sudah sampai pada makam tertinggi yang bahkan di antara tokoh-tokoh tasawuf di era itu dan setelahnya sulit menemukan padanannya. Mungkin hanya Al-Hallaj yang berani mendemonstrasikan secara terang-terangan. Di sinilah makna puncak haji tertinggi dalam pandangan tasawuf, membuang segala simbol, bahkan Ka’bah itu sendiri.
Barangkali, memang tidak mudah untuk bisa memahami pesan terdalam dari haji. Namun sesungguhnya, kita bisa meningkatkan kualitas ritual haji dengan mulai melakukan berbagai kebaikan yang juga dicontohkan oleh para perempuan sufi, tradisi menolong kepada sesama jamaah, bersedekah, belajar dari orang-orang yang kita jumpai, dan tentu saja mengkhalwatkan diri di tengah lautan manusia dengan untaian cinta kepada-Nya.