Sewaktu usia SD sampai remaja kita belajar mengendarai sepeda, berenang, dan beberapa keahlian lainnya sebagai pembentukan fisik agar tumbuh sehat dan kuat. Kemudian kita juga bersekolah, mulai belajar membaca, menulis, menghitung sebagai dasar ilmu untuk persiapan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Kita juga berinteraksi sosial baik dari lingkungan keluarga, tetangga dan teman-teman sekolah. Dari pengalaman-pengalaman di atas, kita mendapat ilmu, keterampilan, kebiasaan sebagai bekal dalam bermanfaat bagi sesamanya dan alam sekitar.
Setelah beranjak dewasa dan sampai sekarang, keterampilan, ilmu tersebut telah berjasa mengantarkan perjalanan hidup kita. Dengan bersepeda rutin membuat jasmani kita menjadi sehat dan berstamina yang prima. Begitu juga, dengan berenang maka kapasitas paru-paru akan lebih besar dalam menyerap oksigen, sehingga tubuh memiliki daya tolak maksimum terhadap penyakit. Internalisasi olah raga telah terjadi dalam tubuh sampai kita mendapatkan manfaat yang banyak untuk kehidupan.
Demikian juga dengan membaca menulis dan menghitung yang telah berjasa dalam hidup ini. Karena dengan membaca, banyak pengetahuan yang diperoleh yang menjadi solusi atas masalah-masalah yang ada. Menulis adalah bentuk penuangan atas ilmu, pengalaman dan hikmah yang kita miliki sehingga menjadi saksi, bukti dan sejarah yang bisa dibaca oleh penerus kita. Adapun menghitung selalu dipakai ketika berbisnis, berinteraksi dengan masyarakat sehingga membentuk logika yang sitematis dalam mengambil keputusan. Berarti membaca, menulis, dan menghitung juga telah terjadi internalisasi dalam diri manusia yang dapat memberikan manfaat juga dalam hidup ini.
Dari penjabaran di atas, dapat dikatakan bentuk internalisasi yang ditujukan untuk kebutuhan dunia kita. Lalu bagaimana dengan internalisasi kebutuhan akhirat kita? Hal ini menjadi lebih penting karena menyangkut dengan hubungan kita terhadap Allah SWT. Sudahkah shalat telah mencegah perbuatan keji dan mungkar? Apakah puasa bulan Ramadhan telah memberikan efek kesehatan mental kita? Begitu juga dengan infak, sedekah, dan zakat, apakah telah menjadi kebiasaan dalam menyisihkan sebagian rejeki kita diberikan kepada yang berhak. Dan, sampai di mana umrah dan haji yang telah dikerjakan menjadi tempaan ruhani kita.
Bisa jadi, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah belum. Karena ibadah-ibadah itu baru sebatas menggugurkan kewajiban atas diri kita. Belum terjadi proses internalisasi dalam ruhani kita. Baru menjadi kebiasaan secara jasmani, tidak disertai ruh dalam pelaksanaanya. Maka mulai sekarang kita harus memahami arti bacaan shalat, makna dari setiap gerakan shalat dan tertib dalam shalat. Begitu juga pada ibadah puasa, seharusnyalah kita berpuasa batin di mana mampu menahan segala hawa nafsu dalam perjalanan hidup. Untuk infak, sedekah dan zakat harus dilakukan setiap waktu ketika memang berlebih agar ibadah ini dapat memberikan empati sosial kepada kita. Untuk umrah dan haji jangan dijadikan sebagai perjalanan wisata tetapi mesti menjadi miraj ruhani kita kepada Sang Pencipta.
Dengan demikian, semua ibadah tersebut dapat internalisasi dalam diri kita. Pada gilirannya akan memberikan pengaruh positif di kehidupan kita. Dengan harapan internalisasi ini bisa membuat kita menjadi manusia yang bertakwa, yaitu mampu menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.