Baru di hari pertama konferensi, yakni di malam Welcoming Reception itu, saya sudah berbesar hati mendengar Sayed Ammar sekali lagi menekankan tentang pentingnya kewargaan para pengikut Ahlul Bayt as di masyarakat plural yang di dalamnya mereka hidup. Esoknya, sebagai hari pertama konferensi, niat dalam hati (yang saya tuangkan dalam makalah) saya sudah mendapat dukungan dari salah satu peserta konferensi—yang sebelumnya sudah lama saya follow di X (twitter)—tentang pentingnya kaum Syiah untuk tak menekankan pada identitas eksklusif dan hanya terperangkap dalam kekelompokan mazhab. Serta, sebagai gantinya, mereka harus melihat dirinya sebagai bagian dari keislaman, bahkan kemanusiaan universal. Peserta yang saya maksud adalah Sajjad Rizvi. Seorang profesor Departemen Kajian Arab dan Islam, sekaligus seorang ahli filsafat Islam, di Universitas Exeter, Inggris. Hal yang sama juga diungkapkan Prof. Ahab Bdaiwy, seorang profesor dalam bidang Bahasa Arab, Filsafat Abad Pertengahan, serta Sejarah Late Antiquity, di Universitas Leiden—yang juga sudah lama saya follow di X juga. Memang di antara peserta konferensi ini terdapat sarjana-sarjana hebat, termasuk Doktor Idris Hany, seorang pemikir dan filsuf dari Tunis, dll.
Ternyata pandangan Sajjad Rizvi dan Ahab Bdaiwy itu bukan hanya sekali itu mereka berdua sampaikan, melainkan beberapa kali dan di beberapa kesempatan konferensi ini. Dan hal ini sejalan belaka dengan apa yang saya sampaikan di makalah saya itu—meski akhirnya makalah yang sudah saya sampaikan ke panitia itu tak jadi saya bacakan karena mereka meminta topik baru. Dalam makalah saya itu, saya mengutip pandangan beberapa ulama besar Syiah yang menekankan tentang persaudaraan Sunnah-Syiah, termasuk kewajiban umat Syiah untuk melakukan tugas-tugas kewargaan tanpa mempersoalkan mazhab.
Saya akan mulai dengan mengutip pandangan Ayatullah Sistani, marja’ terbesar kaum Syiah di Iraq:
“Syiah harus membela hak-hak sosial dan politik Sunni sebelum membela hak-hak mereka sendiri, dan kami menyerukan kepada (semua orang) untuk bersatu,” tambah Ayatullah Sistani. “Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, kaum Syi’ah tidak seharusnya menyebut kaum Sunni sebagai saudara mereka, namun sebagai ‘jiwa/diri’ mereka.”
Dalam konteks kehidupan politik dan sosial Irak, Syahid Muhammad Baqir al-Hakim—yang, seperti saya sebutkan sebelumnya, nota bene adalah paman Sayed Ammar al-Hakim—pernah menulis di salah satu bukunya: “Mengakui pluralisme politik, nasional, dan sektarian di Irak, dan berupaya membangun platform terpadu untuk interaksi kolektif dalam kerangka persatuan nasional Irak sangatlah penting. Mengakui hak semua sekte dan komponen masyarakat Irak untuk menikmati hak-hak sipil dan budaya mereka dan menghormati budayanya adalah suatu keharusan. Orang Kurdi berhak atas pelestarian warisan budaya mereka, orang Arab berhak atas penghormatan terhadap identitas budaya mereka, dan orang Syi’ah berhak menjaga budaya dan sekte mereka di wilayah Syi’ah—dengan mengajarkannya di sekolah-sekolah mereka dan mewariskannya kepada anak-anak mereka. Begitu pula dengan kelompok Sunni, mereka berhak menjunjung tinggi identitas budayanya di daerahnya masing-masing, dan umat Kristen di sekolah dan komunitasnya. Penghargaan terhadap karakteristik dan komponen yang khas ini harus dipertimbangkan secara cermat dalam membentuk pemerintahan di masa depan.”
Akhirnya, Ayatullah Wahid Khurasani dari Iran, menegaskan tentang tugas-tugas kewargaan orang Syiah terhadap kelompok muslim lain, sebagai berikut:
“Siapa saja yang bersaksi akan keesaan Tuhan Yang Maha Esa dan kenabian Nabi Terakhir saw adalah seorang muslim. Nyawa, kehormatan, dan harta bendanya sama sucinya dengan nyawa, kehormatan dan harta benda seorang pengikut aliran Ja’fari (Syiah). Kewajiban keagamaanmu terhadap orang yang mengimani keesaan Tuhan dan kerasulan Nabi, meskipun dia menuduhmu kafir, adalah pergaulan yang baik dengannya. Dan jika mereka berperilaku salah terhadapmu, jangan menyimpang dari jalan kebenaran dan keadilan yang benar (dalam menghadapinya). Jika ada di antara mereka yang sakit, pergilah mengunjunginya; jika dia meninggal, ikut serta dalam pemakamannya; jika dia membutuhkan sesuatu darimu, penuhilah. Taatlah kepada perintah Allah, “Dan janganlah kebencianmu kepada mendorongmu untuk tidak berbuat adil. (Apalagi terhadap sesama muslim). Bertindaklah adil, itu lebih mendekati ketakwaan;” (QS 5:8) dan ikutilah perintah Yang Mahakuasa, “Dan janganlah kamu berkata kepada siapa pun yang menawarkan kedamaian kepadamu: ‘Kamu bukan orang beriman..’ ” (QS 4:94).
Meskipun demikian, saya tetap merasakan adanya kecenderungan di sebagian peserta konferensi yang selalu menegaskan kekhususan—kalau tidak superioritas—identitas mereka sebagai Syi’ah. (Sebagaimana yang ditunjukkan sebagian kelompok Islam lain, apakah itu Sunnah, atau kelompok-kelompok lain yang lebih spesifik, dalam Islam). Tentu tak apa menganggap keyakinan kita sebagai keyakinan yang terbaik. Baik itu Syiah maupun Sunnah. Meskipun demikian, hendaknya keyakinan itu tak menjadikan kita justru bersikap eksklusif, apalagi kemudian merendahkan dan membenci kelompok lain. Sebaliknya, keyakinan itu seharusnya mendorong kita lebih untuk bersemangat dalam memberikan kontribusi lebih besar kepada sesama kita, betapa pun berbeda keyakinan. Bukankah, dalam kelompok Islam mana pun kita berada, Islam tetap saja harus diwujudkan sebagai “rahmah untuk semesta alam?