Para Sufi yang Tenggelam dalam Cinta (Bagian 2)
Jika tulisan sebelumnya (Para Sufi yang Tenggelam dalam Cinta (Bagian 1) mengulas tentang pengertian cinta kepada Allah dan tanda-tandanya, maka bagian kedua ini mengulas beberapa kisah para sufi yang tenggelam dalam cinta kepada Allah sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Ghazālī dalam Mukāsyafah al-Qulūb al-Muqarrib ilā Ḥaḍrah ‘Allām al-Guyūb fi ‘Ilm at-Taṣawwuf.
Pertama, Zulaykhā pernah tenggelam dalam cinta dan kerinduan yang mendalam kepada Yūsuf. Dia menyebut segala sesuatu dengan Yūsuf. Karena cinta yang sangat mendalam ini, maka dia lupa terhadap segalanya selain Yūsuf. Ketika menatap langit, maka dia melihat nama Yūsuf tertulis indah di bintang kemintang. Oleh karena itu, dia rela mengorbankan semua hartanya dan bahkan kecantikannya demi Yūsuf semata. Dia memiliki permata dan perhiasan berupa kalung sebanyak 70 unta, dan semuanya diberikan kepada orang lain demi cintanya kepada Yūsuf. Setiap kali ada orang mengatakan, “Aku bertemu Yūsuf tadi,” maka dia akan memberikan perhiasan berupa kalung kepada orang tersebut secukupnya. Akhirnya, Zulaykhā jatuh miskin dan tidak memiliki apa-apa.
Akan tetapi, ketika Zulaykhā beriman kepada Allah dan menikah dengan Yūsuf, maka dia mengasingkan diri dari Yūsuf dan fokus beribadah kepada Allah. Ketika Yūsuf mengajaknya bercengkerama di waktu siang, maka Zulaykhā meminta untuk menundanya di waktu malam saja. Ketika Yūsuf mengajaknya bercengkerama di waktu malam, maka Zulaykhā meminta untuk menundanya di waktu siang saja. Dia berkata, “Wahai Yūsuf, sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu sebelum aku mengenal-Nya (Allah). Namun, ketika aku sudah mengenal-Nya, maka cinta-Nya tidak menyisakan sedikit pun di dalam ruang hatiku untuk mencintai hal lain selain-Nya. Dan aku tidak berkeinginan untuk mengganti-Nya dengan hal lain.” Akhirnya, Yūsuf berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk mengajakmu bercengkerama. Dia mengabarkan kepadaku bahwa Dia akan melahirkan dua orang anak laki-laki dari dalam rahimmu dan menjadikan keduanya sebagai nabi.” Zulaykhā berkata, “Jika memang Allah yang menyuruhmu untuk hal itu dan menjadikan aku sebagai perantara untuk melahirkan dua orang nabi, maka aku menuruti kemauanmu karena perintah Allah.” (hlm. 28)
Kedua, Nabi Mūsā as memiliki seorang sahabat yang sangat dikasihi. Suatu hari dia berkata, “Wahai Mūsā, berdoalah kepada Allah agar Dia menganugerahkan kepadaku pengetahuan tentang-Nya dengan pengetahuan yang sejati.” Akhirnya, beliau berdoa sesuai permintaan sahabatnya itu. Maka, Allah langsung mengabulkan doanya. Lalu, beliau mendapati sahabatnya berada di gunung bersama kawanan binatang liar. Oleh karena itu, beliau kehilangan sahabat terkasihnya itu. Beliau kemudian mengadukan nasibnya kepada Allah seraya berkata, “Ya Tuhanku, aku kehilangan seorang sahabat yang terkasih.” Allah menjawab, “Wahai Mūsā, barang siapa yang mengetahui-Ku dengan pengetahuan yang sejati, maka dia tidak akan berteman dengan makhluk selamanya.” (hlm. 36)
Ketiga, Nabi Yaḥyā as dan Nabi ‘Īsā as pernah ditabrak oleh seorang perempuan ketika berjalan di pasar. Lalu, Nabi Yaḥyā as berkata, “Demi Allah, aku tidak merasakannya.” Nabi ‘Īsā as berkata, “Subḥānallāh (Maha Suci Allah). Tubuhmu bersamaku, sedangkan hatimu ada di mana?” Nabi Yaḥyā as menjawab, “Wahai putranya bibik (dari ibu)-ku, seandainya hatiku merasa tenang kepada selain Tuhanku sekejap mata saja, maka engkau akan mengira bahwa aku tidak mengetahui Allah.” Dengan demikian, orang yang memiliki makrifat sejati tentang Allah, maka dia akan melepaskan kesenangan dunia dan akhirat, memfokuskan diri kepada Allah, dan mabuk dalam buaian cinta kepada-Nya. Dia tidak akan sembuh dari mabuknya, kecuali setelah berjumpa dengan kekasihnya. Dia memiliki makrifat sejati tentang Allah setelah mendapatkan pancaran cahaya dari-Nya (hlm. 36).
Keempat, suatu ketika Nabi ‘Īsā as pernah bertemu dengan seorang pemuda sedang menyiram kebunnya. Pemuda tersebut kemudian meminta doa kepada Nabi ‘Īsā as seraya berkata, “Mintalah kepada Tuhanmu agar Dia menganugerahkan cinta-Nya kepadaku meskipun sebesar biji zarah.” Beliau menjawab, “Kamu tidak akan sanggup menerima cinta-Nya sebesar biji zarah.” Dia berkata, “Separuh biji zarah saja.” Akhirnya, beliau berdoa kepada Allah agar Dia menganugerahkan cinta-Nya kepada pemuda tersebut sebesar separuh biji zarah. Lalu, beliau pergi meninggalkan pemuda tersebut.
Beberapa lama kemudian, beliau melewati tempat pemuda itu lagi, tetapi beliau tidak menjumpainya di sana. Beliau menanyakan keberadaan pemuda itu kepada orang-orang yang ada di sana. Mereka menjawab, “Dia sudah gila dan pergi ke sebuah gunung.” Nabi ‘Īsā as kemudian berdoa kepada Allah agar Dia memperlihatkan pemuda itu kepadanya. Maka, beliau menjumpai pemuda itu sedang berdiri seorang diri di atas batu besar di antara gunung sembari menatap langit. Lalu, beliau memanggil salam kepadanya. Namun, dia tidak menjawab salam tersebut. Beliau kemudian berkata, “Aku adalah ‘Īsā” Maka, Allah mewahyukan kepada Nabi ‘Īsā as seraya berfirman, “Bagaimana mungkin seseorang yang di dalam hatinya terdapat cinta-Ku sebesar separuh biji zarah bisa mendengar perkataan manusia? Demi kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku, seandainya dia dipotong dengan gergaji, maka dia tidak akan mengetahuinya.” Hal ini karena dia sudah tenggelam dalam cinta kepada Allah sehingga tidak merasakan apa pun lagi (hlm. 30).
Kelima, Żūn Nūn al-Miṣrī pernah melihat seorang pemuda dalam keadaan telanjang, sakit, dan terbuang di bawah salah satu pilar Masjidil Ḥarām. Dia terus merintih kesedihan. Akhirnya, Żūn Nūn menghampirinya sembari memanggil salam. Setelah itu, dia bertanya, “Siapakah engkau, wahai pemuda?” Dia menjawab, “Aku adalah orang asing yang sedang dilumat gejolak cinta yang sangat dalam.” Żūn Nūn paham maksud perkataan pemuda itu sehingga dia menjawab, “Aku juga sepertimu.” Dia kemudian menangis. Żūn Nūn juga menangis karena tangisan pemuda itu. Lalu, dia berkata kepada Żūn Nūn, “Mengapa engkau menangis?” Żūn Nūn menjawab, “Aku juga sepertimu.” Maka, dia menangis dan menjerit-jerit dengan keras, dan seketika itu nyawanya hilang (meninggal).
Akhirnya, Żūn Nūn melepaskan bajunya dan kemudian meletakkannya di tubuh pemuda itu. Lalu, dia keluar dari Masjidil Ḥarām untuk membeli kain kafan. Ketika dia kembali, maka dia tidak menemukan jasad pemuda itu lagi sehingga dia berkata, “Subḥānallāh (Maha Suci Allah).” Żūn Nūn kemudian mendengar suara gaib (hatif) berkata, “Wahai Żūn Nūn, sesungguhnya setan mencari pemuda asing itu di dunia, tetapi ia tidak menemukannya. Di sisi lain, malaikat juga mencarinya, tetapi ia tidak melihatnya. Lalu, malaikat Ridwan mencarinya di surga, tetapi ia tidak menemukannya.” Żūn Nūn kemudian berkata, “Lantas, dia di mana?” Suara gaib itu menyebutkan bahwa “dia berada di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa” (Al-Qamar [54]: 55). Dia mendapatkan kedudukan ini karena cintanya kepada Allah, banyaknya ketaatan yang dilakukan, dan bergegasnya dalam bertobat (hlm. 29).
Keenam, ada seorang laki-laki hendak membeli budak laki-laki. Namun, budak tersebut memberikan tiga syarat kepada calon tuannya, yaitu: (1) tidak boleh dicegah untuk melaksanakan salat fardu ketika waktunya sudah tiba; (2) bekerja di waktu siang saja; (3) diberikan kamar khusus yang tidak boleh dimasuki oleh siapa pun selain dirinya. Dia pun menyanggupi tiga syarat tersebut. Setelah sampai di rumahnya, maka dia menyuruh budak laki-laki itu untuk memilih kamar yang disukai. Setelah berkeliling di dalam rumah tuannya itu, maka budak itu memilih kamar yang sudah rusak. Lalu, laki-laki itu berkata, “Wahai pemuda, kamu memilih tempat yang sudah rusak ini?” Budak itu menjawab, “Wahai tuanku, apakah engkau tahu bahwa sesungguhnya tempat yang rusak akan menjadi taman yang indah jika bersama Allah?”
Akhirnya, budak itu bekerja untuk tuannya di waktu siang dan fokus beribadah di waktu malam. Pada suatu malam, laki-laki itu mengelilingi rumahnya hingga sampai di depan kamar budak itu. Lalu, dia melihat cahaya yang menerangi kamar budak itu. Dia juga melihat budak itu sedang bersujud, dan di atas kepala budak itu terdapat lampu dari cahaya yang digantung di antara langit dan bumi. Budak itu bermunajat kepada Allah dengan penuh kerendahan seraya berkata, “Ya Tuhanku, Engkau telah mewajibkan kepadaku untuk memenuhi hak tuanku dan melayaninya di waktu siang. Seandainya tidak demikian, maka aku akan menyibukkan diri dengan mengabdi kepada-Mu di sepanjang hari dan malamku.” Oleh karena itu, ampunilah aku, wahai Tuhanku.” Laki-laki itu menyaksikan budak itu hingga Subuh. Ketika waktu Subuh sudah tiba, maka lampu dari cahaya itu kembali ke tempatnya dan atap kamar yang terbuka itu tertutup lagi.
Lalu, laki-laki itu pergi dan menceritakan semua peristiwa menakjubkan tersebut kepada istrinya. Pada malam kedua, mereka pergi bersama-sama ke kamar budak itu. Mereka melihat budak itu sedang bersujud. Akhirnya, mereka menunggu budak itu sambil menangis di depan pintu kamarnya sampai Subuh. Mereka kemudian memanggil budak itu seraya berkata, “Engkau sekarang bebas karena Allah sehingga engkau bisa fokus beribadah kepada-Nya.” Maka, budak itu mengangkat kedua tangannya sembari berdoa, “Wahai Zat pemilik rahasia, sesungguhnya rahasia sudah terbuka. Dan aku tidak ingin hidup lagi setelah semuanya tampak. Ya Tuhanku, aku memohon mati kepada-Mu.” Budak itu kemudian tersungkur dalam keadaan meninggal (hlm. 35).
Ketujuh, ada seorang pemuda di Bashrah yang sedang berdiri di atas bukit sembari melihat kepada orang-orang yang ada di bawahnya. Dia kemudian berkata, “Barang siapa yang ingin mati dalam keadaan rindu, maka hendaklah dia mati dalam keadaan seperti ini. Sebab, tidak ada kebaikan dalam kerinduan tanpa kematian.” Lalu, dia melompat dari atas bukit tersebut sehingga meninggal.
Kedelapan, ketika al-Ḥākim mengantuk, maka dia langsung berendam di dalam laut sembari bertasbih. Maka, ikan-ikan berkumpul di sampingnya ikut bertasbih bersamanya.
Kesembilan, Sahl bin ‘Abdullāh at-Tustarī makan setiap 15 hari sekali. Ketika bulan Ramadan tiba, maka dia hanya makan sekali saja. Di sisi lain, dia tidak makan selama 70 hari. Sebab, ketika dia makan, maka dia menjadi lemah. Sebaliknya, ketika dia berpuasa, maka dia menjadi kuat. Abū Ḥammād al-Aswad pernah bersama Sahl at-Tustarī di Masjidil Ḥarām selama 30 tahun. Dia tidak pernah melihat Sahl at-Tustarī makan dan minum selama kurun waktu 30 tahun tersebut. Dia juga tidak pernah melihat Sahl at-Tustarī meninggalkan zikir kepada Allah meskipun hanya sesaat (hlm. 29 & 34).
Kesepuluh, Ḥusayn al-Ḥallāj mengikat kedua betisnya (dari kaki hingga lutut) masing-masing dengan 13 ikatan. Dan dia melaksanakan salat sunah sebanyak 1000 rakaat sehari semalam dalam keadaan tersebut. Ketika al-Ḥallāj mengalami kesadaran batin (pencerahan) bahwa segala sesuatu selain Allah adalah batil dan hanya Allahlah yang ḥaq (sejati), maka dia menjadi lupa terhadap segala sesuatu selain Allah. Oleh karena itu, ketika al-Ḥallāj ditanya tentang dirinya, maka dia menjawab, “Anā al-Ḥaqq” (Aku adalah Kebenaran Sejati/Allah). Akhirnya, al-Ḥallāj dianggap murtad sehingga harus dihukum mati. Ketika al-Ḥallāj dipenjara selama 18 hari, maka asy-Syiblī mengunjunginya seraya bertanya tentang cinta kepadanya. Lalu, al-Ḥallāj berkata, “Janganlah engkau bertanya hal itu kepadaku sekarang, tetapi tanyakanlah besok saja.” Ketika al-Ḥallāj dikeluarkan dari penjara dan hendak dieksekusi, maka dia berteriak kepada asy-Syiblī yang sedang berjalan di hadapannya seraya berkata, “yā Syiblī, al-maḥabbah awwaluhā ḥarqun wa ākhiruhā qatlun” (wahai asy-Syibī, cinta itu awalnya adalah terbakar dan akhirnya adalah mati). (hlm. 29 & 34) Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Aḥkam…