Oleh: Dayu Aqraminas
Pascasarjana UIN Jakarta dan Direktur Ma’had Tarbiyah al-Mujahadah
Term cinta dalam bahasa Arab disebut sebagai mahabbah yang berakar dari kata hub. Istilah ini memiliki terminologi berbeda-beda, tergantung dengan hegemoni keilmuan masing-masing. Perbedaan ini bisa disimplifikasikan sebagaimana pandangan al-Aṣfahānī, bahwa terma hub dikonvergensikan sebagai bentuk kehendak (irādāh/volonte/will). Dengan demikian, substansi dari cinta muncul oleh kehendak atas dasar kesenanagan, manfaat, maupun keutamaan.
Tiga faktor ini menjadi causa legis untuk mengaktivasi kehendak dalam melakukan cinta. Namun kaitannya dengan mencintai Allah menurut al-Jurjanī, terma hub sering diartikan sebagai bentuk kehendak yang tendensi untuk memperoleh keuntungan, salah satunya adalah keridhaan Sang Ilahi.
Cinta (hub-mahabbah) menjadi tema sangat penting terutama dalam kajian tasawuf. Dalam tradisi tasawuf, pembicaraan tentang cinta sering kali dikaitkan dengan gagasan maqāmat (station) dan ahwāl (condition or state of soul). Seseorang yang ingin menginvestasikan dirinya dalam praktisi sufi, ia harus melintasi-sulūk, maqāmāt dan ahwāl. Oleh karenanya, menuju Allah tidak bisa secara langsung, tetapi membutuhkan tahapan dan kondisi cinta kepada-Nya.
Perlu diketahui dalam menetukan maqāmāt dan ahwāl kaum sufi bisa berbeda-beda. Menurut Haidar Bagir, perbedaan ini disebabkan oleh ijtihad kaum sufi. Ijtihad di sini diartikan sebagai Origins des idees (aslu al-afkār), yaitu dalam menyusun sumber para sufi mengkonfigurasikan sesuai dengan khibrah (pengalaman) masing-masing.
Tentunya setiap sufi memiliki pengalaman yang berbeda-beda, sehingga cara dan prakteknya dalam memformulasikan maqāmāt dan ahwāl bisa berbeda-beda antara satu sufi dengan sufi lainya. Sebagai contoh, Abū Hāmid al-Ghazāli memposisikan mahabbah dalam maqāmāt, berbeda dengan Abū Nashir al-Tūsī memposisikan mahabbah dalam ahwāl.
Lantas bagaimana ekspresi dan atribut dalam mencintai Allah? Di sinilah yang kemudian penulis meminjam istilah “kelas” dari Karl Max yang merupakan teori utama socialisme marxiste (istirākiyyah mārikisiyyah). Terminologi kelas bagi Karl Max masih belum final, secara substansi teori ini sebagai bentuk perlawanan dari permasalahan sosial. Bagi dia, sejarah masyarakat manusia merupakan perjuangan kelas yang kemudian melahirkan kelas borjuis dan kelas proletar
Meminjam istilah ini bukan berarti mengadopsi terminologi sekaligus. Istilah kelas ini sengaja digunakan untuk stratifikasi dan perbedaan di antara manusia. Dengan demikian, istilah kelas diartikan sebagai golongan satu dengan yang lainnya kemungkinan terjadi perbedaan dalam mengekspresikan cintanya kepada Allah.
Kelas-kelas dalam mencintai Allah
Paling tidak ada tiga kelas dalam mencintai Allah, kelas pertama, mahabbatullah bi ghairi al-īmān (mencitai Allah tanpa keimanan). Kelas ini biasanya diidentifikasikan kepada kelompok yang mencintai Allah tanpa membekali keimanan dan kepercayaan sepenuhnya kepada Allah atau bisa disebut sebagai “cinta kepalsuan”
Kelas kedua, al-mahabbah mā yuhibbullah (mencintai apa saja yang Allah cintai). Kelas ini diidentifikasikan kepada kelompok yang berhasil mencintai orang-orang pilihan seperti Nabi, Rasul dan wali-wali Allah. Lebih jauh lagi, bila mengikuti konsep wahdah al-wujud Ibn al-‘Arabi, mencintai tidak dibatasi kepada orang-orang pilihan. Semua manusia bahkan alam sekalipun merupakan penampakan diri (tajalli) Allah. Segala sesuatu dan segala peristiwa makhluk bahkan alam ditentukan olehAllah. Dengan demikian, baik Allah dan makhluk, keduanya tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan (wahdah al-wujūd). Dengan kesimpulan, mencintai makhluk-Nya merupakan cerminan dan refleksi dari mahabbatullah.
Kelas ketiga, al-mahabbah lillahi wa fīhi (mencintai untuk dan karena Allah). Kelas ini menjadi puncak spiritual seorang sufi, karena cinta ini bisa mencapai keridhaan dari-Nya. Karena pada dasarnya, cinta itu kembali kepada Allah untuk mengenali diri-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis qudsi, “fa ahbabtu an u’rafa fa khalaqtu al-khalqa:Aku ingin-cinta untuk dikenal, maka kuciptakan dunia”. Ungkapan ini memberikan paradigma, bahwa semua makhluk bahkan alam sekalipun diciptakan karena cinta Allah untuk-Nya. Karena dengan begitu makhluk akan mengetahui diri-Nya.
Kelas kedua dan ketiga, rasanya cukup sulit dan tidak mudah diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Mengimplementasikan rasa cinta kepada makhluk-Nya saja yang berbeda ideologi, pilihan politik, madzhab, bahkan beda agama tidak akan sanggup. Bagaimana mungkin kita bisa mengimplementasikan rasa cinta ini kepada-Nya dan karena-Nya. Padahal Dia tidak pernah bosan memberikan cinta kasihnya kepada makhluk-makhluk-Nya.!
Wallahu ‘Alam