Membedah Kritik Herbert Marcuse atas Masyarakat Modern

Herbert Marcuse adalah seorang tokoh Teori Kritis (Mazhab Frankfurt) generasi pertama yang menaruh minat kajiannya dalam bidang filsafat politik. Marcuse tercatat mengungsi ke Amerika Serikat pada tahun 1934, karena situasi politik Jerman yang saat itu tengah dikuasai oleh fasisme Nazi. Marcuse sendiri kemudian menjadi warga negara Amerika Serikat pada tahun 1940.

Manipulasi dalam Sistem Masyarakat Modern

Sebagai pemikir politik, salah satu karya terpenting dari Marcuse, yaitu One Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (1964), yang juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Manusia Satu Dimensi (2016). Dalam karyanya tersebut, Marcuse melakukan serangkaian kritik terhadap masyarakat modern (masyarakat teknologi), yang dinilai cenderung bersifat deseptif (memperdayakan).

Dalam bukunya tersebut, Marcuse sendiri sebenarnya mengapresiasi kemunculan masyarakat teknologi, yang dimulai dengan berkembangnya pandangan seputar hak dan kebebasaan. Bagi Marcuse, kebebasan berpikir, berbicara dan kehendak hati, seperti usaha bebas, yang berperan meningkatkan dan melindungi, secara esensial merupakan pemikiran-pemikiran kritis yang didesain untuk menggantikan suatu kebudayaan material dan intelektual yang telah usang dengan suatu kebudayaan yang lebih produktif.

Akan tetapi, apa yang dinilai oleh Marcuse sebagai hal positif, dan sebenarnya merupakan perkembangan yang menjanjikan, dalam perkembangan selanjutnya, justru perlu untuk disesalkan. Marcuse justru melihat kemerdekaan berpikir, otonomi, dan hak untuk mengadakan oposisi politik sedang dicabut dari fungsi kritis mendasarnya di dalam masyarakat, yang hal tersebut berkaitan karena perkembangan masyarakat teknologi menekankan pada kemampuan masyarakat untuk “memuaskan kebutuhan-kebutuhan individu” melalui berbagai cara yang dikelola.

Dalam pengamatan Marcuse, perkembangan tersebut menyebabkan masyarakat lebih mementingkan apakah kepuasaan-kepuasaan individu agar terpenuhi. Akibatnya, kecenderungan yang terjadi, yaitu penerimaan terhadap status quo (kemapanan) dan melemahkan daya kritis. Masyarakat teknologis pun menjadi masyarakat tanpa lawan (oposisi).

Baca Juga:  Kritik Filsafat Ibn Rusyd terhadap Kelompok Lahiriah

Hal yang menarik, Marcuse melihat proses teknologis sebagai mekanisasi. Dengan kalimat lain, merupakan bentuk-bentuk baru dalam pengontrolan, dan dinilainya sebagai bentuk manipulasi. Dengan kalimat lain, adanya kemajuan-kemajuan teknologi dan sebagainya, dapat menyebabkan masyarakat modern “dinina bobokan”. Fenomena inilah yang disebut oleh Marcuse sebagai “manusia satu dimensi”.

Dalam pengamatan Marcuse, masyarakat memang merasa kebutuhan-kebutuhan individu mereka terpenuhi, akan tetapi yang sesungguhnya terjadi, kebutuhan-kebutuhan tersebut sudah dimanipulasi oleh “rasionalitas teknologis”, agar berjalan sesuai dengan tuntutan ataupun efesiensi dari sistem kapitalis.

Marcuse sendiri, bahkan menyebut masyarakat industri kontemporer cenderung bersifat totalitarian. Marcuse menulis “hal itu karena ‘totalitarian’ bukanlah sekedar koordinasi politik teroristis dari suatu masyarakat, namun juga merupakan koordinasi nonteroristis yang bekerja melalui ‘manipulasi’ kebutuhan-kebutuhan akibat adanya vested interest. Oleh karena itu, hal itu bisa mencegah munculnya suatu oposisi yang efektif terhadap keseluruhannya”.

Menurut Franz Magnis Suseno dalam bukunya Dari Mau ke Marcuse (2013), Marcuse berpandangan bahwa masyarakat industri maju berhasil melakukan manipulasi dua nilai penting paling khas dalam modernitas, yaitu rasionalitas dan kebebasan. Dengan kalimat lain, sebenarnya masyarakat industri maju tidaklah rasional dan tidak membebaskan, namun ia kelihatan rasional dan membebaskan.

Menurut Suseno (2013), “rahasia” masyarakat Industri maju yang dibongkar oleh Marcuse, yakni soal “keberhasilan” ganda, ia menciptakan produktivitas yang luar biasa dan standar hidup yang semakin tinggi. Maka, pertentangan kelas yang seharusnya terjadi justru tidak terlihat, kelas borjuis dan proletar justru dipersatukan oleh kepentingan untuk mempertahankan dan meperbaiki status quo. Dengan demikian, kekhasan masyarakat industri maju ataupun masyarakat teknologis, mereka justru berhasil mengintegrasikan unsur-unsur negatif (dalam sistem) sedemikian rupa sehingga malah mendukung sistem.

Baca Juga:  IMAN KEPADA YANG GAIB SEBAGAI KRITERIA TAKWA

Dengan demikian, mengutip T.M Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran dalam buku Diskursus Teori-teori Kritis (2016), dapat disimpulkan bahwa Marcuse berpandangan manusia dalam masyarakat kapitalis yang telah maju adalah manusia yang tidak bebas, represif, dan bahwa manusia modern itu secara intelektual dan psikologis menjadi nyaman lewat ketergantungan pada persuasi masyarakat konsumeristik. Ketergantungan tersebut merupakan gejala yang dinamakan oleh Marcuse sebagai “desublimasi represif”. Masyarakat industri maju menciptakan kebutuhan palsu melalui media iklan yang mengerangkeng individu dalam sistem produksi dan konsumsi.

Relevansi Pemikiran Marcuse dalam Era Kontemporer

Saya rasa pemikiran Marcuse tetap menemukan kesegarannya, karena memang masyarakat modern dengan “rasio teknologis”-nya menghadirkan permasalahan-permasalahan yang masih terjadi hingga hari ini. Marcuse berhasil menyuguhkan sisi-sisi gelap dari apa yang disebut sebagai modernitas.

Saya berpandangan bahwa pemikiran Marcuse tetap aktual, karena perkembangan yang terjadi hingga hari ini, teknologi dimanfaatkan oleh para pemilik kapital (modal) untuk memuluskan hasrat mereka, dan hal tersebut jelas meniscayakan terjadinya dominasi dari kelompok masyarakat yang satu (pemilik modal) terhadap masyarakat yang lain. Dampak lainnya, memungkinkan terjadinya kerusakan lingkungan untuk kepentingan akumulasi kapital.

Dengan kalimat lain, meminjam pendapat Suseno (2013), yang menyebut bahwa pemikiran Marcuse relevan untuk mengungkap kekeroposan rasionalitas masyarakat industri maju, karena memang ekonomi pasar kapitalis tidak mampu memecahkan masalah-masalah yang disebabkannya sendiri. Suseno sendiri mendasarkan analisisnya pada adanya fakta bahwa masih terjadi ketimpangan yang begitu tajam, hingga persoalan krisis perubahan iklim.

0 Shares:
You May Also Like