Oleh: Raha Bistara
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Ada perbedaan yang mendasar antara metode retorika, metode dialektika para teolog dan metode demonstratif filsafat Ibn Rusyd. Namun, dalam batas-batas tertentu Ibn Rusyd dipengaruhi oleh filsafat gurunya Aristoteles. Ketika ia mengkritik para mutakalim Asy’ariyah dan orang-orang yang menepuh jalan teologi Asy’ariyah seperti Al-Ghazali, seraya Ibn Rusyd ingin menjelaskan kesalah-kesalahan mereka karena menggunakan metode dialektika teologi.
Bagi Ibn Rusyd, metode dialektika adalah metode yang lebih rendah dari pada metode demonstratif yang berupa mencapai keyakinan, ketegasan, dan kepastian. Baginya metode demonstratif adalah metode yang paling unggul dibandingkan metode yang lain. Kritik metode filsafatnya tidak hanya pada golongan teolog As’ariyah saja tetapi, dilancarkan juga kepada golongan lahiriyah. Khususnya, terhadap pendapat mereka (kelompok lahiriyah) yang digantungkan pada aspek lahiriah syariat dan menolak untuk menggunakan qiyas syar’i dan qiyas rasional.
Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd (1126-1198 M)—di Barat dikenal sebagai Averroes—termasuk salah seorang filsuf Muslim yang paling masyhur. Di samping sebagai orang yang paling otoritatif dalam mengomentari terhadap karya-karya filsuf Yunani klasik yaitu Aristoteles. Ibn Rusyd sebagai filsuf Muslim yang paling menonjol dalam usahanya mendamaikan antara filsafat dan syariat.
Ibn Rusyd berasal dari keluarga yang memiliki tradisi dan peran intelektual yang besar, serta keahlian yang diakui dalam dunia yuridis. Kakeknya dari pihak bapak adalah hakim agung di Cordoba, di samping kedudukannya sebagai seorang ahli hukum terkemuka dalam madzhab Maliki, salah satu madzhab yang sangat dominan di Maghrib dan Andalusia. Ibn Rusyd tidak hanya belajar ilmu agam saja, tetapi ia juga belajar ilmu kedokteran kepada Abu Ja’far Harun dan Abu Marwan ibn Jarbun Al-Balansi. Sedangkan ilmu filsafat dan teologi ia peroleh dari Ibn Thufail.
Demikian pula, ia sangat menguasai ilmu-ilmu teologi, fikih, sastra, dan bahasa Arab. Sampai-sampai tidak ada saingan yang berarti dari para cendekiawan Muslim ataupun non Muslim pada masanya. Kepiawainnya ini menandakan ia sebagai intelektual ulung yang haus akan ilmu pengetahuan. Selama masa hidupnya, banyak karya yang telah diguratkan antara lain Tahafut al-Tahafut, Bidayah al-Mujtahid, Fash al-Maqal fi Ma Baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal dan lain sebagainya.
Ibn Rusyd melihat bahwa takwil menjadi sesuatu yang dharuri bagi para ilmuwan rasional, jauh lebih mendesak dari pada ahli fikih sendiri. Sebab, menurut Ibn Rusyd, ilmuwan rasional lebih memiliki kapasitas dan lebih representatif untuk melakukannya di samping faktor-faktor yang mengharuskan mereka untuk menempuhnya, yang tidak dapat dibandingkan dengan faktor ahli fikih dalam konteks agama dan filsafat. Dalam kitabnya fash al-Maqal Ibn Rusyd paling intensif dalam menjelaskan masalah takwil, karena ia ingin mendamaikan antara agama dan filsafat.
Upaya Ibn Rusyd dalam mendamaikan antara filsafat dan agama ditunjukan melalui usahanya untuk mengejawantahkan kebenaran dan kesalahan, dan berupaya mengungkap kesepakatan atau perbedaan antara fukaha dan Ibn Rusyd. Upaya mendamaikan ini ditujukan pada penakwilan lahiriah dan merujuk pada qiyas rasional, serta kritiknya terhadap para pemikir yang mengingkari penalaran rasional dan menyerang dasar-dasarnya (Atif al-Iraqi, 2020: 307).
Menurut Ibn Rusyd, tujuan pembahsan ini untuk meneliti dari segi syariat, apakah mempelajri filsafat dan ilmu logika (manthiq) dibolehkan oleh syariat atau dilarang? atau justru dperintahkan, baik yang bersifat anjuran atau yang bersifta kewajiban?. Lanjut Ibn Rusyd, jika kegiatan filsafat adalah mempelajari maujud-maujud dan merenungkan hingga diketahui bahwa maujud-maujud ini membuktikan adanya pencipta setelah diketahui ciptaannya dan semakin sempurna pengetahuannya terhadap ciptaannya, demikian pula sempurna pengetahuan terhadap penciptanya, maka ini membuktikan bahwa syariat pasti menganjurkan untuk memikirkan maujud-maujud secara rasional dan diperintahkan untuk mengetahuinya. Karena itu, jelas hal ini menunjukkan bahwa mempelajri filsafat tidak dilarang (Ibn Rusyd, 1972:2).
Dalam mempertahankan argumentasinya Ibn Rusyd merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Di antaranya; “Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang telah dicipatakan Allah” (QS. Al-A’raf [7]: 185). Sedangkan firman Allah yang lain “Maka berpikirlah wahai orang-orang yang berakal budi” (QS. Al-Hasyr [59]: 2). Kedua ayat tersebut dijadikan landasan argumentasi Ibn Rusyd, yang pertama menjelaskan pentingnya mempelajari maujud-maujud, sedangkan ayat berikutnya menjelaskan tentang kewajiban menggunakan qiyas rasional atau qiyas syar’i secara bersama-sama (Ibn Rusyd, 1972: 3).
Ibn Rusyd tidak hanya berhenti pada lahiriah ayat saja. Lebih dari itu, ia merujuk pada penggunaan takwil. Ini dikarenakan ia hendak melampaui metode retorika, dan berusaha mencapai metode demonstratif yang dibangun di atas akal. Jika para fukaha merujuk pada penggunaan qiyas dalam membahas hukum-hukum syariat, maka tentu para filsuf sebagai pemilik pengetahuan rasional lebih berhak dalam menggunakan itu. Fukaha, menurutnya menggunakan qiyas zhanni, sedangkan para filosof menggunakan qiyas rasional yakini.
Dengan demikian, kita mengetahui bagaimana Ibn Rusyd mengkritik sikap orang-orang yang hendak berhenti hanya ditataran lahiriah ayat semata, dengan mengharamkan penggunaan takwil. Menurutnya seorang filsuf tidak boleh berhenti pada lahiriah ayat, tetapi wajib menakwilkannya. Ini artinya, Ibn Rusyd mengajurkan kita mepelajari maujud-maujud dengan akal kita, karena argumen rasional dibangun atas prinsip dasar akal.
Menurutnya, penalaran rasional bisa mengantarkan kita mengetahui salah satu maujud dari sekian maujud. Sementara, maujud itu kadang tidak dibahas oleh syariat, tidak pula ditentangnya, atau terkadang syariat menentangnya. Dalam hal pertama tidak ditemukan pertentangan dan perbedaan antara kreasi akal filsafat dan syariat. Dengan alasan seorang fakih menggunakan qiyas syar’i dalam menentukan ijtihad untuk mengggali hukum yang didiamkan oleh syariat.
Ketika mengambil bentuk kedua, manakala syariat berbicara sesuatu, terkadang sesuai dengan kreasi argumen rasional atau terkadang pula berbeda. Jika sesuai berarti di antara keduanya tidak ada yang dipertentangkan. Ini sesuai dengan hukum-hukum yang didiamkan oleh golongan syariah. Jika ada pertentangan, maka dalam penyelesainnya harus menggunakan takwil (Atif al-Iraqi, 2020:310). Hal itu sesuai dengan pernyataan Ibn Rusyd, bahwa aspek lahiriah ayat itu harus menggunakan takwil sesuai dengan kaidah-kaidah takwil yang berlaku.
Sumber Bacaan:
Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal fi Ma Baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, Kairo: Dar el-Ma’arif, 1972.
Muhammad Atif Al-Iraqi, Al-Minhaj al-Naqdi fi Falsafah Ibn Rusyd, terj. Aksin Wijaya, Metode Kritik Filsafat Ibnu Rusyd, Yogyakarta: IRCiSOD, 2020.