Titik Kesamaan antara Taoisme dengan Sufisme

Oleh: Achmad Fadel

Mahasiswa STFI Sadra Jakarta

Tao atau dao secara bahasa berarti “jalan”. Adapun secara istilah memiliki ragam makna, salah satunya adalah sebagai sesuatu yang tak terkonsepsikan, tidak terbatas. Kalau tidak berlebihan, mirip seperti ‘tuhan’ yang transenden dalam pengertian filosofis. Di sini saya akan mengurai pengertian tao secara singkat dengan tiga perspektif yang berbeda, sambil menyesuaikannya dengan konsep umum dalam sufisme Ibn al-‘Arabi. Saya mengadaptasinya dari Agama-Agama Manusia, Huston Smith.

Pertama, tao dipahami sebagai jalan dari “kenyataan terakhir” yang tidak bisa dipersepsi secara indrawi, melainkan diketahui secara langsung melalui kesadaran mistik atau ilmu hudhuri (pengetahuan presensial), di mana meleburnya subjek dan objek pengetahuan yang identik. Sehingga, dalam pengertian ini tao tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata dan tidak mungkin untuk dikhayalkan. Meminjam bahasa Alquran menyebutnya dengan istilah “Laysa kamitslihi sya’ yakni, tidak ada sesuatu yang mirip/serupa dengan-Nya (dalam zat, sifat dan perbuatan) (QS. Asy-Syura [42]:11).

Kedua, tao diartikan dengan meleburkan transendentalitas dan imanenitas. Konsep ini mirip dengan ajaran tasawuf Ibn al-‘Arabi yang memecahkan pemahaman dualistik menjadi kesatuan realitas (wahdah al-wujud atau “t’ien nie” dalam taoisme) di alam realitas, di mana keberagaman makhluk hanya tajalli atau penampakan dari Yang Maha Esa. Lao-Tzu menyebut keberagaman wujud makhluk sebagai ‘wan wu’, sedangkan Ibn al-‘Arabi sebagai ‘mumkinat’ yang berposisi sebagai sheng atau tajalli. Dengan demikian, benang merah konsep ontologi antara Ibn al-‘Arabi dan Lao-Tzu dapat kita temukan lebih lanjut dalam Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts oleh Toshihiko Izutsu.

Untuk memahami lebih jauh kesatuan transenden dan imanen ketuhanan, perlu memahami terlebih dahulu posisi tao atau wujud dalam term mereka berdua. Perdebatan dualisme ini terus terjadi dalam kajian teologi setiap agama. Ateisme yang belakangan berkembang, seperti yang biasa dirujuk pada konsep tuhan spinoza yang memahami Tuhan sebagai impersonal atau imanen dengan alam semesta. Sederhanya, Tuhan dipahami sebagai hukum alam itu sendiri, energi, atau entitas tak berawal dan berakhir. Sebagaimana ungkapan Hawking sebagai “pikiran tuhan”.

Baca Juga:  Yusuf Al-Qaradhawi: Upaya Meluruskan Dikotomi antara Agama dan Politik

Intinya, realitas tertinggi yang transenden karena realitas wujud yang paling sempurna dan tidak mampu dicerap oleh alat apapun merupakan kegaiban di dalam kegaiban (ghaib al-ghuyub). Tetapi, ia yang tersembunyi itu sekaligus menampakkan dirinya dalam modus-modus wujud yang berbeda-beda. Penampakan-penampakan itu tidak sama sekali terpisah oleh yang realitas tertinggi, bahkan tak mungkin dibedakan. Seperti gambaran dalam cermin terhadap manusia yang sedang bercermin tidak bisa dipisahkan. Sedangkan keragaman seperti gelombang air laut dan air yang luas itu sendiri, keduanya sama sekaligus beda. Itulah analogi peleburan transenden dan imanen dalam pengertian kedua ini.

Ketiga, tao merupakan jalan manusia untuk menata hidup. Di sini tao bisa kita pahami dalam kerangka tasawuf, yakni syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Syariat dan tarekat, dinyatakan sebagai jalan mencapai keselarasan hidup yang merupakan tujuan tertinggi kehidupan. Dalam pengertian ini, tao dimaksudkan sebagai etika kehidupan dengan memberikan seperangkat praktis agar mencapai keharmonisan dalam hidup.

Akhirnya, dapat dipahami pengertian-pengertian tao sangat ambigu sesuai dengan konteks penggunaannya. Pengertian-pengertian itu menunjukkan kemiripan dengan konsep sufisme Ibn al-‘Arabi. Bahkan, dengan memahami konsep dasar Ibn al-‘Arabi, Taoisme akan lebih mudah untuk dipahami. Keduanya pun nyaris tidak memiliki perbedaan secara ontologis. Tokoh yang dipisahkan hingga dua puluh abad lebih, justru mengeluarkan konsep yang saling bertemu. Boleh jadi, hal ini menunjukkan hakikat spiritualitas yang perenial dimiliki oleh setiap masyarakat dari generasi ke generasi. Tuhan menampakkan diri-Nya bukan saja pada Nabi-Nabi yang dikenal dalam Alquran, tetapi pada setiap umat sejak awal penciptaan. Sungguh, tiap-tiap umat terdapat seorang pembimbing untuk menyeru kepada Allah dan menjauhi thagut… (QS. An-Nahl [16]: 36).

Baca Juga:  Membaca Alquran ala Fazlur Rahman

Hanya saja, boleh jadi karena kultur dan situasi sosial yang berbeda, sehingga simbol-simbol untuk menunjuk kepada Allah dan untuk menjauhi thagut dengan simbol yang berbeda, namun memiliki kesamaan makna. Seharusnya ini menyadarkan kita, bahwa sebagai seorang salik di jalan-Nya. Untuk apa merendahkan dan menghina jalan-jalan lain, toh pada akhirnya kita akan bertemu/berjumpa dalam satu alam yang sama.

 

0 Shares:
You May Also Like