Membaca Kunci Peradaban Intelektual, Moral dan Spiritual

Oleh: Dayu Aqraminas

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Direktur Ma’had Tarbiyah al-Mujahadah

Indonesia memiliki tingkat literasi—membaca—sangat rendah di dunia. Jangan kaget, lebih baik kita memulai untuk membudayakan membaca saat ini juga. Seharusnya masyarakat menyadari hal ini, terutama umat Muslim. Untuk apa membanggakan kuantitas identitas agama—Islam—kalau faktualnya banyak nilai-nilai ajaran agama diabaikan!

Dalam Islam sendiri,  aktivitas membaca sudah dianjurkan secara eksplisit di dalam Alquran. Tidak percaya? Mari kita telusuri lebih jauh. Diksi yang digunakan oleh Alquran—untuk merepresentasikan istilah membaca—adalah iqra’ yang berakar dari kata qara’a. Menurut Hans Wehr, kata ini memiliki arti to read, to declaim, to peruse yang semua ini dikonvergensikan kepada arti “membaca”. Menurut Ibn ‘Asyur dalam Tahrīr wa Tanwīr, kata iqra’ merupakan diksi perintah (interjeksi) untuk membaca pada suatu objek—qirā’ah—baik itu berbentuk teks maupun hafalan.

Mayoritas interpretasi ulama tafsir, kata iqra’ merupakan kewajiban seseorang Muslim untuk membaca Alquran. Tentunya spektrum bacaan tidak hanya dibatasi kepada Alquran, membaca bisa diartikan kepada kesadaran sensorial, intlektual, emosional, dan puncaknya adalah spiritual. Untuk sampai kepada makna kesadaran spiriual, yang bersangkutan harus bereksperimen terhadap bahan-bahan bacaan secara ekstensif dan komprehensif.

Dengan demikian, kata iqra’ tidak memiliki makna tunggal—hanya membaca teks Alquran—tetapi memiliki makna yang beragam, inilah yang dikehendaki oleh al-Suyūtī di dalam al-Itqān fī ‘Ulūm Alqur’an, bahwa satu term ayat tidak bisa dipahami dengan makna tunggal. Karena setiap diksi di dalam Alquran memiliki makna-makna yang tidak terbatas.

 

Membaca Bisa Mengubah Segalanya

Ayat yang sering digunakan bahan evolusi adalah, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka…” (QS. al-Ra’d [13]: 11). Menurut Malik Bennabi—terkenal dengan teori peradaban—ayat ini tidak cukup dijadikan sebagai selogan tabāruk bi Kalām Allah dalam mewujudkan evolusi. Lebih dari itu, ayat ini seharusnya dijadikan sebagai sarana-sarana (wasā’il) optimis untuk memulai perubahan.

Baca Juga:  Derita itu Bahagia?

Sarana yang dimaksud adalah “membaca”. Membaca menjadi sarana fundamen dalam mengkonfigurasikan evolusi. Kurangnya membaca menjadikan takut dengan perubahan. Bila rasa takut mendominasi, maka hanya mono-instrumen untuk menciptakan perubahan. Itu pun belum tentu ada jaminan agar terwujudkan perubahan.

Lantas perubahan apa yang dihasilkan? Dengan merujuk makna-makan iqra’ yang telah disebutkan sebelumnya, tentu memberikan efek besar untuk perubahan. Pertama, mengubah cara berpikir. Ini bisa dihasilkan melalui implementasi kesadaran sensorial (tadabbur) dan intelektual terhadap sumber bacaan. Jaudat Sa’id dalam bukunya Iqra’ wa Rabbuka al-Akram menyatakan, seseorang yang membaca secara luas dan disertai dengan ketelitian menjadikannya pribadi yang alim. Dia bisa mengatasi perbedan-perbedaan, bahkan bersikap toleran terhadap perbedaan-perbedaan.

Sikap seperti ini sangat dibutuhkan di negeri ini, sampai saat ini kita masih melakukan ritual debat kusir dalam persoalan furu’iyyah. Ini persoalan serius, bagaimana kita bisa melangkah lebih maju, memperbaiki internal masih cukup sulit. Bisa dipahami, mereka yang masih mempertontonkan perdebatan seperti ini disebabkan kurangnya membaca.

Di Indonesia saat ini sangat melimpah penceramah, namun surplus pembaca. Berdakwah merupakan keharusan, namun menjadi seorang perceramah seharusnya untaian kata yang dikeluarkan oleh penceramah memiliki kredibelitas dari hasil membaca. Bahkan Imam al-Ghazalī, meninggalkan jabatan sebagai dosen untuk memuaskan hasratnya, agar bisa membaca diri sendiri dan membaca realitas yang tampak, sehingga ia mampu menulis buku berjudul Ihya’ ‘Ulum al-Din. Begitu juga Syaikh Badruddin al-Dimasqī, menahan dirinya untuk menulis selama sembilan tahun, yang kemudian dialihkan kepada kepuasan untuk membaca.   

Harus diakui, kita yang hidup pada masa ini harusnya bersyukur. Kita memiliki akses-akses sumber bacaan begitu melimpah yang bisa diakumulasikan. Jaudat Sa’id menceritakan, perbedaan ulama sekarang—kontemporer—dengan dahulu-konservatif—bukan soal kecerdasan, melainkan kehebatan dalam mengakumulasi sumber informasi bacaan ulama dulu. Ini disebabkan perubahan masa ke masa, akan semakin bertambah bahan bacaan untuk dijadikan informasi-informasi.

Baca Juga:  (CUMA CURHAT, TIDAK ILMIAH) SOAL BIGOTRY DI TEMPAT YANG SEHARUSNYA BEBAS DARI ITU

Kegiatan akumulasi ini bertujuan untuk mencari istifadah (mengambil manfaat) dalam menyelesaikan permaslahan yang ada. Problematika yang terjadi saat ini belum tentu fitur-fitur yang telah dibangun oleh ulama dahulu bisa diaktualisasikan untuk saat sekarang, ini tentu membutuhkan bacaan-bacaan. Dan ini akan selalu berkembang, boleh jadi masa akan mendatang lebih kaya lagi dalam mengakumulasikan sumber bacaan saat ini, untuk dijadikan bahan komparatif.

Kedua, membaca untuk membangun spritualitas. Perubahan ini merupakan puncak dari membaca. Mereka yang membaca secara ekstensif dan komprehensif akan menjadi pribadi ihsan. Menurut Haidar Baqir, pembicaraan tentang ihsan sangat luas, karena mencakup semua unsur-unsur dalam Islam. Ihsan menjadi puncak beragama, namun sering dilupakan. Paling tidak ihsan mengajarkan bagaimana ekspresi rahmat, pemaaf, sabar dan tindakan tasawuf lainnya. Ini semua terwujud disebabkan membaca.

Sekali lagi, perubahan ini semua dihasilkan dari membaca. Karena membaca bisa mengubah segala aspek kehidupan. Kira-kira apakah sudah ada kesadaran untuk membaca hari ini?      

0 Shares:
You May Also Like