Mengapa Harus Aktif Berliterasi?

Oleh: M. Khusnun Niam

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni IAIN Pekalongan

Dewasa kini, khasanah keilmuan semakin maju dan berkembang pesat dalam dunia intelektual, terkhusus perihal keislaman. Banyak kajian-kajian agama, terkhusus Islam, baik berupa buku yang telah dikodifikasi maupun berupa file atau gambar yang disebarkan melalui media sosial. Kabar baik ini memberikan dampak positif bagi para pengkaji baru untuk ikut serta dalam memaksimalkan dunia intelektual, sehingga, akan memberikan suntikan kontribusi positif terhadap pemahaman nalar dan pedoman, historisitas dan normativitas, objektifitas dan subjektifitas, yang tentunya menambah keluasan dunia intelektual.

Intelektualitas tidak bisa terlepas dari fase filterisasi sumber, entah dari proses mendengar, membaca ataupun hikmah dan logika. Dalam hal ini, tulisan ini mengerucut pada polemik minimnya budaya baca di suatu wilayah, sehingga yang terjaring dalam diskusinya serat dengan fakta sosial dan tindakan sosial. Meskipun demikian, tulisan ini tidak terlalu mengikut sertakan tokoh pemikirannya. Dalam hal ini seperti halnya Bang Emile Durkheim dan Bang Max Weber, tulisan ini mengajak kita untuk melakukan refleksi kritis terhadap diri kita dan konstruk sosial.

Minimnya budaya baca sudah menjadi fakta yang terjadi dalam lingkungan sosial. Hal ini menjadi persoalan penting dalam dunia intelektualitas, artinya berdampak pada mundurnya konstruksi sosial yang dilanggengkan dalam masyarakat sehingga masyarakat menjadikan hal itu sebagai sesuatu yang maklum atau wajar bahkan menjadi tolak ukur baik dan buruk ataupun salah dan benar. Persoalan seperti ini perlu dikaji kembali guna meningkatkan mutu akademis baru yang tidak kepaten obor (buta sejarah), buta pemikiran, dan buta perihal lain tentang keagamaan.

Problem seperti di atas sangat sarat dengan konteks sosiologi, sehingga kemungkinan besar disebabkan oleh dua faktor yakni faktor individu dan faktor lingkungan atau sosial. Dalam hal ini, hilangnya minat baca kemudian berdampak pada minimnya literasi dan berefek pada kebutaan akan suatu fakta dalam sejarah juga agama serta keilmuan lain akan memudahkan doktrin dan berita tidak benar mudah dipercaya oleh individu dan masyarakat, sehingga dari persoalan mikro akan menjadi makro ketika hal itu tidak dikontrol oleh kesadaran pentingnya membaca.

Baca Juga:  Muhammad-kan Hamba ya Rabb

Terdapat beberapa kemungkinan di antaranya ialah karena individu telah dikonstruk oleh paradigma lingkungan bahwa teori itu tidak akan membuatmu kaya kecuali kamu kerja, sehingga yang tercipta adalah individu yang prospeknya hanya ke arah kerja kerja dan kerja. Bukan itu saja, individu juga dibentuk lingkungan untuk selalu berada dalam peraturan lingkungan yang telah dikonstruk sosial, artinya sesuatu yang tidak sesuai akan dipandang unik, aneh, bahkan bodoh. Sehingga, memiliki kemungkinan terburuk yakni dikucilkan.

Selain itu, problem demikian juga didasari oleh minimnya kesadaran individu sebagai makhluk yang berakal, sehingga tidak ada proses berfikir untuk menjadi agen revolusi yang memajukan dirinya juga lingkungan masyarakat. Hal tersebut berdampak pada mudahnya menerima sesuatu yang ada dan mudah terdoktrin suatu paham. Bukan itu saja, hal itu juga menjadikan individu sebagai makhluk yang berpandangan bahwa kekayaan adalah kebahagiaan yang hakiki dan mengejar teori hanya akan menyebabkan miskin.

Jika diamati, problem ini sarat dengan posisi agama dalam pemikiran dan sebagai teks atau dalam istilah kajian aspek historisitas dan normativitas agama, sehingga yang terbentuk adalah individu yang terus saja mengikuti arus ketidakadilan bagi intelektualitas dirinya yang terus dilanggengkan dalam konstruk sosial dan memberikan dampak buruk pada terciptanya sesuatu yang baru karena tidak sesuai dengan konstruk sosial.

Dalam sekilas, ulasan ini mengajak kita untuk mulai sadar pentingnya budaya baca demi terciptanya kemajuan diri hingga lebih ke taraf yang lebih baik yakni dapat berdampak atau memberikan konstribusi pada lingkungan, sehingga membentuk paradigma baru dalam konstruk sosial dan merubah kekakuan tradisi, karena kita bukan ikan yang akan cepat mati jika melawan arus. Kita perlu berevolusi dan ikut serta dalam dunia intelektualitas, meskipun hanya sekedar reviewer. Kesadaran intelektual perlu dipupuk kembali demi terciptanya generasi kritis dalam keilmuan, terkhusus Islam. Adapun solusi tepat dalam permasalahan ini ialah upaya meningkatkan kesadaran diri sendiri juga masyarakat dalam memahami pentingnya literasi untuk ikut serta dalam lingkaran pemikiran atau kajian intelektual Islam.

Baca Juga:  MERAIH PAHALA RAMADHAN DI SEPANJANG TAHUN

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Pemuda Profetik

Oleh: Himran Alumni Jurusan Sosiologi Universitas Tadulako Palu Sedikit mencurahkan refleksi pemikiran berkaitan dengan momentum  hari kelahiran sosok…