MEMBANGUN PERADABAN DENGAN FILSAFAT

Peradaban adalah kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan intelektual yang kita bangun dan kita hidup di dalamnya. Ia seperti rumah, yang kita bangun untuk melindungi diri dan keluarga supaya hidup kita berjalan baik, aman, dan nyaman.

Akan tetapi, tidak selalu kita berhasil membangun rumah yang seperti itu. Seringkali kita harus menghadapi berbagai masalah yang menguras waktu dan tenaga, justru ketika orang lain sudah mampu membangun peradaban maju, humanis, dan produktif.

Saat itulah pandemi COVID-19 menunjukkan wajah kita yang sebenarnya. Ketika dunia bekerja sama dan bekerja keras memaksimalkan kemampuan untuk menekan angka penderita COVID-19, Indonesia masih harus terus berjibaku menghadapi warganya yang tidak disiplin mematuhi protokol kesehatan. Akibatnya jumlah penderita dan korban jiwa terus meningkat secara drastis dari hari ke hari.

Ada apa gerangan dengan kita? Apa yang salah dengan peradaban kita? Jawabannya bisa beragam. Tapi, sebagai warga negara Indonesia, yang mengaku bahwa agama adalah hal penting dalam hidupnya, kiranya tak perlu rasa ragu untuk meneliti persoalan ini dari aspek agama.

Sadarkah Anda bahwa sebenarnya ada perbedaan yang sangat besar antara mengaku memeluk agama dan mengetahui fungsinya dalam kehidupan? Selama ini kita hanya memeluk agama tapi tidak tahu tentang fungsinya. Akhirnya agama pun disalahpahami. COVID-19 adalah buktinya. Terjadi polarisasi di masyarakat karena masih ada saja yang menolak eksistensi virus ini dan keharusan menanganinya.

Coba tanya mereka, mengapa. Katanya, “Allah Mahakuasa, Dia yang akan melindungi kita, bukan masker”. Di atas mimbar-mimbar Jumat dikatakan, “Protokol kesehatan itu konspirasi orang kafir supaya kita jauh dari agama, jauh dari masjid, dan tidak bersilaturahmi”. Apakah masih perlu bukti lain untuk menunjukkan bagaimana agama disalahpahami?

Baca Juga:  Hijrah (3) : Hijrah dari Masyarakat Jahiliyah

Biasanya Anda dan saya tidak akan peduli dengan itu semua. Untuk apa peduli pada urusan dan masalah orang lain, jika setiap hari Anda sendiri sudah capek menghadapi pekerjaan dan rumah tangga. Di sinilah, lagi-lagi, COVID-19 menyadarkan kita sesuatu. Karena kebodohan satu orang, maka jutaan orang bisa tertular virus mematikan. Karena satu orang tidak peduli, maka jutaan orang harus terjebak dalam isolasi tak berkesudahan.

Mungkin selama ini kita terjebak ilusi, bahwa, seolah tidak ada masalah dengan peradaban kita, dan seolah tanpa kita peduli dan berpartisipasi, semua akan baik-baik saja. Hari ini kita tidak bisa bilang seperti itu lagi.

Faktanya krisis multidimensi yang kita rasakan, pertama-tama, adalah karena kita tidak peduli pada peradaban bersama. Kita harus sudahi ilusi tersebut. Umat Islam seharusnya menjadi yang paling depan dalam usaha membangun peradaban dunia yang lebih baik.

Akan tetapi, persoalan peradaban tidak akan semudah yang kita bayangkan. Sikap-sikap beragama dan lembaga-lembaga keagamaan yang kita bangun punya sejarah dan genealogi yang panjang di masa lalu. Artinya ia sudah sangat mengakar dalam kesadaran masyarakat kita. Itu juga sangat menjelaskan mengapa ada orang yang sudah menjadi dokter ataupun doktor justru beragama secara tidak rasional, menolak gagasan negara-bangsa, menolak teori evolusi, menolak nasionalisme, menolak institusi bank modern, dan menolak COVID-19.

Karena sikap-sikap semacam ini sudah sangat mengakar, maka solusi untuk menghadapinya juga harus sesuatu yang kuat dari akarnya. Di situlah letak dan fungsi Filsafat Islam. Filsafat Islam adalah sebuah disiplin ilmu dan disiplin hidup berasaskan iman kepada Allah dengan tujuan menciptakan maslahat hidup di dunia melalui cara-cara yang adil, rasional, empiris, dan bertanggung jawab.

Baca Juga:  Kritik Filsafat Ibn Rusyd terhadap Kelompok Lahiriah

Filsafat Islam adalah yang pertama membangun proyek integrasi ilmu pengetahuan yang menjadi jalan bagi lahirnya kerja sama multidimensi, multietnis, dan multireligi. Filsafat Islam menghimpun ilmu-ilmu lainnya di dalam dirinya untuk membentuk pemahaman manusia yang holistik dan sintesis. Sifat holistik dan sintesis ini penting diingat, karena itulah ciri utama Filsafat dan tujuan eksistensialnya dalam diri manusia.

Filsafat adalah bentuk usaha keras seseorang untuk menemukan pemahaman yang utuh akan sistem realitas yang akan membimbingnya menemukan akhlak yang juga utuh dalam interaksi sosial.

Untuk itulah klasifikasi ilmu sangat penting dalam dunia Filsafat Islam. Klasifikasi ini menjelaskan jaring laba-laba ilmu pengetahuan yang penting dan krusial dalam kemanusiaan seseorang.

Berbeda dengan tradisi sekuler Barat dan tradisi ortodoksi Islam yang dikotomis, fragmentatif, dan diskriminatif terhadap beberapa cabang ilmu, Filsafat Islam justru membangun rumus kesatupaduan antar ilmu dalam klasifikasi ilmu pengetahuan.

Kita ambil satu contoh penjelasan klasifikasi ilmu pengetahuan ini dari Ibnu Sina, sebagaimana dijelaskan Haidar Bagir dalam Mengenal Filsafat Islam (2020).

Ibnu Sina membagi Filsafat menjadi dua: Filsafat Teoritis dan Filsafat Praktis. Filsafat Teoritis mencakup ilmu logika (manthiq), ilmu matematika (riyadhiyat), ilmu fisika (filsafat alam atau thabi’iyat), dan ilmu metafisika (ma ba’da al-thabi’ah atau ilahiyyat). Termasuk ke dalam ilmu fisika di atas adalah ilmu tentang kelahiran (generation) dan kehancuran (corruption) alam semesta (kosmologi), gerak, kausalitas, dan juga ilmu-ilmu mineralogi, botani, zoologi, meteorologi, dan astronomi.

Sementara Filsafat Praktis mencakup ilmu etika, ilmu politik, dan ilmu ekonomi. William Chittick (2010) menyimpulkan bahwa Filsafat Islam adalah tradisi tahqiq (realisasi) bukan tradisi taqlid (ikut-ikutan), di mana ada empat ranah ilmu yang harus direalisasi. Mereka adalah metafisika, kosmologi, psikologi spiritual, dan etika.

Baca Juga:  Hijrah (2): Titik Balik Peradaban

Selain klasifikasi ilmu, prinsip kausalitas (sebab-akibat) juga merupakan proyek besar yang digagas oleh Filsafat Islam. Menurut Abul Walid Ibn Rusyd (Fakhry, 2018), kausalitas adalah prinsip utama dalam semua disiplin ilmu.

Penolakan terhadap kausalitas menyebabkan orang mengingkari sebab-sebab alami maupun adialami terhadap sebuah peristiwa. Dengan menolak kausalitas orang meletakkan absolutisme tertentu yang tidak rasional untuk menjelaskan suatu kejadian.

Penyangkalan sebab-sebab efisien yang diamati dalam objek-objek empiris adalah sebentuk sesat-pikir (sophistry). Secara rasional tak ada orang yang dapat menyangkal bahwa setiap tindakan atau kejadian memiliki suatu sebab yang mendasari.

Para filsuf menyatakan bahwa menyangkal kausalitas sama saja dengan menolak pengetahuan seutuhnya, dan karenanya, juga menolak seluruh diskursus ilmiah, seperti halnya yang dilakukan para skeptis dan agnostis.

Begitulah di antaranya yang diajarkan Filsafat Islam kepada kita. []

0 Shares:
You May Also Like