Belum lama ini, seorang selebritas yang membaca dan memosting halaman tanda tangan saya di buku Mengenal Filsafat Islam di akun instagramnya, mendapatkan komen berupa kata-kata kasar, karena di halaman yang sama buku tersebut tertera (potongan) hadis yang berbunyi : “Tiada agama bagi yang tak memiliki akal”. Betapa terkejutnya dia, melihat sigapnya orang-orang itu mendiskreditkan akal atas nama agama. Hare gennee ada orang masih membenci akal? Memang, belakangan ini, ada kecenderungan ketika kita menunjukkan kemuliaan akal dalam ajaran Islam, tak sedikit orang yang akan mengecam, bahkan menyesatkan kita. Aneh tapi nyata! “Hadis itu palsu”, kata mereka. Bahkan, tak urung meruap bahwa itu dusta atas nama Rasulullah saw.
Maka, marilah kini kita lihat dengan jernih duduk perkaranya.
Pertama, jika pun (potongan) hadis yang memuliakan akal tersebut divonis sebagai dha’if (lemah) oleh para—tidak semua—ahli hadis, kita perlu tahu bahwa banyak sekali hadis lain yang memuliakan akal. Imam Ghazali dalam Ihya’, misalnya—meski tak urung tak sedikit hadis yang dikutipnya tentang akal juga di-dha’if-kan ahli hadis—mengutip puluhan hadis yang menunjukkan kemuliaan akal. Hadis “Laa diina li man laa ‘aqla lah” itu sendiri diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya (seorang ahli hadis terkemuka). Memang tak sedikit ahli hadis men-dha’if-kan, bahkan mem-bathil-kannya. Tapi, hadis yang sangat sejalan dengan itu dan di-shahih-kan para ahli hadis bukannya tidak ada. Misalnya, “Tak sempurna akhlak seseorang (ingat: di tempat lain Nabi bersabda: “Agama itu akhlak” dan bahwa beliau “diutus—membawa agama Islam—hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia”) jika tidak sempurna akalnya”. Jadinya sama sekali maknanya, bukan? Jadi, kalau pun (potongan) hadis “Tak ada agama bagi yang tak memiliki akal” itu benar dha’if—yakni dari segi sanad (mata-rantai periwayatan)-nya, karena memang kriteria ahli hadis men-dha’ifkan-nya adalah oleh sebab adanya salah seorang periwayat yang tak bisa dipercaya dalam mata rantai periwayatannya—maka setidaknya matan (kandungan)-nya bisa dibenarkan. Atau, dengan kata lain, hadis tersebut bisa dikatakan shahih li ghayrih (sahih karena dikuatkan oleh hadis lain yang sahih).
Di luar itu semua, saya kira tidak ada seorang pun pembaca Al-Qur’an yang akan gagal melihat betapa banyaknya ayat-ayat yang memuliakan kegiatan berpikir dengan menggunakan akal. Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung kata kerja menggunakan akal—yakni dalam bentuk ya’qilun dan ta’qilun—masing-masing muncul dalam Al-Qur’an sebanyak 22 dan 24 kali. Di samping itu, ada juga kata na’qilu dan ya’qiluha serta ‘aqaluhu yang masing-masing disebut sekali dalam Al-Qur’an. Kesemuanya dalam konteks menunjukkan kemuliaannya dalam pencapaian kebaikan-kebaikan yang diajarkan agama.
Kalau sudah begini, masihkah kita meragukan kesahihan kandungan hadis-hadis tentang posisi mulia akal dalam hadis-hadis tentangnya?
Sebagai catatan akhir, perlu saya sampaikan bahwa yang dimaksud dengan “akal” di sini tentu saja adalah akal yang sehat, yang lurus, yang dipakai secara tulus untuk mencari kebenaran, dan bukan akal yang bengkok, dan/atau yang dikuasai oleh hawa nafsu. Yang, dalam dunia pemikiran ilmiah, juga memenuhi kriteria taat asas (koheren) dalam metodologi penerapannya. Yakni, akal yang beroperasi dalam suatu cara yang berkesesuaian dengan hati yang bersih. Memang, makna akal dalam hadis “Tak ada agama bagi yang tak punya akal”, dan hadis-hadis sejenis lainnya yang sejalan, seharusnya tak dipahami kecuali dalam makna ini. Sehingga, kita tak melihat dalam akal kecuali kebaikan agama seseorang. Semoga Allah swt. selalu mengaruniai kita akal yang sehat, lurus, dan bersih dari hawa nafsu, agar kita selalu bisa menjadi makin dekat dengan Allah swt. makin taat kepada-Nya, dan makin baik akhlak kita.