Hijrah (3) : Hijrah dari Masyarakat Jahiliyah

Oleh: Bil Hamdi

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra

Arab sebelum Islam sering diidentikan dengan masyarakat yang kasar, emosional dan suka berperang. Mereka adalah kelompok orang yang suka berkelana mengarungi luasnya gurun-gurun tandus demi mencari tempat yang subur dan memiliki sumber air. Kehidupan yang keras dan sulit itu telah membentuk watak dan kepribadian mereka. Demi bertahan hidup, mereka tak segan menjarah kafilah-kafilah dagang yang melintasi gurun. Bahkan, mereka sanggup berperang antar sesama hanya karena memperebutkan sebuah sumur. Tak ada aturan yang mengikat ataupun undang-undang yang mengatur bagaimana mereka seharusnya menjalani kehidupan. Hal itulah yang membuat mereka di kemudian hari akan dikenang sebagai masyarakat jahiliyah.

Sifat dan watak itu bertahan bahkan ketika mereka memutuskan untuk berhenti berkelana. Sebagian dari mereka pada akhirnya ada yang menetap dan membuat pemukiman permanen. Makkah, tempat kelahiran Nabi adalah salah-satunya. Saat itu orang-orang dari garis keturunan yang memiliki kakek buyut yang sama akan berkumpul  membentuk komunitas yang disebut kabilah (suku). Kabilah Hasyim misalnya, terdiri dari anak-cucu keturunan Hasyim, begitu pula kabilah-kabilah yang lainnya. Kabilah-kabilah itu akan dipimpin oleh seorang kepala suku yang dipilih berdasarkan kekuatan dan pengaruh serta wibawa mereka dalam komunitas. Dan Nabi Muhammad adalah bagian dari kabilah Hasyim yang mana saat itu dikepalai oleh Abdul Muthalib (kakeknya).

Berbeda dengan kota-kota lain, Makkah adalah kota suci yang di dalamnya terdapat ka’bah—rumah suci Tuhan yang dibangun oleh Ibrahim dan Ismail. Tiap tahun di bulan haji, orang-orang  dari penjuru jazirah Arab akan datang mengunjungi Makkah untuk melaksanakan haji. Namun, kepercayaan di Makkah saat itu telah bercampur aduk dengan penyembahan terhadap berhala. Di sekeliling ka’bah berjejer berhala-berhala yang telah disembah dari generasi ke generasi tanpa ada yang menggugat. Sebuah keyakinan yang telah mengakar sejak nenek moyang.

Baca Juga:  Muhammad Iqbal Bicara Mengenai Kesetaraan

Di samping itu, terdapat permasalahan lain yang juga cukup krusial yakni masalah keadilan. Makkah sebagai kota suci, tidak dipungkiri lagi akan mendatangkan banyak peziarah dari berbagai penjuru. Hal ini rupanya dimanfaatkan oleh kalangan elit Makkah untuk meraup keuntungan melalui transaksi-transaksi kotor. Sebagaimana sering diungkap oleh para orientalis, mereka tak ubahnya seperti pejabat korup di era modern. Suka mengambil keuntungan, bahkan dari orang-orang yang memiliki niat tulus ingin mengunjungi kota suci. Mereka sangat ahli dalam memonopoli perdagangan dan praktik kotor lainnya. Lagi-lagi tak ada yang menggugat.

Selanjutnya, masyarakat Arab pada umumnya, dan khususnya Makkah merupakan masyarakat patriarki yakni masyarakat yang menempatkan derajat laki-laki berada di atas perempuan. Al-Qur’an akan merekam bagaimana praktik-praktik kekejaman yang dilakukan kalangan laki-laki terhadap perempuan di Arab mulai dari pengabaian, pemerkosaan hingga pembunuhan. Saat itu  perempuan dianggap sebagai tak lebih dari pemuas nafsu laki-laki, dan selainnya hanyalah makhluk yang mendatangkan fitnah dan bencana. Dan lagi-lagi praktik semacam itu bertahan tanpa gugatan.

Perbudakan juga merupakan masalah lain yang menunjukkan betapa Makkah saat itu jauh dari kata keadilan. Seseorang yang lahir sebagai budak, akan mati dalam keadaan menjadi budak, anak-anak mereka pun akan menjadi budak dan mereka akan selalu diperlakukan sebagai budak. Diperjual-belikan, ditendang, dipukul, serta diperlakukan selayaknya benda tak bernyawa. Mereka lahir tanpa kebebasan. Keadaan seperti itu pun tak pernah dipermasalahkan. Seolah itu adalah keadaan alamiah di mana beberapa orang akan lahir sebagai manusia merdeka, namun sebagian lainnya lahir tanpa memiliki hak dan pilihan dalam menjalani hidup.

Praktik-praktik semacam itu bertahan dari generasi ke generasi tanpa ada yang mengganggu, sehingga praktik itu telah sampai pada tahap dianggap sebagai keadaan alami atau telah menjadi hukum alam. Bisa kita bayangkan bagaimana jadinya bila ada orang yang berani menggugat keadaan yang sudah kokoh semacam itu. Dan,  siapa sangka itulah yang dilakukan oleh Muhammad saw., seorang yang dulu hanyalah bocah yatim-piatu yang mulai membaik hidupnya. Nabi menggugat segala ketidakadilan yang terjadi di Makkah. Apa yang terjadi selanjutnya adalah gejolak sosial. Terjadi kekacauan di Makkah. Orang-orang—terutama dari kalangan elit Makkah—mulai melakukan penolakan terhadap ajaran Nabi yang dianggap mengganggu stabilitas sosial.

Baca Juga:  Intelektualitas Manusia Menurut Ibn Sina

Di usianya yang memasuki 40-an, setelah turunnya wahyu Nabi mulai mendakwahkan ajaran tauhidnya secara sembunyi-sembunyi. Ia mengajak penduduk Makkah untuk menyembah Tuhan Yang Esa dan meninggalkan berhala-berhala. Tumbuh sebagai anak yang sebatang kara, Nabi menjadi begitu peka akan nasib mereka yang terpinggirkan. Didorong oleh wahyu Tuhan, ia mulai mengajak warga Makkah secara terang-terangan untuk beriman serta meninggalkan praktik-praktik jahiliyah yang masih mereka lakukan.

Dakwah Nabi mulanya hanya mendapatkan dukungan dari kalangan-kalangan bawah (proletar) seperti budak, wanita, janda-janda dan orang-orang miskin. Mereka merasa ajaran yang disampaikan Nabi adalah ajaran yang benar karena memperjuangkan keadilan yang berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, kita tidak bisa mengharapkan terjadinya sebuah gerakan revolusioner dari sekelompok kecil orang-orang lemah.

Nabi dan pengikutnya kemudian mendapatkan perlakuan yang kejam berupa penyiksaan dan penganiayaan oleh kalangan elit jahiliyah. Nabi telah mengusik sumur air mereka, sehingga watak kejahiliyahan mereka bangkit. Untuk menghentikan dakwah Nabi, elit Makkah sanggup melakukan apapun mulai dari ancaman verbal hingga kekerasan fisik. Nabi dan kaumnya takkan mampu melawan.

Kita akan mudah merasakan bagaimana kesalnya kalangan elit Makkah menghadapi dakwah Nabi. Mereka yang melihat sendiri bagaimana Muhammad kecil hanyalah bocah yang tak berdaya sekarang malah melakukan perlawanan terhadap mereka. Apalagi perlawanan itu langsung menyerang keyakinan dan kepercayaan yang sudah bertahan dari nenek moyang dulu.

Agar pembaca mudah untuk membayangkan kekesalan elit Quraisy terhadap Nabi, sekarang coba pikirkan tentang sebuah kepercayaan yang paling diyakini pembaca dalam hidup. Lalu, bayangkan ada seorang yang menyalahkan keyakinan itu dan orang yang menyalahkan itu bukanlah orang yang berpengaruh besar. Nah, kira-kira begitulah yang dirasakan kalangan elit Makkah ketika Muhammad hadir dengan gagasan tauhidnya. Gagasan itu langsung menyerang seluruh fondasi keyakinan dan keimanan mereka. Lebih dari itu, Nabi telah berusaha memperjuangkan keadilan dalam kehidupan seperti kemerdekaan budak, kesetaraan gender serta nilai-nilai kebaikan seperti kejujuran dan akhlakul karimah. Hal ini juga sangat mengganggu bagi elit Makkah, sebab ide-ide semacam itu belum ada sebelumnya. Yang terpenting lagi, gagasan yang dibawa Muhammad saw. berpotensi mengganggu kekuasaan mereka di Makkah.

Baca Juga:  Menghayati Tujuan dan Pelajaran dari Surat Al-'Ashr

Selanjutnya, kita akan melihat respon dari elit Makkah yang berusaha menyudutkan dakwah Nabi dengan terus melakukan serangan, penghinaan, cacian dan makian. Segala hal yang mereka pikir akan membuat Muhammad saw.  menghentikan dakwahnya. Namun, tampaknya gerakan yang telah dimulai oleh Muhammad saw. sudah tak dapat dihentikan lagi. Dakwah itu akan bertahan di Makkah selama 13 tahun. Masa-masa penuh penderitaan menegakkan akidah Islam. Hingga datang perintah dari Allah, sekaligus kesempatan yang datang dari negeri Yatsrib untuk hijrah.

Hijrah yang bukan saja bermakna pindah dari Makkah ke Madinah, melainkan juga berarti pindah dari zaman kegelapan menuju masa yang terang benderang. Dari masyrakat jahiliyah menuju masyarakat madani.

0 Shares:
You May Also Like