Guru Sufi tertentu Menerima Ajaran Tambahan dari Nabi di Luar Al-Qur’an dan Hadis. Benarkah ?

Wali quub dan pakar tasawuf (sufisme) terkemuka, Imam ‘Abdul Wahhâb asy-Sya‘rânî, menyebutkan bahwa ada beberapa tokoh wali yang memiliki kemampuan bertanya langsung kepada Rasulullah saw. (yang secara jasmani sudah wafat) mengenai suatu masalah. Dalam hal ini, ketika mereka tidak menemukan dalil sunah mengenai masalah tertentu yang sedang dihadapi, maka mereka menghadap Rasulullah saw. dengan kesungguhan hati. Mereka langsung menanyakan masalah tersebut kepada Rasulullah saw. setelah berada di hadapannya, dan mereka mengamalkan apa (ajaran) yang disampaikan oleh Rasulullah saw. mengenai masalah tersebut (Tanbîh al-Mugttarrîn, penerbit Syirkah an-Nûr Âsiyâ, hlm. 7).

Menurut Imam asy-Sya‘rânî, wali yang memiliki maqâm (kedudukan) bisa menghadap dan bertanya langsung kepada Rasulullah saw. mengenai masalah tertentu tidak patut menyuruh orang lain untuk mengamalkan apa (ajaran) yang disampaikan oleh Rasulullah saw. mengenai masalah tersebut. Sebab, ia merupakan ajaran tambahan bagi ajaran-ajaran Rasulullah saw. yang disebutkan secara naql dalam hadis-hadis sahih (hlm. 7).

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyuruh orang lain untuk mengamalkan ajaran tambahan itu, maka dia memberikan beban yang menyusahkan kepada orang lain. Namun, jika orang lain tersebut ingin mengerjakan ajaran tambahan itu atas kemauan dirinya sendiri, maka hal ini boleh dilakukan (tidak berdosa), sebagaimana bolehnya bertaklid kepada para imam mazhab yang mampu berijtihad dan mengeluarkan (istinbâ) hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan hadis (hlm. 7).

Menurut Habib Zein bin Smith, melaksanakan perintah atau larangan Rasulullah saw. yang diberikan lewat mimpi adalah sunah selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariat Islam. Ia hanya berlaku kepada orang yang bermimpi, dan tidak berlaku kepada orang lain. Akan tetapi, jika Rasulullah saw. menyuruh menyebarkan perintah atau larangan tersebut kepada orang lain, maka dia (orang yang bermimpi) harus menyebarkannya (Al-Fawâ’id al-Mukhtârah, 2008: 594).

Baca Juga:  Jejak Sufi Perempuan (2): Fatimah al-Naisaburiyyah, Guru Dzun Nun al-Misri

Imam Jalâluddîn as-Suyûṭî pernah bertemu Rasulullah saw. dalam keadaan terjaga sebanyak 73 kali lebih. Dalam salah satu pertemuan agung itu, Imam as-Suyûṭî bertanya kepada Rasulullah saw. seraya berkata: “Apakah saya termasuk ahli surga, wahai Rasulullah?” Rasululullah saw. menjawab: “Iya.” Beliau bertanya lagi: “Tanpa disiksa terlebih dahulu?”. Pertanyaan itu dijawab oleh Rasulullah saw. bahwa Imam as-Suyûṭî akan masuk surga tanpa disiksa terlebih dahulu (Habib ‘Alawî bin Aḥmad al-Ḥaddâd, Syar Râtib al-addâd, 1993: 198).

Salah satu cara agar bisa bertemu Rasulullah saw. dalam keadaan terjaga adalah mengamalkan seluruh isi kitab Bidâyah al-Hidâyah karya Imam al-Gazâlî. Menurut Habib ‘Alî bin Muḥammad al-Ḥabsyî (Pengarang Mawlid Simtud Durar), Bidâyah al-Hidâyah adalah kitab agung yang mengandung ilmu lahir dan batin. Banyak orang yang bisa bertemu dan berkempul dengan Rasulullah saw. dalam keadaan terjaga setelah mengamalkan seluruh isi Bidâyah al-Hidâyah (Habib Zein bin Smith, al-Manhaj as-Sawiyy Syar Uûl arîqah as-Sâdah Âli Bâ‘Alawiyy, 2005: 257).

Beberapa Ajaran Tambahan yang Masih Diajarkan hingga Sekarang

Salah satu bentuk ajaran tambahan yang diberikan oleh Rasulullah saw. (yang secara jasmani sudah wafat) dan diperintahkan agar disebarkan kepada orang lain adalah Zikir al-Makhû (lâ ilâha illallâh muammadur rasûlullâh fî kulli lamatin wa nafasin ‘adada mâ wasi‘ahû ‘ilmullâh). Ia diberikan kepada Sayyid Aḥmad bin Idrîs dalam keadaan terjaga, dan diperintahkan agar diajarkan kepada orang lain (Lihat: Nasrullah Ainul Yaqin, https://baca.nuralwala.id/sayyid-aḥmad-bin-idris-tiga-kunci-langit-dan-bumi-dari-rasulullah/). Oleh karena itu, Sayyid Muḥammad bin ‘Alawî al-Mâlikî menekankan setiap Muslim agar menyibukkan diri dengan Zikir al-Makhû. Sebab, ia merupakan zikir yang meliputi seluruh zikir/wirid (Khulâah Syawâriq al-Anwâr min Ad‘iyah as-Sâdah al-Akhyâr, hlm. 32).

Baca Juga:  Abdullah bin Ummi Maktum: Sahabat Pembawa Panji Pasukan Berwarna Hitam

Selain itu, Imam Abû al-Ḥasan ‘Alî asy-Syâżilî (pemimpin para wali dan sufi sekaligus pendiri Tarekat asy-Syâżiliyyah) menerima izb al-Bar dari Rasulullah saw. huruf demi huruf (Syekh Yûsuf bin Ismâ‘îl an-Nabhânî, Jâmi‘ Karâmât al-Awliyâ’, II, 2001: 342). Menurut saudara penulis, Fahmi Saifuddin (santri Darul Musthofa tahun 2014-2018), izb al-Bar merupakan salah satu wirid yang wajib dibaca oleh para santri di Darul Musthofa, Tarim, Yaman. Dalam hal ini, Habib Umar bin Hafiz (Pengasuh Darul Musthofa) mengumpulkan beberapa wirid, doa, dan surat al-Qur’an yang harus dibaca oleh para santri Darul Musthofa dalam Al-Khulâah fî Awrâd wa Ad‘iyyah Wâridah wa Ma’śûrah, di mana salah satunya adalah izb al-Bar. Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Akam…

0 Shares:
You May Also Like