Ahli Syariat dan Ahli Hakikat

Secara global hamba Allah terbagi menjadi dua kelompok. Yakni kelompok syariat dan hakikat. Sebagaimana Syekh Ibnu Athaillah menjelaskan dalam Al-Hikam

قوم أقامه الحق لخدمته وقوم اختصهم بمحبته

Sekelompok hamba ditempatkan oleh Allah untuk berkhidmah kepada-Nya. Sekelompok lainnya ditempatkan untuk mencintai-Nya.

 

Kelompok pertama adalah para hamba yang senantiasa berkhidmah untuk Allah. Maksud berkhidmah kepada Allah adalah berkhidmah untuk agama Allah, yaitu agama Islam. Kelompok pertama ini biasa disebut dengan ahli syariat. Mereka adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada syariat secara zahir, menyebarkan agama Allah, mengajarkan ilmu agama, menghidupkan amar makruf nahi mungkar, menjaga kekompakan jama’ah, serta mengamalkan ajaran agama sesuai tuntutan syariat.

Adapun kelompok yang kedua adalah orang-orang yang terhanyut dalam pesona cinta kepada Allah. Hatinya kosong dari selain-Nya. Sehingga dia tidak terlalu menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya. Mereka tidak sempat untuk berdakwah, mengajar dan mengajak pada kebaikan. Bahkan mereka tidak akan sadar kalau di sekitarnya ada kemungkaran. Energi mahabbah di hatinya terlalu kuat untuk membuatnya sadar pada alam sekitar. Merekalah yang biasa disebut dengan ahli hakikat.

Syekh Ahmad Zarrud dalam kitab Syarh ul-Hikam, ketika menjelaskan hikmah di atas, menuturkan bahwa, orang-orang yang dipilih untuk berkhidmah kepada Allah terdiri atas tiga golongan; yaitu ahli ibadah, ahli zuhud, dan hamba yang taat kepada Allah. Ahli ibadah beramal dengan maksud terwujudnya harapan. Ahli zuhud lari dari makhluk secara fisik agar fokus satu tujuan dengan Allah lewat wirid pagi dan sore.

Sedangkan orang yang dipilih untuk mencintai-Nya terdiri atas tiga golongan pula; yaitu pecinta (muhibbin), ahli makrifat (‘arifin), dan mereka yang sampai di hadirat-Nya. Ahli makrifat adalah orang yang menyaksikan-Nya pada segalanya. Mereka adalah orang yang cukup dengan-Nya, tak membutuhkan segalanya, kecuali Dia. Mereka adalah orang-orang pilihan dan istimewa, sebagaimana orang-orang sebelum mereka yang mendapatkan petunjuk dan kembali pada Allah.

Baca Juga:  Telaah Sosiologis Rasionalisme di Awal Islam (2): Irasionalitas Dunia Arab sebelum Islam

Hal ini menunjukkan bahwa setiap hamba memiliki posisi masing-masing yang telah ditetapkan dan ditentukan oleh Allah. Maka dari itu, selayaknya kita semua bisa saling memahami dan saling menghargai satu sama lain. Tak perlu saling berburuk sangka kepada sesama hamba Allah.

Imam Abu ‘Abbas ad-Darani berkata, “Sesungguhnya Allah memiliki seorang hamba yang tidak pantas berada pada maqam makrifat sehingga Allah menyibukkannya untuk selalu berkhidmah kepada-Nya. Dan, Allah juga memiliki seorang hamba yang tidak pantas untuk berkhidmah maka dia ditempatkan pada maqam mahabbah.”

Dalam hal ini, seorang hamba tidak bisa memilih sendiri posisi yang dia inginkan. Ketika seseorang ditakdirkan untuk menjadi ahli khidmah, dia tidak akan bisa perpindah menjadi ahli cinta. Begitupun sebaliknya, ahli cinta tidak bisa bertukar posisi menjadi ahli khidmah.

Syekh Said Ramadhan al-Buthi pernah bercerita, “Suatu ketika aku ikut ayahku sowan pada salah satu ulama. Ulama itu terkenal sebagai ulama yang ahli mahabbah (golongan kedua). Ketika sampai, beliau menerima kami dengan baik. Kami duduk sebagaimana duduknya murid di hadapan seorang mursyid. Beliau banyak memberikan petuah dan nasehat pada kami. Setelah hampir pulang, aku menyempatkan diri untuk memohon doa keberkahan pada beliau. Aku berkata: ‘Doakan saya semoga saya bisa mendapatkan apa yang engkau dapatkan (kedudukan mahabbah)’. Tapa diduga ternyata beliau menjawab: ‘Apa maksud ucapanmu barusan? Apakah kamu sudah tidak mau mengajar orang lain, sehingga mereka tidak bisa mengambil ilmu darimu?’”.

Begitulah kedudukan semua hamba, sudah ditentukan sesuai takdirnya. Maka ketika Syekh Said Ramadhan al-Buthi meminta didoakan agar mendapatkan kedudukan pecinta, padahal saat itu beliau sudah berada di kedudukan berkhidmah, sontak gurunya menasehati.

Baca Juga:  Sejarah dan 5 Ajaran Sentral Thariqah Bani ‘Alawi: Tarekat Para Habib
0 Shares:
You May Also Like
Read More

Historisitas Khittah NU

Berawal dari teman-teman Gusdur (K.H. Abdurrahman Wahid) yang banyak mengatasnamakan diri sebagai pencinta NU (Nahdlatul Ulama). Kendati demikian,…